Peran ASEAN pada Ekonomi Dunia

Senin, 15 Mei 2017 - 07:58 WIB
Peran ASEAN pada Ekonomi Dunia
Peran ASEAN pada Ekonomi Dunia
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

BANYAK hal terkait perkembangan dunia yang terlahir dari rahim ASEAN. Bahkan, dinamika perekonomian di ASEAN bisa dianggap yang paling stabil dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Ketika regional lainnya sedang berjuang untuk selamat dari kubangan krisis, pertumbuhan ekonomi ASEAN justru yang paling dinamis dengan rata-rata 5%. Jika ASEAN diperhitungkan sebagai negara tunggal, kita akan menemukan beberapa hal penting yang menunjukkan ASEAN bisa menjadi raksasa dunia.

Pertama, ASEAN memiliki populasi penduduk yang cukup besar sebagai tujuan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pasar. Total penduduk ASEAN mencapai 628,9 juta jiwa, atau sekitar 8,7% total penduduk dunia. Jika dikonfigurasi berdasarkan peringkat antarnegara, ASEAN menempati urutan ketiga jumlah penduduk terbesar di bawah Tiongkok dan India (ASEAN Secretariat, 2016).

Kedua, ASEAN memiliki kapasitas produk domestik bruto (PDB) yang cukup besar dan berada di peringkat keenam terbesar di dunia. Total PDB ASEAN pada 2015 mencapai USD2,43 triliun dan hanya kalah dari Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Jepang, Jerman, dan Britania Raya. Kontribusi PDB ASEAN terhadap total PDB dunia untuk sekarang ini mencapai 3,3% (World Bank, 2015).

Ketiga, kapasitas perdagangan barang di ASEAN merupakan yang tertinggi keempat di dunia. ASEAN Secretariat (2016) mencatat, total transaksi perdagangan di ASEAN mencapai USD2,27 triliun dan hanya kalah dari Tiongkok, AS, dan Jerman. Kontribusi perdagangan ASEAN terhadap total perdagangan dunia berada di kisaran 7,6%.

Keempat, ASEAN berhasil menyerap total foreign direct investment (FDI) hingga USD120 miliar. Perolehan ini merupakan terbesar keempat dunia di bawah AS, Hong Kong, dan Tiongkok. Kontribusi FDI-nya mencapai 6,8% dari total FDI dunia (UNCTAD, 2016).

Kendati demikian, ASEAN perlu terus berbenah agar setiap negara di dalamnya ikut mengembangkan potensi-potensinya. Misalnya terkait kerja sama antarnegara ASEAN yang belum menunjukkan progres meyakinkan. Salah satu tengaranya mengacu pada perdagangan intra ASEAN masih sangat kecil kontribusinya.

ASEAN Secretariat (2016) mencatat meskipun kini kita sudah memasuki masa ASEAN Economic Community (AEC), tahun 2015 kemarin perdagangan intra ASEAN sebagai wujud integrasi ekonomi antarnegara hanya memiliki share 23,9% dari total perdagangan. Perolehan ini bahkan lebih rendah dari tahun 2007 yang lalu dengan share perdagangan intra ASEAN yang mencapai 25%.

Persoalan ini memang bisa saja kita pandang dalam makna yang positif, misalnya karena pangsa perdagangan ASEAN sudah sangat luas dan terjalin lintas regional negara. Namun, bisa juga pola hubungan antarnegara ASEAN yang terjadi justru lebih banyak diwarnai liberalisasi dan unsur persaingan, ketimbang gotong-royong dalam pemenuhan input-output produksi. Penyebabnya sangat mungkin juga diduga karena faktor homogenitas produk.

Jika pemikiran lebih kita perdalam lagi, berdasarkan ASEAN Integration Report 2015 sepanjang tahun 2008 hingga 2014 dominasi sektor jasa (tersier) di ASEAN semakin menggila sebagai tonggak perekonomian. Pada 2008, share-nya masih berada di angka 46,9% dan kemudian terus melaju hingga sekarang mencapai 50,2%.

Meskipun ada suara-suara yang menganggap pergeseran struktur ekonomi ini menandakan adanya peningkatan varian ekonomi, fenomena ini bagi penulis justru dapat dianggap sebagai kekhawatiran (ancaman). Pertanda ini menggambarkan posisi ASEAN akan betul-betul dimanfaatkan sebatas sebagai pasar konsumsi.

Produktivitas di sektor pertanian dan industri yang nilai manfaatnya selama ini terhitung lebih besar (melalui penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah) bisa kian melemah. Dan, hal ini bisa mengganggu stabilitas pembangunan makroekonomi, terutama jika transisi ketenagakerjaan dan teknologi tidak mampu berjalan mulus.

Potensi yang selama ini relatif belum tergarap secara optimal justru berasal dari lingkungan sosial-budaya ASEAN. Dengan adanya kesamaan budaya, seharusnya menjadi modal sosial yang besar untuk mendongkrak ekonomi ASEAN.

Namun, fakta di lapangan justru menandakan kondisi sebaliknya. Ide integrasi di ASEAN justru dipandang sebagai karpet merah yang mengantarkan pada kanibalisme perdagangan.

Negara tetangga dianggap sebagai kompetitor dan pada akhirnya justru membuat kita semakin sulit bergotong-royong. Padahal, seharusnya integrasi ekonomi mengubah cara pandang kita bahwa antarnegara ASEAN adalah ekosistem produksi dan kompetitor sesungguhnya ialah regional lainnya di luar ASEAN. Maka jangan sampai, AEC ini malah memfasilitasi kita untuk bersikap layaknya kelompok-kelompok “kanibalis”.

