Banding
A
A
A
PEMBACAAN surat dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang pelepasan hak banding yang sedang dijalankan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta oleh istrinya, Veronica Tan, kemarin (23/5) membetot perhatian publik. Banyak yang kaget karena sangat berkeyakinan kasus ini tidak hanya berlanjut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tetapi juga akan sampai ke Mahkamah Agung. Banyak yang berpikir apa pun hasil di tingkat banding, pasti akan lanjut dikasasi ke Mahkamah Agung.
Analisis yang muncul juga beragam, namun sama-sama bisa ditarik benang merahnya bahwa energi bangsa akan habis tersedot dalam menyoroti kasus ini hingga level kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan, banyak yang memperkirakan demonstrasi dari kubu pendukung ataupun penentang akan terus berlanjut.
Dalam hal itu, kita patut bersyukur setidaknya langkah yang diambil Ahok dengan mencabut memori banding bisa dikatakan akan sedikit meneduhkan politik Indonesia yang sedang panas ini. Ke depan, kita berharap demonstrasi-demonstrasi terkait hal ini akan berkurang.
Penduduk Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya bisa kembali fokus dalam aktivitasnya masing-masing. Kita bisa mencurahkan lagi perhatian penuh terhadap pencapaian kesejahteraan untuk segenap bangsa Indonesia.
Pemerintah dan para politisi pun bisa sedikit berkurang bebannya, karena selama ini sadar atau tidak kita sudah sedemikian terpolarisasi. Polarisasi tentu sangat menyulitkan dalam setiap kebijakan yang diambil, karena tiba-tiba semuanya bisa jadi sangat sensitif. Kebijakan yang di masa normal tidak akan dianggap diskriminatif, dalam suasana terpolarisasi bisa dianggap sangat diskriminatif.
Namun, ternyata masih ada ganjalan dalam perkembangan yang baik ini, yaitu sikap kejaksaan dan Jaksa Agung terkait memori banding yang juga diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Sungguh mengherankan ketika Jaksa Agung ditanyai oleh wartawan mengenai posisi kejaksaan dalam memori banding yang diajukan, maka responsnya datar-datar saja. Jaksa Agung berkata bahwa kejaksaan masih melihat situasi dan belum tahu langkah pasti yang akan diambil.
“Karena terdakwa sudah mencabut bandingnya, tentunya jaksa akan mengkaji kembali tentang relevansi dan urgensinya upaya hukum yang harus diajukan dalam kasus ini. Karena bagaimanapun, kita harus melihat kemanfaatannya juga bukan sekadar kepastian dan keadilan, tapi juga kemanfaatannya,” ungkap Prasetyo kepada awak media.
Entah logika macam mana lagi yang digunakan oleh Jaksa Agung dalam masalah ini. Ketika Ahok sebagai terpidana sudah melepaskan haknya untuk banding dengan mencabut memori banding, lalu kenapa kejaksaan yang disuarakan oleh Jaksa Agung masih harus mengkaji lagi relevansi dan urgensinya dalam kasus ini? Kenapa juga Jaksa Agung tidak bisa mengambil putusan yang cepat dalam menghadapi perkembangan yang dinamis.
Pilihan Ahok melepaskan haknya untuk naik banding bisa dikatakan pilihan yang cukup bijak. Seperti yang ditulis dalam suratnya, demo dukungan akan berhenti. Demo yang menentang yang bisa jadi muncul pun ketika putusan banding akan keluar juga.
Namun, pilihan Ahok tersebut bisa berkurang maknanya jika JPU masih ngotot untuk banding. Padahal ketika vonis dijatuhkan dan Ahok akhirnya menyatakan banding, JPU kasus ini dan juga Jaksa Agung Prasetyo senada mengatakan kejaksaan akan banding karena mengikuti standard operating procedure. Aturan menggariskan bahwa jaksa harus mengajukan memori banding, juga agar memiliki legal standing dalam banding yang dilakukan.
