Mengejar Opini WTP

Selasa, 30 Mei 2017 - 08:14 WIB
Mengejar Opini WTP
Mengejar Opini WTP
A A A
KECEWA berat. Hanya dua kata itu untuk mengungkapkan perasaan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyusul terbongkarnya kasus suap oknum anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) oleh pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).

Wajar saja Sri Mulyani sangat dongkol dengan kasus tersebut sebab pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan kementerian dan lembaga. Kasus suap ini membuat kepercayaan kepada BPK sebagai lembaga yang sangat penting bagi negeri ini menjadi luntur.

BPK adalah lembaga negara yang dipercayakan memberi opini profesional atas laporan keuangan seluruh kementerian dan lembaga yang menggunakan uang negara.

Opini BPK adalah salah satu indikator good governance. Kalau sebuah kementerian atau lembaga untuk meraih predikat WTP dengan jalan pintas seperti menyuap petugas atau auditor BPK, itu adalah perbuatan yang sulit untuk dimaafkan.

Seusai rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR RI, Sri Mulyani kemarin menyatakan tak menyangka terjadi kasus “jual beli” predikat WTP. Selama ini pemerintah pusat menilai laporan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah terutama kementerian dan lembaga sudah sesuai standar akuntansi.

Sepanjang ini pemerintah dan BPK secara profesional selalu serius melakukan pembahasan laporan penggunaan keuangan negara. Namun, kemunculan kasus pemberian opini WTP kepada Kementerian Desa PDTT melalui jalan pintas alias suap telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terkait penggunaan anggaran selama ini.

Anehnya, sesaat setelah kasus pemberian opini WTP kepada Kementerian Desa PDTT yang diwarnai penyuapan yang terungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merebak ke publik, muncul sebuah pembelaan yang mengklaim dari BPK menjadi viral di media sosial bahwa OTT dari KPK kepada auditor BPK tak lebih dari tindakan balas dendam lembaga pemberantas korupsi tersebut terhadap BPK yang telah menguliti penggunaan anggaran di KPK yang kabarnya berpeluang bermasalah.

Peredaran opini yang membela BPK wajar-wajar saja, tetapi yang pasti KPK harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk memelototi auditor BPK.

Sebenarnya praktik curang di kalangan auditor BPK sudah menjadi rahasia umum, namun sulit untuk dibuktikan. Karena itu, KPK wajib mengusut tuntas kasus tersebut sebab menyangkut kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara.

KPK telah menetapkan Inspektur Jenderal Kementerian Desa PDTT Sugito, Pejabat Eselon III Kementerian Desa PDTT Jarot Budi Prabowo, Pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri, serta Auditor BPK Ali Sadli sebagai tersangka dalam OTT. Barang bukti yang diamankan meliputi uang senilai Rp1,145 miliar dan USD3.000 yang disita dari brankas Rochmadi. Dan, uang sebesar Rp40 juta sebagai “pelicin” untuk mendapatkan opini WTP.

Bagi kementerian dan lembaga, status opini WTP dari BPK memang sangat penting sebab menunjukkan bahwa penyusunan laporan keuangannya telah sesuai dengan prinsip pelaporan yang wajar dan sesuai standar aturan. Namun, harus dicatat bahwa laporan keuangan baik dari kementerian maupun lembaga yang meraih opini WTP dari BPK bukanlah jaminan bahwa pengelolaan anggarannya terhindar dari tindakan korupsi.

Sebagai catatan, dari 84 kementerian dan lembaga yang diperiksa, terdapat 73 laporan keuangan kementerian lembaga (LKKL) yang meraih predikat WTP, dan satu laporan keuangan bendahara umum (LKBUN) mendapat WTP. Adapun yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian (WDP) sebanyak delapan LKKL. Dan, yang dinyatakan disclaimer (tidak menyatakan pendapat) dari BPK di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Badan Ekonomi Kreatif.

Memang, opini disclaimer yang diterbitkan BPK terhadap sebuah kementerian atau lembaga bukan berarti menandakan instansi tersebut berpotensi merugikan negara. Pihak BPK hanya memberikan pendapat atau tidak terhadap suatu laporan keuangan untuk satu tahun anggaran, yang meliputi penerimaan, belanja, dan utang. Intinya, BPK hanya mengecek dan mencatat transaksinya apakah benar telah dilakukan lalu diberi opini.

Penjelasan formal atas pemberian opini dari BPK terhadap kementerian dan lembaga dapat dipahami. Namun, bila pihak yang diperiksa menghalalkan segala cara termasuk suap untuk mendapatkan opini WTP dan diamini oleh auditor BPK, menjadi pertanyaan besar dan patut diduga ada masalah dalam pengelolaan anggaran.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0736 seconds (0.1#10.140)