Menghormati Proses Hukum
A
A
A
MAJELIS hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto memvonis Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dua tahun penjara. Majelis hakim menganggap Ahok terbukti menistakan agama melalui ucapannya di Kepulauan Seribu tentang Surah Al-Maidah 51.
Sebelumnya, jaksa menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Vonis yang lebih berat dari tuntutan ini memunculkan polemik karena majelis hakim dan jaksa mempunyai pandangan yang berbeda.
Begitu juga di kelompok pro dan kontra, pun memunculkan polemik. Bagi yang pro-Ahok, tentu vonis ini dianggap tidak adil dan pendapat sebaliknya bagi yang kontra.
Memang polemik—atau bisa juga kalau disebut kegaduhan—tentang kasus ini telah berlangsung berbulan-bulan. Bahkan di tengah persiapan dan pelaksanaan pilkada serentak 2017, polemik ini semakin kencang hingga muncul anggapan bahwa kasus Ahok ini berkaitan dengan politik. Atau kalau mau lugas, ingin menjegal langkah Ahok untuk kembali duduk menjadi gubernur DKI Jakarta.
Gaung polemik ini pun hingga luar daerah Jakarta, bahkan media-media di luar negeri ikut menyoroti kasus ini. Selain itu, dampak dari kasus ini akan memengaruhi peta politik di pilkada serentak 2018 atau di pemilu 2019. Benarkah? Jawabannya adalah politik (terutama di Indonesia) sangat dinamis.
Namun, bukankah kita sudah terlalu lelah dengan polemik ini. Cara yang paling tepat untuk mengistirahatkan polemik ataupun kontroversi kasus ini adalah menghormati proses hukum. Ya, menghormati proses hukum yang berlangsung seperti yang telah disampaikan beberapa tokoh akan menjadi cara yang jitu mengistirahatkan polemik ini.
Bangsa ini tampaknya sudah lelah dengan polemik yang berlarut-larut. Padahal, polemik ini dianggap akan selesai ketika gelaran pilkada serentak 2017 sudah selesai. Sekali lagi, hentikan polemik (kegaduhan) ini dengan cara menghormati proses hukum yang telah, sedang, dan akan berjalan.
Bagi para pendukung Ahok, kata menghormati proses hukum akan terasa berat karena mereka menganggap majelis hakim sudah tidak bersikap adil. Keadilan bagi mereka adalah jika Ahok dinyatakan tidak bersalah dan mendapat vonis bebas.
Namun meskipun berat, demi menghentikan polemik ini, para pendukung Ahok harus menerima vonis dua tahun penjara dan menghormati dengan baik. Toh, masih ada proses hukum yang bisa ditempuh yaitu banding untuk menguji vonis majelis hakim di pengadilan negeri tersebut. Artinya, daripada protes yang berlebihan, akan lebih baik jika para pendukung memercayakan kepada tim pengacara untuk melakukan banding bahkan hingga tingkat kasasi.
Bagi yang selama ini menentang Ahok, kata menghormati hukum akan lebih nyaring untuk dikatakan. Setidaknya, meskipun tidak mendapat hukuman maksimal, harapan mereka sudah tercukupi dengan Ahok dinyatakan bersalah dan dimasukkan dalam sel tahanan.
Namun, sekali lagi, masih ada proses hukum yang juga harus dihormati bahwa vonis kemarin bisa diajukan banding. Dan jika nantinya vonis banding tersebut bisa lebih ringan, para penentang Ahok juga harus bisa menghormati proses hukum tersebut. Sekali lagi, kedua belah pihak harus sama-sama bisa menghormati proses hukum meskipun rasa mengucapkan dan melaksanakan akan berbeda.
Memang banyak yang masih skeptis dengan proses hukum di Indonesia. Nah, ini menjadi tantangan lembaga kehakiman kita untuk bisa menjawab. Putusan kasus ini akan menjadi ujian kredibilitas lembaga hukum untuk meningkatkan kepercayaan.
Kasus yang tengah ditangani ini adalah kasus yang menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan, Uni Eropa pun turut memberikan pernyataan tentang putusan kasus ini. Media massa di luar pun memberikan sorotan khusus untuk kasus ini.
Putusan-putusan nantinya harus jauh dari intervensi dari politik, pemerintah, atau kelompok massa. Lembaga kehakiman harus bisa menjawab rasa skeptis sebagian masyarakat dengan memberikan putusan yang bebas tekanan dan intervensi dari semua pihak di atas. Sekali lagi, menghormati proses hukum akan menjadi cara nyaman mengistirahatkan polemik atau kegaduhan selama ini, meski mungkin terasa pahit atau manis.