Bisa dikatakan saat itu bandingnya JPU dengan alasan keterpaksaan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Namun ketika JPU dan Jaksa Agung tidak serta-merta mencabut banding yang dilakukan, itu menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat.
Analisis yang muncul juga beragam, namun sama-sama bisa ditarik benang merahnya bahwa energi bangsa akan habis tersedot dalam menyoroti kasus ini hingga level kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan, banyak yang memperkirakan demonstrasi dari kubu pendukung ataupun penentang akan terus berlanjut.
Dalam hal itu, kita patut bersyukur setidaknya langkah yang diambil Ahok dengan mencabut memori banding bisa dikatakan akan sedikit meneduhkan politik Indonesia yang sedang panas ini. Ke depan, kita berharap demonstrasi-demonstrasi terkait hal ini akan berkurang.
Penduduk Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya bisa kembali fokus dalam aktivitasnya masing-masing. Kita bisa mencurahkan lagi perhatian penuh terhadap pencapaian kesejahteraan untuk segenap bangsa Indonesia.
Pemerintah dan para politisi pun bisa sedikit berkurang bebannya, karena selama ini sadar atau tidak kita sudah sedemikian terpolarisasi. Polarisasi tentu sangat menyulitkan dalam setiap kebijakan yang diambil, karena tiba-tiba semuanya bisa jadi sangat sensitif. Kebijakan yang di masa normal tidak akan dianggap diskriminatif, dalam suasana terpolarisasi bisa dianggap sangat diskriminatif.
Namun, ternyata masih ada ganjalan dalam perkembangan yang baik ini, yaitu sikap kejaksaan dan Jaksa Agung terkait memori banding yang juga diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Sungguh mengherankan ketika Jaksa Agung ditanyai oleh wartawan mengenai posisi kejaksaan dalam memori banding yang diajukan, maka responsnya datar-datar saja. Jaksa Agung berkata bahwa kejaksaan masih melihat situasi dan belum tahu langkah pasti yang akan diambil.
“Karena terdakwa sudah mencabut bandingnya, tentunya jaksa akan mengkaji kembali tentang relevansi dan urgensinya upaya hukum yang harus diajukan dalam kasus ini. Karena bagaimanapun, kita harus melihat kemanfaatannya juga bukan sekadar kepastian dan keadilan, tapi juga kemanfaatannya,” ungkap Prasetyo kepada awak media.
Entah logika macam mana lagi yang digunakan oleh Jaksa Agung dalam masalah ini. Ketika Ahok sebagai terpidana sudah melepaskan haknya untuk banding dengan mencabut memori banding, lalu kenapa kejaksaan yang disuarakan oleh Jaksa Agung masih harus mengkaji lagi relevansi dan urgensinya dalam kasus ini? Kenapa juga Jaksa Agung tidak bisa mengambil putusan yang cepat dalam menghadapi perkembangan yang dinamis.
Pilihan Ahok melepaskan haknya untuk naik banding bisa dikatakan pilihan yang cukup bijak. Seperti yang ditulis dalam suratnya, demo dukungan akan berhenti. Demo yang menentang yang bisa jadi muncul pun ketika putusan banding akan keluar juga.
Namun, pilihan Ahok tersebut bisa berkurang maknanya jika JPU masih ngotot untuk banding. Padahal ketika vonis dijatuhkan dan Ahok akhirnya menyatakan banding, JPU kasus ini dan juga Jaksa Agung Prasetyo senada mengatakan kejaksaan akan banding karena mengikuti standard operating procedure. Aturan menggariskan bahwa jaksa harus mengajukan memori banding, juga agar memiliki legal standing dalam banding yang dilakukan.
Bisa dikatakan saat itu bandingnya JPU dengan alasan keterpaksaan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Namun ketika JPU dan Jaksa Agung tidak serta-merta mencabut banding yang dilakukan, itu menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat.
(poe)