Pungli di Balik Terali Besi
A
A
A
LEBIH dari 400 tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau melarikan diri Jumat (5/5/2017) siang. Kejadian yang sempat direkam warga sekitar lapas melalui kamera telepon seluler itu memperlihatkan kaburnya ratusan narapidana (napi) seperti di film-film.
Ramai-ramai napi keluar lapas berlari sekuat tenaga diiringi suara sirene darurat serta letusan senjata api sipir. Hingga tadi malam sekitar 242 napi berhasil ditangkap, sedangkan 200 lainnya masih dalam pencarian.
Langkah cepat yang diambil Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mencopot kepala lapas pascakejadian sudah tepat, termasuk melakukan penyelidikan kepada sekitar 30 sipir. Kaburnya ratusan napi menurut laporan yang diterima Dirjen Pemasyarakatan I Wayan K Dusak antara lain disebabkan masalah pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, dan petugas sipir yang terlalu ekstrem.
Namun Kapolda Riau Irjen Zulkarnain mengatakan, persoalan di lapas bukan sekadar masalah kesalahan manajemen, tetapi terjadi pula pungutan liar (pungli) yang dilakukan petugas lapas kepada para napi. Pungli di dalam lapas harus menjadi perhatian khusus Kemenkumham.
Kasus ini tentu bukan terjadi di Lapas Sialang Bungkuk saja, tetapi bisa juga terjadi di lapas lain. Padahal sekitar dua bulan lalu atau Senin (20/2) Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) baru saja menangkap 12 sipir Lapas Kelas I Medaeng, Surabaya.
Dalam operasi ini seluruh sipir yang diduga melakukan pungli langsung diperiksa secara intensif oleh Departemen Kemenkumham Wilayah Jawa Timur. Namun operasi tangkap tangan itu tampaknya tak membuat sipir di lapas lain jera dan berhenti melakukan pungli.
Turunnya tim Saber Pungli ke lapas merupakan bukti adanya kegiatan ilegal yang dilakukan oknum sipir untuk memanfaatkan kondisi lapas. Seperti diketahui, hampir semua lapas di Indonesia mengalami problem kapasitas atau daya tampung. Lapas Sialang Bungkuk ini merupakan lapas yang dapat menampung sekitar 561 orang. Namun pada kenyataannya lapas ini dihuni napi hingga 1.870 orang atau melebihi daya tampung hingga tiga kali lipat.
Kondisi lapas yang tak seimbang dengan penghuninya mengharuskan napi harus bisa bertahan hidup dengan berbagi ruangan yang sangat kecil bersama dengan beberapa napi lain. Kelemahan ini dimanfaatkan oknum sipir yang melakukan pungli. Dengan membayar sejumlah uang yang ditentukan, napi bisa mendapatkan ruangan yang lebih baik.
Kasus pungli terhadap penghuni lapas sudah sekian lama terjadi. Publik pernah dikejutkan dengan kasus-kasus pungli yang luar biasa dahsyat di sejumlah lapas. Misalnya dalam kasus Artalyta Suryani, terpidana kasus penyuapan Jaksa BLBI yang mendapatkan ruangan mewah di Rutan Pondok Bambu, Jakarta.
Selain itu terpidana gembong narkotika Freddy Budiman yang bisa membawa bintang model pilihannya masuk ke ruangan tahanan istimewa. Adapun dalam kasus Jesicca Wongso, publik juga dikejutkan dengan ruang tahanan yang cukup luas dan lengkap di Rutan Polda Metro Jaya.
Meski telah menjadi sorotan publik berulang kali, kasus pungli yang terjadi di balik terali besi seolah tak terjamah Kemenkumham. Tidak ada penataan dan reformasi mental para petugas lapas secara signifikan, seolah terjadi pembiaran.
Napi menghuni lapas karena kejahatan yang dilakukannya dan berada di sana untuk pembinaan oleh negara. Alih-alih mendapatkan pembinaan yang dapat menjadikannya kembali berakhlak baik, mereka justru mendapatkan perlakuan buruk dari pelaku kriminal berbaju seragam.
Mungkin banyak keluarga napi yang mengeluhkan perlakuan pungli mulai dari jam besuk hingga kebutuhan yang menjadi hak para penghuni lapas. Namun mengapa aparat negara ramai-ramai menutup mata? Padahal perlakuan khusus di rumah tahanan sangat mengganggu rasa keadilan.
Presiden Jokowi telah membentuk Tim Saber Pungli yang dipimpin Komjen Dwi Priyatno. Tentu semua pihak berharap tim ini dapat bergerak cepat dan memprioritaskan pungli di lapas segera diakhiri. Sejatinya petugas lapas dapat membina napi agar terlepas dari perbuatan kriminal dan bukan menjadi pelaku kriminal baru bagi mereka yang ingin bertobat.
