Bebas Akses Data Nasabah

Kamis, 18 Mei 2017 - 08:12 WIB
Bebas Akses Data Nasabah
Bebas Akses Data Nasabah
A A A
HARGA saham sejumlah emiten perbankan terkoreksi. Kalangan analis pasar modal meyakini merosotnya harga saham perbankan pada perdagangan di lantai bursa kemarin tidak terlepas dari penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2017 yang memuat tentang akses informasi keuangan.

Sesaat setelah pembukaan pasar Bursa Efek Indonesia (BEI), saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) langsung terpangkas sekitar 2,16% ke level Rp17.025 per lembar saham. Disusul saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang merosot sekitar 1,15% ke level Rp 6.475 per lembar saham dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang turun 1,04% ke level Rp 11.850 per lembar saham. Ketiga emiten perbankan tersebut tercatat paling banyak menampung dana dari program pengampunan pajak.

Pada penutupan perdagangan saham di BEI kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan sebesar 30,71 poin atau turun 0,54% ke level 5.616,29. Pelemahan itu bukan semata disebabkan pelemahan harga saham perbankan.

Dari publikasi pihak BEI tercatat delapan sektor yang mengalami koreksi. Di antaranya sektor yang mengalami penurunan tajam adalah sektor aneka industri minus 2,27%, sektor pertambangan minus 1,38%, sektor properti minus 1,21%, dan sektor perbankan melemah 0,7%.

Sebaliknya sektor konsumer dan infrastruktur hanya menguat tipis. Dari total saham yang diperdagangkan, tercatat sebanyak 137 harga saham menguat, 197 harga saham melemah, dan 98 harga saham dalam posisi tetap.

Adapun aksi jual bersih investor asing mencapai Rp226,94 miliar untuk semua papan perdagangan. Sementara itu posisi rupiah merosot 24 poin ke level Rp13.324 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya di level Rp13.300 per dolar AS, berdasarkan pasar spot Bloomberg.

Menangggapi pelemahan harga saham perbankan menyusul diterbitkannya regulasi yang mengizinkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak “mengintip” data nasabah perbankan, pemerintah tidak ambil pusing. Simak saja komentar Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution yang menyatakan, “Ah jangan dianggap serius kabar itu.”

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menduga kalaupun benar pelaku pasar melepas saham perbankan karena aturan baru tersebut, hal itu cuma disebabkan ketidakpahaman. Alasannya Perppu No 1 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan yang ditujukan untuk kepentingan perpajakan dan memenuhi standar kebijakan internasional itu terkait dengan Automatic Exchange of Information (AEoI) atau aturan serupa sudah banyak diterapkan di berbagai negara.

Kehadiran Perppu No 1 Tahun 2017 ibaratnya menambah perbekalan bagi Ditjen Pajak untuk memperbesar pundi-pundi penerimaan pajak dan mempermudah petugas pajak dalam memburu wajib pajak yang nakal. Dalam aturan tersebut ditegaskan Ditjen Pajak selain bebas mengakses data perbankan, juga bisa menyasar data pasar modal, asuransi, lembaga jasa keuangan, dan entitas sejenis.

Bahkan Ditjen Pajak bisa mengakses data rekening warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri bagi negara yang telah berkomitmen mengimplementasikan AEoI. Indonesia tercatat salah satu dari 101 negara yang tergabung dalam AEoI.

Selama ini, untuk bergabung di AEoI, pemerintah terganjal oleh peraturan perundangan perbankan tentang kerahasiaan data nasabah. Menteri Keuangan Sri Mulyan sudah berkali-kali mengingatkan apabila Indonesia telat menyesuaikan diri (bergabung dengan AEoI) sangat berpotensi dikucilkan negara lain. Dan sudah pasti Ditjen Pajak kesulitan memburu pengemplang pajak di luar negeri, sebab negara lain tentu tak bersedia berbagi data apabila Indonesia menutup diri.

Kini bola Perppu No 1 Tahun 2017 bergulir ke DPR untuk pengesahan. Pengajuan perppu tersebut sepertinya akan berjalan mulus tanpa hambatan. Tanda-tanda respons positif dari DPR sudah disampaikan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang menyatakan pihaknya harus mendukung sebagai konsekuensi dari perubahan zaman transaksional terbuka di masyarakat.

Memang, efek positifnya sudah jelas di depan mata, terutama untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber utama dalam pembiayaan pembangunan. Namun, di sisi lain, efek negatifnya tetap harus diantisipasi, apalagi data-data nasabah bisa dikonsumsi bebas oleh negara lain. Kita percaya, pemerintah pasti sudah menyiapkan antisipasi seandainya kebebasan akses data perbankan disalahgunakan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6450 seconds (0.1#10.140)