Masalah Rekrutmen Elite Politik Kita
A
A
A
Asrinaldi Asril
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
Beberapa minggu terakhir publik menyaksikan politisi DPR yang disinyalir melakukan pembohongan kepada publik ketika memberikan kesaksian di pengadilan. Atau politisi DPD yang membangkang terhadap UU karena ingin berkuasa. Semua itu semakin mempertegas kepada publik adanya masalah atas syarat untuk menjadi politisi. Bahkan kalau ditelusuri lebih jauh, banyak soal bangsa ini justru bermula dari rendahnya komitmen kebangsaan dari politisi di lembaga perwakilan rakyat. Karenanya tidak mengherankan jika yang ditampilkan adalah nafsu untuk berkuasa dan bagaimana mempertahankan kekuasaan mereka apa pun caranya. Perilaku ini dengan mudah dapat dilihat dalam praktik politik yang mereka perlihatkan sehari-hari. Kadang muncul pertanyaan, mengapa politisi seperti ini yang terpilih dalam pemilu dan mewakili kepentingan masyarakat?
Memang kisruh kepemimpinan di DPD juga menjadi gambaran betapa mencari pemimpin yang berjiwa negarawan di negeri ini tidaklah mudah. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya republik ini sedang krisis negarawan. Buktinya adalah banyak kasus korupsi di negeri ini yang justru melibatkan politisi di lembaga perwakilan yang seharusnya mengawasi penyelenggaraan kekuasaan pemerintah. Misalnya kasus megakorupsi yang menyita perhatian publik seperti e-KTP yang melibatkan Komisi II DPR periode 2009-2014. Kasus ini secara vulgar telah mengarah pada keterlibatan politisi di DPR yang diperoleh dari pengakuan saksi kunci. Namun dengan berbagai alibi mereka menolak dan membantah pengakuan saksi tersebut. Bagaimanapun tentu publik tidak akan percaya begitu saja pengakuan dan alibi yang dibuat tersebut.
Melihat kejadian di atas, tentu dapat dipahami bahwa ada persoalan besar dengan proses rekrutmen politik dan seleksi kandidat untuk menjadi elite politik di negeri ini. Faktanya, belajar dari kasus-kasus yang menimpa elite politik kita, variabel penting seperti integritas moral dan kompetensi politik calon wakil rakyat yang diharapkan menjadi pertimbangan saat seleksi justru diabaikan partai politik. Malah yang dijadikan pertimbangan adalah popularitas untuk menaikkan perolehan suara dan mereka yang memiliki uang agar dapat membantu partai politik melaksanakan aktivitasnya pada masa pemilu.
Bermasalah sejak Awal
Kegagalan elite menjalankan amanah masyarakat sebagai pemimpin politik di DPR sebenarnya bisa dilihat dari awal rekrutmen politik dan seleksi kandidat yang diselenggarakan. Apalagi untuk lembaga perwakilan rakyat seperti DPR, elite partai cenderung lebih dominan menentukan siapa yang dipilihnya untuk dicalonkan sebagai anggota DPR. Begitu berkuasanya sekelompok kecil elite di partai politik sehingga mereka leluasa memilih orang-orang yang diinginkan, terutama untuk memperkuat posisi mereka di partai politik. Bahkan mereka turut mengatur nomor urut dalam daftar calon agar calon yang diinginkan bisa terpilih tanpa memperhatikan kapasitas mereka, apakah layak atau tidak sebagai wakil rakyat.
Kelompok oligarki dalam partai politik ini telah mem-fait accompli masyarakat agar memilih calon anggota DPR yang mereka inginkan. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat karena dominasi partai politik dalam menentukan calon wakil rakyat memang sudah diatur UU. Di sini terlihat betapa strategisnya partai politik menentukan bagaimana penyelenggaraan negara ini. Sayangnya yang menjadi elite partai politik ini juga lebih banyak mereka yang "bermasalah" secara moral maupun kemampuan. Padahal jika partai politik ini selektif, tentu akan diperoleh wakil rakyat yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Proses rekrutmen politik yang menjadi fungsi utama partai politik memang mesti segera diperbaiki jika ingin mendapatkan pemimpin bangsa yang berjiwa negarawan. Semakin lama kita menjalani demokrasi perwakilan ini justru yang terlihat sejumlah masalah seperti politisi yang gagal menepati janji, elite politik yang oportunistis, dan anggota DPR yang gagal menyelenggarakan fungsi legislatif yang sesungguhnya. Bahkan menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, belum ada prestasi yang membanggakan dari elite di DPR. Kecuali hanya "keributan" bagaimana membagi kekuasaan yang justru berdampak pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Oleh karena itu, memperbaiki sistem rekrutmen adalah keniscayaan agar sistem demokrasi yang dilaksanakan berjalan dengan baik. Bahkan tipikal rezim apa yang akan terbentuk sangat dipengaruhi kualitas elite yang dihasilkan dari proses rekrutmen yang dilakukan partai politik (Pakulski & Tranter, 2015). Jadi jangan heran, kalau kualitas rezim yang terbentuk lebih buruk dari rezim sebelumnya, itu adalah akibat dari sistem rekrutmen yang bermasalah.