Sebelumnya, jaksa menuntut Ahok satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Vonis yang lebih berat dari tuntutan ini memunculkan polemik karena majelis hakim dan jaksa mempunyai pandangan yang berbeda.
Begitu juga di kelompok pro dan kontra, pun memunculkan polemik. Bagi yang pro-Ahok, tentu vonis ini dianggap tidak adil dan pendapat sebaliknya bagi yang kontra.
Memang polemik—atau bisa juga kalau disebut kegaduhan—tentang kasus ini telah berlangsung berbulan-bulan. Bahkan di tengah persiapan dan pelaksanaan pilkada serentak 2017, polemik ini semakin kencang hingga muncul anggapan bahwa kasus Ahok ini berkaitan dengan politik. Atau kalau mau lugas, ingin menjegal langkah Ahok untuk kembali duduk menjadi gubernur DKI Jakarta.
Gaung polemik ini pun hingga luar daerah Jakarta, bahkan media-media di luar negeri ikut menyoroti kasus ini. Selain itu, dampak dari kasus ini akan memengaruhi peta politik di pilkada serentak 2018 atau di pemilu 2019. Benarkah? Jawabannya adalah politik (terutama di Indonesia) sangat dinamis.
Namun, bukankah kita sudah terlalu lelah dengan polemik ini. Cara yang paling tepat untuk mengistirahatkan polemik ataupun kontroversi kasus ini adalah menghormati proses hukum. Ya, menghormati proses hukum yang berlangsung seperti yang telah disampaikan beberapa tokoh akan menjadi cara yang jitu mengistirahatkan polemik ini.
Bangsa ini tampaknya sudah lelah dengan polemik yang berlarut-larut. Padahal, polemik ini dianggap akan selesai ketika gelaran pilkada serentak 2017 sudah selesai. Sekali lagi, hentikan polemik (kegaduhan) ini dengan cara menghormati proses hukum yang telah, sedang, dan akan berjalan.
Bagi para pendukung Ahok, kata menghormati proses hukum akan terasa berat karena mereka menganggap majelis hakim sudah tidak bersikap adil. Keadilan bagi mereka adalah jika Ahok dinyatakan tidak bersalah dan mendapat vonis bebas.
Namun meskipun berat, demi menghentikan polemik ini, para pendukung Ahok harus menerima vonis dua tahun penjara dan menghormati dengan baik. Toh, masih ada proses hukum yang bisa ditempuh yaitu banding untuk menguji vonis majelis hakim di pengadilan negeri tersebut. Artinya, daripada protes yang berlebihan, akan lebih baik jika para pendukung memercayakan kepada tim pengacara untuk melakukan banding bahkan hingga tingkat kasasi.
Bagi yang selama ini menentang Ahok, kata menghormati hukum akan lebih nyaring untuk dikatakan. Setidaknya, meskipun tidak mendapat hukuman maksimal, harapan mereka sudah tercukupi dengan Ahok dinyatakan bersalah dan dimasukkan dalam sel tahanan.
Namun, sekali lagi, masih ada proses hukum yang juga harus dihormati bahwa vonis kemarin bisa diajukan banding. Dan jika nantinya vonis banding tersebut bisa lebih ringan, para penentang Ahok juga harus bisa menghormati proses hukum tersebut. Sekali lagi, kedua belah pihak harus sama-sama bisa menghormati proses hukum meskipun rasa mengucapkan dan melaksanakan akan berbeda.
Memang banyak yang masih skeptis dengan proses hukum di Indonesia. Nah, ini menjadi tantangan lembaga kehakiman kita untuk bisa menjawab. Putusan kasus ini akan menjadi ujian kredibilitas lembaga hukum untuk meningkatkan kepercayaan.
Kasus yang tengah ditangani ini adalah kasus yang menjadi perhatian banyak pihak. Bahkan, Uni Eropa pun turut memberikan pernyataan tentang putusan kasus ini. Media massa di luar pun memberikan sorotan khusus untuk kasus ini.
Putusan-putusan nantinya harus jauh dari intervensi dari politik, pemerintah, atau kelompok massa. Lembaga kehakiman harus bisa menjawab rasa skeptis sebagian masyarakat dengan memberikan putusan yang bebas tekanan dan intervensi dari semua pihak di atas. Sekali lagi, menghormati proses hukum akan menjadi cara nyaman mengistirahatkan polemik atau kegaduhan selama ini, meski mungkin terasa pahit atau manis.
(poe)