Yusril Kritik Jimly Asshiddiqie Soal Pembubaran Ormas
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengkritisi pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dan Presiden Joko Widodo terkait pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas).
Yusril menyoroti pendapat Jimly yang menyarankan agar Presiden membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila melalui Keputusan Presiden (Keppres) dan tetap memberikan peluang bagi ormas untuk melakukan perlawanan melalui pengadilan.
Adapun pendapat Jimly, yakni kalau pengadilan memenangkan Presiden maka ormas tersebut bubar selamanya. Namun jika Presiden dikalahkan pengadilan, ormas tersebut dapat dihidupkan kembali.
Seperti diketahui, isu pembubaran ormas mencuat ke publik pasca rencana pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas itu dianggap bertentangan dengan Pancasila. Keberadaan HTI juga dianggap tidak berperan positif dalam pembangunan nasional. (Baca Juga: Alasan Pemerintah Bubarkan HTI )
Yusril juga mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan akan akan "menggebuk" ormas yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan", yakni Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan RI dan Bhineka Tunggal Ika. Pernyataan Jokowi diungkapkan usai bertemu dengan pemimpin redaksi berbagai media.
Yusril menilai, pembubaran ormas seperti disarankan Jimly menyimpang jauh dari norma hukum positif yang kini berlaku, yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur prosedur pembubaran ormas.
"Ormas yang sudah disahkan sebagai badan hukum, tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pemerintah, melainkan setelah ada izin/persetujuan pengadilan. Ini semata-mata dilakukan untuk mencegah Presiden bertindak sewenang-wenang membubarkan ormas yang mungkin saja berseberangan dengan dirinya," tutur Yusril dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Kamis (18/5/2017).
Dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut oleh UUD 45, kata Yusril, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa landasan hukum yang jelas.
"Karena itu kita wajib mencegah dibukakannya pintu bagi presiden untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum, kecuali ada situasi sangat genting yang memaksa presiden untuk mengambil langkah revolusioner dalam keadaan yang tidak normal untuk menyelamatkan bangsa dan negara," tutur Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini.
Menurut dia, membubarkan ormas dengan cara "menggebuk" jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku akan membawa implikasi politik yang luas.
Pasalnya, sambung dia, sumpah jabatan Presiden menyatakan akan berlaku adil serta memegang teguh Undang-undang dasar, undang-undang dan segala peraturannya dengan selurus-lurusnya. "Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan," tuturnya.
Menurut dia, jika Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan maka hal itu membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang.
"Kalau kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu, lambat laut Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan," tuturnya.
Yusril menyoroti pendapat Jimly yang menyarankan agar Presiden membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila melalui Keputusan Presiden (Keppres) dan tetap memberikan peluang bagi ormas untuk melakukan perlawanan melalui pengadilan.
Adapun pendapat Jimly, yakni kalau pengadilan memenangkan Presiden maka ormas tersebut bubar selamanya. Namun jika Presiden dikalahkan pengadilan, ormas tersebut dapat dihidupkan kembali.
Seperti diketahui, isu pembubaran ormas mencuat ke publik pasca rencana pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas itu dianggap bertentangan dengan Pancasila. Keberadaan HTI juga dianggap tidak berperan positif dalam pembangunan nasional. (Baca Juga: Alasan Pemerintah Bubarkan HTI )
Yusril juga mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan akan akan "menggebuk" ormas yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan", yakni Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan RI dan Bhineka Tunggal Ika. Pernyataan Jokowi diungkapkan usai bertemu dengan pemimpin redaksi berbagai media.
Yusril menilai, pembubaran ormas seperti disarankan Jimly menyimpang jauh dari norma hukum positif yang kini berlaku, yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur prosedur pembubaran ormas.
"Ormas yang sudah disahkan sebagai badan hukum, tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh pemerintah, melainkan setelah ada izin/persetujuan pengadilan. Ini semata-mata dilakukan untuk mencegah Presiden bertindak sewenang-wenang membubarkan ormas yang mungkin saja berseberangan dengan dirinya," tutur Yusril dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Kamis (18/5/2017).
Dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana dianut oleh UUD 45, kata Yusril, tidak ada tindakan penyelenggara negara yang dapat dilakukan tanpa landasan hukum yang jelas.
"Karena itu kita wajib mencegah dibukakannya pintu bagi presiden untuk bertindak sewenang-wenang di luar hukum, kecuali ada situasi sangat genting yang memaksa presiden untuk mengambil langkah revolusioner dalam keadaan yang tidak normal untuk menyelamatkan bangsa dan negara," tutur Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini.
Menurut dia, membubarkan ormas dengan cara "menggebuk" jika hal itu diartikan sebagai tindakan di luar hukum positif yang berlaku akan membawa implikasi politik yang luas.
Pasalnya, sambung dia, sumpah jabatan Presiden menyatakan akan berlaku adil serta memegang teguh Undang-undang dasar, undang-undang dan segala peraturannya dengan selurus-lurusnya. "Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan," tuturnya.
Menurut dia, jika Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan maka hal itu membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang.
"Kalau kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu, lambat laut Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan," tuturnya.
(dam)