Pendidikan Humanis Religius

Selasa, 02 Mei 2017 - 08:45 WIB
Pendidikan Humanis Religius
Pendidikan Humanis Religius
A A A
DR Nur'aini Ahmad M Hum
Dosen Fakultas Tarbiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada Hari Pendidikan Nasional hari ini sudah pada waktunya kita untuk berefleksi mengenai arah pendidikan yang sudah dijalankan selama ini. Sudahkah pendidikan yang kita jalankan bisa memenuhi tuntutan zaman sembari tetap mampu memperhatikan kebutuhan tiap-tiap peserta didik agar mampu mencapai potensi maksimalnya?

Pendidikan harus mengembangkan segala aspek yang dimiliki anak berupa potensi dasar (fitrah) baik berupa aspek kognitif, aspek afektif, maupun aspek psikomotorik yang harus dikembangkan dan dicerdaskan secara bersamaan. Pendidikan yang selama ini berpusat pada guru anak sebagi objek, di mana anak diperlakukan sebagai bank dan guru sebagai penabung, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Paulo Freire, guru aktif sementara anak pasif, sudah seharusnya diubah menjadi active learning student, guru sebagai motivator, fasilitator, pendamping, dan pembimbing yang menyenangkan bagi anak didik.

Pendidikan merupakan usaha yang diyakini mampu menyatakan cita-cita dan mimpi manusia. Pada hakikatnya, pendidikan merupakan proses pemanusiawian manusia (humanisasi). Pendidikan dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia atau pengangkatan manusia ke taraf insani (Malik Fadjar, 2005).Pandangan ini mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi pada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis.

Selama ini kita familier dengan konsep pendidikan humanis ala Barat. Ada baiknya kita melihat bagaimana konsep pendidikan humanis ala Islam bisa mewarnai pendidikan di Indonesia.

Pendidikan humanis yang memanusiakan manusia sesungguhnya bukanlah dominasi pemikiran Barat semata kendatipun dalam sejarahnya pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia (humanisasi) bersumber dari pemikiran humanisme Barat (Jack Conrad Willers, 1975). Hal ini sejalan dengan makna dasar humanisme sebagai pendidikan manusia. Tetapi, harus diakui di mana para humanis Barat mendasarkan pemikiran pendidikannya berpusat pada alam (filsafat alam) melepaskan diri dari ihwal transenden (Tuhan). Di sinilah letak perbedaan pemikiran pendidikan humanis Barat dengan humanis Islam yang masih terkait dengan religiusitas agama Islam.

Bagaimana bentuk pemikiran humanis dalam Islam? Sesungguhnya bentuk pemikiran humanis dalam Islam (al-insaniyyah) bersumber dari misi utama kerasulan Muhammad, yaitu memberikan rahmat dan kebaikan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta sebagaimana tercermin dari ayat-ayat di bawah ini:

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159).

Kalau disimak dengan cermat ajaran dasar Islam, ajarannya bersifat (1) kreatif dan dinamis, (2) reaksioner dan finalistik (Abd Madjid, 2014). Pada hakikatnya, Allah telah memberikan pendidikan kepada manusia dengan sempurna. Bila dihubungkan dengan firman Allah di atas, sejatinya pendidikan merupakan bantuan kepada manusia (anak) supaya menjadi manusiawi. Mereka dapat mengaktualisasikan diri dengan cara menemukan dan mengembangkan jati diri dan potensinya secara optimal sehingga menjadi manusia yang sesungguhnya.

Pemikiran semacam ini dapat dilihat pada tokoh psikologi eksistensial atau humanistik seperti Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Arthur Combs. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memunculkan teori pendidikan humanistik. Terkait pemahaman tentang pendidikan humanistik menurut para tokoh tersebut, George R Knight menyimpulkannya sebagai: ”helping the student become ‘humanized’ or ‘self-actualized’ – helping the individual student discover, become, and develop his real self and his full potential” (George R Knight, 1982).

Humanisasi Pendidikan di Indonesia

Krisis dalam makna pendidikan sebenarnya merupakan akibat ada perbedaan antara konsep dan pelaksanaan dalam lembaga pendidikan.
Sebagaimana dikatakan Samuel Bowles dan Herbert Gintis bahwa sekolah seringkali hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo (Samuel Bowles, 1975). Kesenjangan ini mengakibatkan kegagalan pendidikan dalam mencapai misi sucinya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.