Kita juga perlu menginventarisasi faktor-faktor apa saja yang selama ini menghambat integrasi ASEAN untuk bersikap gotong-royong. Selama ini isu yang mencuat, baru sebatas hambatan perdagangan dari unsur tarif dan nontarif.

Pemikiran ini pada akhirnya semakin memfasilitasi kanibalisme, karena kondisi eksisting antarnegara yang diukur dari faktor-faktor produksi yang relatif dalam kondisi timpang. Ada perbedaan daya saing antarnegara ASEAN yang selama ini juga menjadi ganjalan untuk bersinergi, terutama berkaitan dengan faktor SDM dan infrastruktur.

Berdasarkan Human Development Index 2016 yang dirilis UNDP, hanya Singapura dan Brunei Darussalam yang kinerjanya berada di level very high human development, Malaysia dan Thailand berada di level high human development. Sementara Indonesia, Vietnam, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar masih tertahan di medium human development. Nah, persoalan ketimpangan SDM ini bisa membuat tingkat keterampilan dan produktivitas SDM juga ikut berbeda-beda.

Fakta ketimpangan juga disebabkan perbedaan efisiensi ekonomi antarnegara khususnya dari sisi kualitas infrastruktur. Diukur berdasarkan logistic performance index (LPI) 2016, Singapura relatif meninggalkan negara ASEAN lainnya karena daya saing infrastrukturnya berada di peringkat kelima dunia.

Sementara Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Filipina justru mengalami penurunan daya saing dan tercecer di kisaran peringkat 30–70 dunia. Ketimpangan kualitas infrastruktur yang selama ini menghasilkan biaya ekonomi tinggi pada akhirnya ikut menghantui efisiensi kerja sama di lingkup ASEAN.

Menghadapi ulang tahun ASEAN yang tahun ini akan memasuki usia emas (50 tahun), sudah sewajarnya cara pandang ekonomi negara persekutuan ini juga perlu direvisi. Penulis dalam kesempatan ini akan memaparkan beberapa ide yang tujuannya untuk mengoptimalkan potensi integrasi ekonomi di ASEAN.

Pertama, ASEAN harus konsisten dengan konsep pasar tunggalnya. Dalam pandangan penulis, dengan adanya konsep ini sudah seharusnya ego-ego negara mulai dikaburkan dan tidak meninggalkan dampak ketimpangan yang lebih tajam.

Tugas dari pasar tunggal ASEAN ialah berperan membantu para negara tetangganya untuk ikut menciptakan ekosistem ekonomi yang efisien. Kata kuncinya terletak agar bagaimana pola integrasi ini bisa menghasilkan standardisasi SDM, serta efisiensi operasional dan logistik. Misalnya menghadapi negara yang masih terbelit dengan persoalan SDM harus dibantu untuk mulai meningkatkan kapasitas SDM-nya.

Sama halnya ketika sebuah negara sedang menghadapi persoalan biaya pengembangan infrastruktur, negara lainnya mulai berembuk untuk menyusun portofolio investasi di bidang infrastruktur. Pola ini akan mendekatkan pada kesetaraan level ekonomi, dan nantinya yang perlu didorong bukanlah persaingan antarnegara di ASEAN, melainkan gotong royong dalam perekonomian agar ASEAN mampu menjadi raksasa dunia.

Kedua, dengan keberagaman dalam berbagai latar belakang ekonomi, perlu diulas kembali bagaimana keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki masing-masing negara di ASEAN. Tujuannya nanti agar terwujud aliran supply-chain yang membuat ASEAN bisa saling berkolaborasi. Kita perlu menghindari dampak negatif ketika produksi antarnegara cenderung homogen.

Kecenderungan ini bisa memicu adanya persaingan yang menjurus untuk saling “mematikan”. Maka alangkah lebih baiknya jika kita menginisiasi jalan yang lebih aman dengan saling bekerja sama dalam perdagangan.

Landasan kebijakannya bisa mengacu pada potensi spesialisasi antarnegara. Misalnya Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang memiliki keunggulan di bidang kecanggihan SDM dan teknologi, spesialisasi yang dapat mereka fokuskan adalah mengembangkan proses industrialisasi di bidang industri padat modal yang menuntut untuk full technology.

Mereka juga bisa berperan mendorong negara-negara lainnya agar aktivitas ekonominya semakin canggih. Sementara negara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Kamboja didorong untuk mengembangkan agroindustri. Faktor pendukungnya karena keempat negara tersebut memiliki basis yang kuat di sektor ekonomi pertanian.

Ketiga, ASEAN perlu memfasilitasi akses pasar yang lebih luas untuk kepentingan jaringan perdagangan internasional. Apalagi beberapa negara ASEAN memiliki hubungan-hubungan khusus dengan negara-negara maju, yang bisa jadi karena disebabkan hubungan aliansi atau sekutu politik.

Dengan adanya perluasan akses pemasaran diharapkan ikut menumbuhkan daya saing dan produktivitas negara ASEAN. Sebagai contoh keterlibatan Vietnam di dalam Trans-Pasific Partnership, akhirnya mendorong PDB mereka kian meningkat serta produktivitas terus bereskalasi perlahan-lahan untuk mengejar Indonesia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5656 seconds (0.1#10.140)