Bisnis Pencitraan
A
A
A
MENYEDIHKAN dan memprihatinkan. Dua kata itu tak lepas dari ucapan spontanitas banyak orang yang menyaksikan operasi tangkap tangan sejumlah pejabat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat (26/5) lalu.
Sekitar enam pejabat dari dua lembaga pemerintah ditangkap atas dugaan suap atas status opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Dalam kasus ini KPK menetapkan empat tersangka, yaitu Inspektur Jenderal Kemendes Sugito, pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo, pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri, dan auditor BPK Ali Sadli.
KPK saat operasi tangkap tangan menyita sejumlah uang sebesar Rp40 juta, Rp1,145 miliar, dan USD3.000. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, uang sebesar Rp40 juta diduga merupakan uang yang akan diserahkan kepada auditor BPK Ali Sadli dari pejabat Kemendes PDTT.
Uang tersebut merupakan sisa uang total commitment fee sebesar Rp240 juta. Adapun uang Rp1,145 miliar dan USD3.000 yang disita dari brankas pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri hingga kini masih terus dipelajari dan diselidiki.
Sungguh mengejutkan seorang pejabat eselon I BPK menyimpan uang dalam jumlah besar di dalam brankasnya. Dalam catatan KORAN SINDO, Rochmadi Saptogiri pernah menjadi pembicara dalam kegiatan pelatihan bersama penanganan tindak pidana korupsi di Provinsi Banten yang diselenggarakan KPK pada Februari 2017.
Bahkan sejumlah pejabat negara ikut hadir dalam acara itu, yakni Menko Polhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, dan tak terkecuali Ketua KPK Agus Rahardjo.
Namun, siapa sangka, si pemberi materi yang mengisi acara bergengsi untuk meningkatkan moralitas pejabat menjauhkan diri dari korupsi itu ternyata tertangkap tangan oleh KPK dengan sejumlah bukti yang mencengangkan. Lebih mengejutkan lagi, pemberian opini WTP oleh BPK yang diwarnai korupsi ternyata sudah beberapa kali terjadi.
Beberapa pihak dan kalangan mengakui sejak lama mencurigai terjadinya jual beli status WTP. Namun tetap saja pemberian status opini ini menjadi ajang bergengsi dan berperan meningkatkan citra kepemimpinan. Tak hanya di tingkat pusat, pemerintah daerah pun tak sedikit yang bekerja keras untuk mendapatkan status WTP melalui kecakapan pengelolaan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan terbentuknya satuan tugas khusus di setiap instansi pemerintahan dalam upaya meraih opini WTP dari BPK tentu harus diapresiasi dengan baik. Keinginan Presiden harus diwujudkan sebagai salah satu bentuk transparansi dan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat atas penggunaan uang negara.
Terlepas dari keinginan yang mulia itu, sudah sepatutnya pemerintah kembali melakukan evaluasi terhadap kinerja BPK selama ini. Karena kasus korupsi yang membayangi pemberian opini WTP tidak bisa dikesampingkan begitu saja tanpa adanya perbaikan internal dan tata kelola yang baik.
BPK memiliki kekuatan untuk memberikan sebuah citra yang baik bagi setiap kementerian lembaga/negara berdasarkan laporan keuangan yang baik pula. Tapi sayangnya tak semua auditor BPK memiliki mental baik, bahkan berani melakukan korupsi atas nama peningkatan citra.
Dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2016, sebanyak 73 laporan keuangan kementrian negara/lembaga (LKKL) dan satu laporan keuangan bendahara umum negara mendapatkan opini WTP. Adapun delapan LKKL mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) dan enam LKKL mendapat opini tidak memberikan pendapat (TMP) atau disclaimer.
Namun tak lama setelah pengumuman bergengsi yang disampaikan di Istana itu, satu kementerian terungkap melakukan penyuapan untuk memperoleh opini WTP. Satu kementerian dari 73 penerima WTP menjadi kehilangan muka saat citra baru saja didapat. Lalu bagaimana dengan yang lainnya? Apakah dengan kasus ini BPK akan melakukan evaluasi internal secara total?
Karena uang di brankas pejabat eselon I yang jumlahnya fantastis itu bukan sekadar uang gaji bulanan yang disisihkan. Tentu kita semua berharap penilaian opini WTP tidak menjadi bisnis pencitraan yang diwajarkan oleh lembaga auditor resmi negara ini.
