Teror Bom Terjadi (Lagi)
A
A
A
AKSI teror kembali menimpa Indonesia. Dua buah ledakan yang diduga bom bunuh diri terjadi di dekat Halte Transjakarta, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Tragedi bom ini harus segera ditangani secara komprehensif. Kalau tidak, Indonesia akan terus menjadi sasaran teror.
Indonesia bukan hanya sekali diguncang bom. Ledakan di Kampung Melayu merupakan aksi teror yang sudah kesekian kali. Bahkan yang sebelumnya korban lebih besar.
Misalnya, ketika tragedi Bom Bali, tepatnya di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali pada 2002, korban tewas mencapai 202 orang dan 209 lainnya luka-luka. Kemudian ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan Jakarta pada 2009, korbannya mencapai 62 orang yang 9 di antaranya tewas.
Bom Kampung Melayu, sedikitnya ada 15 orang menjadi korban tersebut yang lima di antaranya meninggal, termasuk dua orang yang diduga pelaku. Tiga korban lain yang meninggal adalah anggota Polri yang sedang bertugas di sana.
Meski tak sedahsyat Bom Bali atau Marriott, aksi teror ini harus dikutuk, apa pun alasannya. Hanya saja, terus berulangnya aksi teror bom ini sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Pasti ada yang salah dari penanganan yang selama ini dilakukan.
Untuk mencari solusi yang tepat kita harus mengungkap penyebab munculnya aksi teror itu. Ada sejumlah faktor yang diduga melatarbelakanginya.
Pertama, kemiskinan. Angka kemiskinan masih menjadi problem serius di Tanah Air.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada September 2016 sebanyak 27,76 juta jiwa atau 10,70% secara persentase. Ketidakpuasan terhadap pemerintah akibat kemiskinan membuat mereka mudah terjerumus aksi teror.
Kedua, kesenjangan masyarakat kaya dan miskin masih tinggi. BPS merilis rasio gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 0,394 pada September 2016. Ketimpangan ekonomi di masyarakat bisa memicu masalah sosial. Dalihnya, mereka bisa saja menuntut keadilan.
Ketiga, radikalisme agama. Munculnya gerakan radikal yang sangat ekstrem dalam menafsirkan ajaran agama tertentu. Kita tahu semua agama tidak pernah membenarkan aksi teror karena agama apapun pasti mengajarkan kebaikan.
Keempat, globalisasi. Maraknya globalisasi yang tidak diimbangi dengan filter yang kuat banyak memunculkan dampak negatif.
Kita tahu, budaya aksi teror bom bukan berasal dari Indonesia. Namun aksi-aksi teror tersebut banyak diadopsi pihak-pihak tertentu untuk mengganggu keamanan Indonesia dengan dalih perjuangan agama tertentu. Sering kali aksi teror ini dananya berasal dari donatur asing.
Karena itu, teror bom tidak bisa diatasi dengan kebijakan sporadis tapi harus benar-benar komprehensif dan melibatkan seluruh masyarakat. Kebijakan pemerintah dan aparat keamanan yang akhir-akhir ini begitu represif terhadap kelompok radikal bisa berpotensi menumbuhkan benih dendam dan terorisme baru.
Aksi bom Kampung Melayu patut diduga merupakan salah satu dampak dari kebijakan Densus 88 yang cenderung hanya mengandalkan kekuatan untuk menumpas gerakan radikal. Target penyerangan terhadap anggota Polri merupakan salah satu indikasinya.
Fenomena ini seharusnya bisa menjadi bahan masukan bagi Polri untuk lebih persuasif. Polri bisa melibatkan para ulama untuk ikut mengatasi munculnya kelompok radikal.
Penegakan hukum harus dilakukan dengan tetap memperhatikan berbagai dampak sosial politiknya. Penangkapan yang terkesan membabi buta para aktivis yang dicap terduga teroris tidak akan menyelesaikan masalah secara permanen.
Yang patut diwaspadai, tragedi bom Kampung Melayu ini berpotensi mengganggu perekonomian jika pemerintah dan aparat keamanan tidak segera bertindak cepat untuk mengendalikan situasi. Jaminan keamanan dari pemerintah ini sangat penting bagi para investor baik yang akan masuk atau yang sudah berada di Tanah Air.