Ramai-ramai napi keluar lapas berlari sekuat tenaga diiringi suara sirene darurat serta letusan senjata api sipir. Hingga tadi malam sekitar 242 napi berhasil ditangkap, sedangkan 200 lainnya masih dalam pencarian.
Langkah cepat yang diambil Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mencopot kepala lapas pascakejadian sudah tepat, termasuk melakukan penyelidikan kepada sekitar 30 sipir. Kaburnya ratusan napi menurut laporan yang diterima Dirjen Pemasyarakatan I Wayan K Dusak antara lain disebabkan masalah pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, dan petugas sipir yang terlalu ekstrem.
Namun Kapolda Riau Irjen Zulkarnain mengatakan, persoalan di lapas bukan sekadar masalah kesalahan manajemen, tetapi terjadi pula pungutan liar (pungli) yang dilakukan petugas lapas kepada para napi. Pungli di dalam lapas harus menjadi perhatian khusus Kemenkumham.
Kasus ini tentu bukan terjadi di Lapas Sialang Bungkuk saja, tetapi bisa juga terjadi di lapas lain. Padahal sekitar dua bulan lalu atau Senin (20/2) Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) baru saja menangkap 12 sipir Lapas Kelas I Medaeng, Surabaya.
Dalam operasi ini seluruh sipir yang diduga melakukan pungli langsung diperiksa secara intensif oleh Departemen Kemenkumham Wilayah Jawa Timur. Namun operasi tangkap tangan itu tampaknya tak membuat sipir di lapas lain jera dan berhenti melakukan pungli.
Turunnya tim Saber Pungli ke lapas merupakan bukti adanya kegiatan ilegal yang dilakukan oknum sipir untuk memanfaatkan kondisi lapas. Seperti diketahui, hampir semua lapas di Indonesia mengalami problem kapasitas atau daya tampung. Lapas Sialang Bungkuk ini merupakan lapas yang dapat menampung sekitar 561 orang. Namun pada kenyataannya lapas ini dihuni napi hingga 1.870 orang atau melebihi daya tampung hingga tiga kali lipat.
Kondisi lapas yang tak seimbang dengan penghuninya mengharuskan napi harus bisa bertahan hidup dengan berbagi ruangan yang sangat kecil bersama dengan beberapa napi lain. Kelemahan ini dimanfaatkan oknum sipir yang melakukan pungli. Dengan membayar sejumlah uang yang ditentukan, napi bisa mendapatkan ruangan yang lebih baik.
Kasus pungli terhadap penghuni lapas sudah sekian lama terjadi. Publik pernah dikejutkan dengan kasus-kasus pungli yang luar biasa dahsyat di sejumlah lapas. Misalnya dalam kasus Artalyta Suryani, terpidana kasus penyuapan Jaksa BLBI yang mendapatkan ruangan mewah di Rutan Pondok Bambu, Jakarta.
Selain itu terpidana gembong narkotika Freddy Budiman yang bisa membawa bintang model pilihannya masuk ke ruangan tahanan istimewa. Adapun dalam kasus Jesicca Wongso, publik juga dikejutkan dengan ruang tahanan yang cukup luas dan lengkap di Rutan Polda Metro Jaya.
Meski telah menjadi sorotan publik berulang kali, kasus pungli yang terjadi di balik terali besi seolah tak terjamah Kemenkumham. Tidak ada penataan dan reformasi mental para petugas lapas secara signifikan, seolah terjadi pembiaran.
Napi menghuni lapas karena kejahatan yang dilakukannya dan berada di sana untuk pembinaan oleh negara. Alih-alih mendapatkan pembinaan yang dapat menjadikannya kembali berakhlak baik, mereka justru mendapatkan perlakuan buruk dari pelaku kriminal berbaju seragam.
Mungkin banyak keluarga napi yang mengeluhkan perlakuan pungli mulai dari jam besuk hingga kebutuhan yang menjadi hak para penghuni lapas. Namun mengapa aparat negara ramai-ramai menutup mata? Padahal perlakuan khusus di rumah tahanan sangat mengganggu rasa keadilan.
Presiden Jokowi telah membentuk Tim Saber Pungli yang dipimpin Komjen Dwi Priyatno. Tentu semua pihak berharap tim ini dapat bergerak cepat dan memprioritaskan pungli di lapas segera diakhiri. Sejatinya petugas lapas dapat membina napi agar terlepas dari perbuatan kriminal dan bukan menjadi pelaku kriminal baru bagi mereka yang ingin bertobat.
(poe)