Sekitar enam pejabat dari dua lembaga pemerintah ditangkap atas dugaan suap atas status opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Dalam kasus ini KPK menetapkan empat tersangka, yaitu Inspektur Jenderal Kemendes Sugito, pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo, pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri, dan auditor BPK Ali Sadli.
KPK saat operasi tangkap tangan menyita sejumlah uang sebesar Rp40 juta, Rp1,145 miliar, dan USD3.000. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, uang sebesar Rp40 juta diduga merupakan uang yang akan diserahkan kepada auditor BPK Ali Sadli dari pejabat Kemendes PDTT.
Uang tersebut merupakan sisa uang total commitment fee sebesar Rp240 juta. Adapun uang Rp1,145 miliar dan USD3.000 yang disita dari brankas pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri hingga kini masih terus dipelajari dan diselidiki.
Sungguh mengejutkan seorang pejabat eselon I BPK menyimpan uang dalam jumlah besar di dalam brankasnya. Dalam catatan KORAN SINDO, Rochmadi Saptogiri pernah menjadi pembicara dalam kegiatan pelatihan bersama penanganan tindak pidana korupsi di Provinsi Banten yang diselenggarakan KPK pada Februari 2017.
Bahkan sejumlah pejabat negara ikut hadir dalam acara itu, yakni Menko Polhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, dan tak terkecuali Ketua KPK Agus Rahardjo.
Namun, siapa sangka, si pemberi materi yang mengisi acara bergengsi untuk meningkatkan moralitas pejabat menjauhkan diri dari korupsi itu ternyata tertangkap tangan oleh KPK dengan sejumlah bukti yang mencengangkan. Lebih mengejutkan lagi, pemberian opini WTP oleh BPK yang diwarnai korupsi ternyata sudah beberapa kali terjadi.
Beberapa pihak dan kalangan mengakui sejak lama mencurigai terjadinya jual beli status WTP. Namun tetap saja pemberian status opini ini menjadi ajang bergengsi dan berperan meningkatkan citra kepemimpinan. Tak hanya di tingkat pusat, pemerintah daerah pun tak sedikit yang bekerja keras untuk mendapatkan status WTP melalui kecakapan pengelolaan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan terbentuknya satuan tugas khusus di setiap instansi pemerintahan dalam upaya meraih opini WTP dari BPK tentu harus diapresiasi dengan baik. Keinginan Presiden harus diwujudkan sebagai salah satu bentuk transparansi dan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat atas penggunaan uang negara.
Terlepas dari keinginan yang mulia itu, sudah sepatutnya pemerintah kembali melakukan evaluasi terhadap kinerja BPK selama ini. Karena kasus korupsi yang membayangi pemberian opini WTP tidak bisa dikesampingkan begitu saja tanpa adanya perbaikan internal dan tata kelola yang baik.
BPK memiliki kekuatan untuk memberikan sebuah citra yang baik bagi setiap kementerian lembaga/negara berdasarkan laporan keuangan yang baik pula. Tapi sayangnya tak semua auditor BPK memiliki mental baik, bahkan berani melakukan korupsi atas nama peningkatan citra.
Dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2016, sebanyak 73 laporan keuangan kementrian negara/lembaga (LKKL) dan satu laporan keuangan bendahara umum negara mendapatkan opini WTP. Adapun delapan LKKL mendapatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP) dan enam LKKL mendapat opini tidak memberikan pendapat (TMP) atau disclaimer.
Namun tak lama setelah pengumuman bergengsi yang disampaikan di Istana itu, satu kementerian terungkap melakukan penyuapan untuk memperoleh opini WTP. Satu kementerian dari 73 penerima WTP menjadi kehilangan muka saat citra baru saja didapat. Lalu bagaimana dengan yang lainnya? Apakah dengan kasus ini BPK akan melakukan evaluasi internal secara total?
Karena uang di brankas pejabat eselon I yang jumlahnya fantastis itu bukan sekadar uang gaji bulanan yang disisihkan. Tentu kita semua berharap penilaian opini WTP tidak menjadi bisnis pencitraan yang diwajarkan oleh lembaga auditor resmi negara ini.
(poe)