Pada peserta didik di samping ada perbedaan individu dan perbedaan kemampuan masing-masing, juga terdapat pula irama yang berbeda antara satu sama lain. Karena itu, segala faktor perbedaan tersebut harus diperhatikan seperti tahap perkembangan yang tidak sama, maka perlakuan harus dibedakan. Pemikiran semacam ini dapat juga dilihat dalam pemikiran tokoh pendidikan Islam seperti M ‘Atiyyah al-Abrashi, yang mengatakan bahwa proses pendidikan ditekankan pada pembentukan pribadi yang baik sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.

Dalam konteks demikian, pendidikan dimaknai lebih dari sekadar persoalan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam masyarakat industri, tetapi juga diorientasikan untuk lebih menaruh perhatian pada isu-isu fundamental dan esensial seperti meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan, menyiapkan manusia untuk hidup di dan bersama dunia, serta mengubah sistem sosial dengan berpihak kepada kaum marginal.

Inovasi bidang pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih humanis menurut penulis telah mulai dikembangkan Malik Fadjar saat ia menjadi menteri pendidikan nasional (mendiknas), yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini merupakan payung hukum sekaligus platformbagi upaya untuk memajukan pendidikan nasional.

Prioritas yang dicanangkan A Malik Fadjar ketika itu adalah usaha meningkatkan kesejahteraan guru dengan cara menaikkan gaji dan tunjangan fungsional mereka hingga lebih dari 100%. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru harus memiliki kualifikasi pendidikan minimal S-1 atau D-4. Selain itu, guru juga harus memiliki sertifikat pendidik. Dengan ada peningkatan kualifikasi tersebut, kesejahteraan guru juga diharapkan akan turut meningkat sehingga pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional (Bambang Sudibyo, 2009).

Pendidikan humanis yang ditawarkan Malik Fadjar bersifat demokratis, emansipatoris, dan berorientasi pada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan baik fisik maupun psikologis. Dua aspek ini coba didewasakan, disadarkan, dan di-insan kamil-kan. Malik Fadjar mencoba menghilangkan hegemoni pendidikan yang bersifat ”sentralistik menjadi otonomi daerah” dengan membentuk community college atau pendidikan yang berorientasi untuk menjawab kebutuhan di daerah setempat. Dalam konteks ini, sejalan pelaksanaan otonomi daerah, pembentukan community college yang berorientasi pada masyarakat semakin penting.

Lebih lanjut, masih menurut Malik Fadjar, pendidikan harus menggunakan pendekatan lebih humanis, yaitu pendekatan yang mengatur keseimbangan antara head (rasio), heart (perasaan), dan hand (keterampilan). Untuk membangun pendidikan yang paling penting bukanlah mendirikan gedung megah, tetapi proses pendidikan yang berlangsung secara menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan, manusia yang santun serta berakhlak mulia.

Pendidikan seperti ini hanya bisa dilakukan jika lembaga pendidikan itu tumbuh dan berkembang di atas basis masyarakat, agama, tradisi, dan akar sosial budaya. Pendidikan juga harus bisa membekali peserta didik dengan ilmu yang sesuai dengan zamannya. Peserta didik tidak akan hidup pada masa sekarang, tetapi akan menjadi generasi masa depan.

Pemikiran pendidikan Islam Malik Fadjar berangkat dari keyakinan bahwa esensi dari pendidikan adalah terletak pada proses memanusiakan manusia (humanisasi) dengan konsep tauhid yang bermuara pada integrasi keilmuan yaitu sains (zikir) dan teknologi (pikir) sebagai acuan paradigmatis. Semangat ini untuk mengembalikan pendidikan ke jiwa asalnya, yakni sebagai proses memanusiakan manusia.

Penjelasan mengenai manusia dan kemanusiaan dalam Alquran menjadi dasar teologis bagi Malik Fadjar mengenai bagaimana seharusnya manusia dipahami, diperlakukan, dan dikembangkan potensinya. Untuk dapat mewujudkan itu, ia mengemukakan perlunya mengkaji ulang dan merumuskan kembali pandangan tentang manusia yang selama ini dijadikan sebagai subjek didik. Manusia harus dilihat sebagai makhluk merdeka dan bebas yang memiliki kemajemukan dalam berbagai dimensinya.

Di sinilah fungsi pendidikan demokratis–emansipatoris, yang harus dengan tetap berkeadaban (civility) di tengah kehidupan bangsa yang multikultural. Melalui visi dan paradigma demikian, pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia paripurna yang berpijak pada konsep tauhid dan bermuara pada integrasi keilmuan antara sains dan teknologi, jiwa dan raga, duniawi dan ukhrawi yang pada akhirnya akan menciptakan umat yang terbaik.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8013 seconds (0.1#10.140)