Seleksi Diperketat
Tidak dapat dihindari bahwa seleksi elite melalui partai politik menjadi titik lemah pembangunan demokrasi kita selama ini. Memang tidak perlu ada diskriminasi dalam rekrutmen individu untuk menjadi anggota DPR. Namun proses seleksi yang ketat perlu dilakukan agar elite yang dihasilkan lebih berkualitas dari massa yang akan diwakili. Jangan sebaliknya, justru yang dihasilkan adalah elite politik yang hanya mengerti bagaimana membagi-bagi kekuasaan serta tidak memahami posisi mereka sebagai wakil rakyat dalam penyelenggaraan negara yang demokratis.
Gejala itu dapat dimaklumi, sebab mereka yang duduk di DPR umumnya tidak memiliki rekam jejak sebagai aktivis partai politik. Idealnya sebelum menjadi anggota legislatif, mereka harus ditempatkan sebagai kader partai politik yang harus mengelola partai politik baik secara administratif maupun melaksanakan program partai di masyarakat. Begitu juga pimpinan partai di tingkat pusat dan di daerah harus menilai kemampuan kader mereka sebelum masuk sebagai anggota legislatif tersebut. Jika komitmen politik mereka kuat, cakap mengelola kepentingan masyarakat, mengerti dengan UU dan memiliki kemampuan retorika yang baik, dari sinilah mereka didorong untuk masuk sebagai calon anggota legislatif. Dengan cara ini, kemampuan mereka akan terlatih dan mampu menyelenggarakan kekuasaan politik yang ada di tangan mereka secara bijaksana.
Proses rekrutmen dan seleksi calon elite politik seperti ini sebenarnya banyak dilakukan di negara yang maju dengan sistem demokrasinya. Bahkan dalam proses nominasi kader politik sebelum menjadi calon wakil rakyat di parlemen harus memenuhi syarat yang cukup berat. Ini sangat berbeda dengan elite politik di Indonesia yang dapat menjadikan seseorang sebagai elite tanpa melalui seleksi yang ketat. Akibatnya elite politik yang dihasilkan banyak yang oportunistis dan tidak memahami substansi permasalahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu momentum pembahasan UU Pemilu saat ini adalah tepat untuk mempertimbangkan kembali satu klausul yang "memaksa" partai politik melakukan seleksi dan nominasi kandidat ketat baik dari segi persyaratan maupun kemampuan yang dimiliki. Tentunya kita berharap kebutuhan akan elite politik yang berkualitas untuk memimpin negara ini tidak hanya harapan masyarakat saja. Tapi lebih dari itu, keinginan ini merupakan bentuk kesadaran elite partai memperbaiki kualitas demokrasi perwakilan yang terus merosot.
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
Beberapa minggu terakhir publik menyaksikan politisi DPR yang disinyalir melakukan pembohongan kepada publik ketika memberikan kesaksian di pengadilan. Atau politisi DPD yang membangkang terhadap UU karena ingin berkuasa. Semua itu semakin mempertegas kepada publik adanya masalah atas syarat untuk menjadi politisi. Bahkan kalau ditelusuri lebih jauh, banyak soal bangsa ini justru bermula dari rendahnya komitmen kebangsaan dari politisi di lembaga perwakilan rakyat. Karenanya tidak mengherankan jika yang ditampilkan adalah nafsu untuk berkuasa dan bagaimana mempertahankan kekuasaan mereka apa pun caranya. Perilaku ini dengan mudah dapat dilihat dalam praktik politik yang mereka perlihatkan sehari-hari. Kadang muncul pertanyaan, mengapa politisi seperti ini yang terpilih dalam pemilu dan mewakili kepentingan masyarakat?
