IHW Nilai Pemohon Uji Materi UU Jaminan Produk Halal Keliru
A
A
A
JAKARTA - Sidang uji materi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon uji materi adalah Paustinus Siburian, seorang advokat.
Dalam uji materi ini, Lembaga Advokasi Halal atau Indonesia Halal Watch (IHW) bertindak sebagai pihak terkait bersama pihak termohon, pemerintah dan DPR
Direktur Eksekutif IHW, Ikhsan Abdullah mengatakan, pihak pemohon dinilai keliru dalam menafsirkan UU JPH. Menurut dia, UU itu dimaksudkan untuk produk barang dan jasa yang halal.
"Ini artinya semua produk barang dan jasa yang tidak halal pun boleh beredar di Indonesia, hanya saja untuk produk barang dan jasa yang halal akan diberi labelisasi halal," ujar Ikhsan dalam keterangannya di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/2017).
Ikhsan menilai, kekhawatiran pemohon yang didasari oleh pemikiran bahwa UU JPH seolah-olah menganut mandatory halal adalah salah. Menurut dia, UU JPH tidak menganut mandatory halal, melainkan menganut mandatory sertifikasi halal yang diikuti dengan proses labelisasi halal, atau dengan kata lain produk halal wajib mencantumkan logo halal.
Ikhsan berpendapat, mandatory halal, yaitu semua produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia wajib harus halal. "Di sinilah letak kekeliruan persepsi pemikiran pemohon. Sedangkan yang memiliki sifat haram dari awal, harus diberikan labelisasi haram, sehingga memberikan kejelasan bagi konsumen," tuturnya.
Dia menambahkan, masalah produk halal ini sebenarnya sudah lama dibahas dan diperdebatkan secara panjang dan lama oleh para anggota Dewan yang menolak.
Menurut dia, perdebatan di DPR cukup panjang sehingga memakan waktu sekitar delapan tahun. "Pemohon beranggapan seakan-akan nanti setelah berlakunya UU JPH yang boleh beredar di wilayah Indonesia hanyalah produk makanan dan minuman yang halal-halal saja, sementara makanan dan minuman yang tidak halal tidak boleh beredar sama sekali," tuturnya.
Dalam uji materi ini, Lembaga Advokasi Halal atau Indonesia Halal Watch (IHW) bertindak sebagai pihak terkait bersama pihak termohon, pemerintah dan DPR
Direktur Eksekutif IHW, Ikhsan Abdullah mengatakan, pihak pemohon dinilai keliru dalam menafsirkan UU JPH. Menurut dia, UU itu dimaksudkan untuk produk barang dan jasa yang halal.
"Ini artinya semua produk barang dan jasa yang tidak halal pun boleh beredar di Indonesia, hanya saja untuk produk barang dan jasa yang halal akan diberi labelisasi halal," ujar Ikhsan dalam keterangannya di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/2017).
Ikhsan menilai, kekhawatiran pemohon yang didasari oleh pemikiran bahwa UU JPH seolah-olah menganut mandatory halal adalah salah. Menurut dia, UU JPH tidak menganut mandatory halal, melainkan menganut mandatory sertifikasi halal yang diikuti dengan proses labelisasi halal, atau dengan kata lain produk halal wajib mencantumkan logo halal.
Ikhsan berpendapat, mandatory halal, yaitu semua produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia wajib harus halal. "Di sinilah letak kekeliruan persepsi pemikiran pemohon. Sedangkan yang memiliki sifat haram dari awal, harus diberikan labelisasi haram, sehingga memberikan kejelasan bagi konsumen," tuturnya.
Dia menambahkan, masalah produk halal ini sebenarnya sudah lama dibahas dan diperdebatkan secara panjang dan lama oleh para anggota Dewan yang menolak.
Menurut dia, perdebatan di DPR cukup panjang sehingga memakan waktu sekitar delapan tahun. "Pemohon beranggapan seakan-akan nanti setelah berlakunya UU JPH yang boleh beredar di wilayah Indonesia hanyalah produk makanan dan minuman yang halal-halal saja, sementara makanan dan minuman yang tidak halal tidak boleh beredar sama sekali," tuturnya.
(dam)