Setelah peristiwa ledakan saja Inggris, Australia, dan AS langsung mengeluarkan travel advice bagi warganya agar tidak datang ke Indonesia. Kalau hal ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan akan memukul arus wisatawan asing ke Indonesia. Dan hal ini pada gilirannya bisa juga memukul perekonomian kita secara keseluruhan.
Indonesia bukan hanya sekali diguncang bom. Ledakan di Kampung Melayu merupakan aksi teror yang sudah kesekian kali. Bahkan yang sebelumnya korban lebih besar.
Misalnya, ketika tragedi Bom Bali, tepatnya di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali pada 2002, korban tewas mencapai 202 orang dan 209 lainnya luka-luka. Kemudian ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan Jakarta pada 2009, korbannya mencapai 62 orang yang 9 di antaranya tewas.
Bom Kampung Melayu, sedikitnya ada 15 orang menjadi korban tersebut yang lima di antaranya meninggal, termasuk dua orang yang diduga pelaku. Tiga korban lain yang meninggal adalah anggota Polri yang sedang bertugas di sana.
Meski tak sedahsyat Bom Bali atau Marriott, aksi teror ini harus dikutuk, apa pun alasannya. Hanya saja, terus berulangnya aksi teror bom ini sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Pasti ada yang salah dari penanganan yang selama ini dilakukan.
Untuk mencari solusi yang tepat kita harus mengungkap penyebab munculnya aksi teror itu. Ada sejumlah faktor yang diduga melatarbelakanginya.
Pertama, kemiskinan. Angka kemiskinan masih menjadi problem serius di Tanah Air.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada September 2016 sebanyak 27,76 juta jiwa atau 10,70% secara persentase. Ketidakpuasan terhadap pemerintah akibat kemiskinan membuat mereka mudah terjerumus aksi teror.
Kedua, kesenjangan masyarakat kaya dan miskin masih tinggi. BPS merilis rasio gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 0,394 pada September 2016. Ketimpangan ekonomi di masyarakat bisa memicu masalah sosial. Dalihnya, mereka bisa saja menuntut keadilan.
Ketiga, radikalisme agama. Munculnya gerakan radikal yang sangat ekstrem dalam menafsirkan ajaran agama tertentu. Kita tahu semua agama tidak pernah membenarkan aksi teror karena agama apapun pasti mengajarkan kebaikan.
Keempat, globalisasi. Maraknya globalisasi yang tidak diimbangi dengan filter yang kuat banyak memunculkan dampak negatif.
Kita tahu, budaya aksi teror bom bukan berasal dari Indonesia. Namun aksi-aksi teror tersebut banyak diadopsi pihak-pihak tertentu untuk mengganggu keamanan Indonesia dengan dalih perjuangan agama tertentu. Sering kali aksi teror ini dananya berasal dari donatur asing.
Karena itu, teror bom tidak bisa diatasi dengan kebijakan sporadis tapi harus benar-benar komprehensif dan melibatkan seluruh masyarakat. Kebijakan pemerintah dan aparat keamanan yang akhir-akhir ini begitu represif terhadap kelompok radikal bisa berpotensi menumbuhkan benih dendam dan terorisme baru.
Aksi bom Kampung Melayu patut diduga merupakan salah satu dampak dari kebijakan Densus 88 yang cenderung hanya mengandalkan kekuatan untuk menumpas gerakan radikal. Target penyerangan terhadap anggota Polri merupakan salah satu indikasinya.
Fenomena ini seharusnya bisa menjadi bahan masukan bagi Polri untuk lebih persuasif. Polri bisa melibatkan para ulama untuk ikut mengatasi munculnya kelompok radikal.
Penegakan hukum harus dilakukan dengan tetap memperhatikan berbagai dampak sosial politiknya. Penangkapan yang terkesan membabi buta para aktivis yang dicap terduga teroris tidak akan menyelesaikan masalah secara permanen.
Yang patut diwaspadai, tragedi bom Kampung Melayu ini berpotensi mengganggu perekonomian jika pemerintah dan aparat keamanan tidak segera bertindak cepat untuk mengendalikan situasi. Jaminan keamanan dari pemerintah ini sangat penting bagi para investor baik yang akan masuk atau yang sudah berada di Tanah Air.
Setelah peristiwa ledakan saja Inggris, Australia, dan AS langsung mengeluarkan travel advice bagi warganya agar tidak datang ke Indonesia. Kalau hal ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan akan memukul arus wisatawan asing ke Indonesia. Dan hal ini pada gilirannya bisa juga memukul perekonomian kita secara keseluruhan.
(poe)