Memang kisruh kepemimpinan di DPD juga menjadi gambaran betapa mencari pemimpin yang berjiwa negarawan di negeri ini tidaklah mudah. Bahkan dapat dikatakan sebenarnya republik ini sedang krisis negarawan. Buktinya adalah banyak kasus korupsi di negeri ini yang justru melibatkan politisi di lembaga perwakilan yang seharusnya mengawasi penyelenggaraan kekuasaan pemerintah. Misalnya kasus megakorupsi yang menyita perhatian publik seperti e-KTP yang melibatkan Komisi II DPR periode 2009-2014. Kasus ini secara vulgar telah mengarah pada keterlibatan politisi di DPR yang diperoleh dari pengakuan saksi kunci. Namun dengan berbagai alibi mereka menolak dan membantah pengakuan saksi tersebut. Bagaimanapun tentu publik tidak akan percaya begitu saja pengakuan dan alibi yang dibuat tersebut.
Melihat kejadian di atas, tentu dapat dipahami bahwa ada persoalan besar dengan proses rekrutmen politik dan seleksi kandidat untuk menjadi elite politik di negeri ini. Faktanya, belajar dari kasus-kasus yang menimpa elite politik kita, variabel penting seperti integritas moral dan kompetensi politik calon wakil rakyat yang diharapkan menjadi pertimbangan saat seleksi justru diabaikan partai politik. Malah yang dijadikan pertimbangan adalah popularitas untuk menaikkan perolehan suara dan mereka yang memiliki uang agar dapat membantu partai politik melaksanakan aktivitasnya pada masa pemilu.
Bermasalah sejak Awal
Kegagalan elite menjalankan amanah masyarakat sebagai pemimpin politik di DPR sebenarnya bisa dilihat dari awal rekrutmen politik dan seleksi kandidat yang diselenggarakan. Apalagi untuk lembaga perwakilan rakyat seperti DPR, elite partai cenderung lebih dominan menentukan siapa yang dipilihnya untuk dicalonkan sebagai anggota DPR. Begitu berkuasanya sekelompok kecil elite di partai politik sehingga mereka leluasa memilih orang-orang yang diinginkan, terutama untuk memperkuat posisi mereka di partai politik. Bahkan mereka turut mengatur nomor urut dalam daftar calon agar calon yang diinginkan bisa terpilih tanpa memperhatikan kapasitas mereka, apakah layak atau tidak sebagai wakil rakyat.
Kelompok oligarki dalam partai politik ini telah mem-fait accompli masyarakat agar memilih calon anggota DPR yang mereka inginkan. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat karena dominasi partai politik dalam menentukan calon wakil rakyat memang sudah diatur UU. Di sini terlihat betapa strategisnya partai politik menentukan bagaimana penyelenggaraan negara ini. Sayangnya yang menjadi elite partai politik ini juga lebih banyak mereka yang "bermasalah" secara moral maupun kemampuan. Padahal jika partai politik ini selektif, tentu akan diperoleh wakil rakyat yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Proses rekrutmen politik yang menjadi fungsi utama partai politik memang mesti segera diperbaiki jika ingin mendapatkan pemimpin bangsa yang berjiwa negarawan. Semakin lama kita menjalani demokrasi perwakilan ini justru yang terlihat sejumlah masalah seperti politisi yang gagal menepati janji, elite politik yang oportunistis, dan anggota DPR yang gagal menyelenggarakan fungsi legislatif yang sesungguhnya. Bahkan menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, belum ada prestasi yang membanggakan dari elite di DPR. Kecuali hanya "keributan" bagaimana membagi kekuasaan yang justru berdampak pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.
Oleh karena itu, memperbaiki sistem rekrutmen adalah keniscayaan agar sistem demokrasi yang dilaksanakan berjalan dengan baik. Bahkan tipikal rezim apa yang akan terbentuk sangat dipengaruhi kualitas elite yang dihasilkan dari proses rekrutmen yang dilakukan partai politik (Pakulski & Tranter, 2015). Jadi jangan heran, kalau kualitas rezim yang terbentuk lebih buruk dari rezim sebelumnya, itu adalah akibat dari sistem rekrutmen yang bermasalah.
Seleksi Diperketat
Tidak dapat dihindari bahwa seleksi elite melalui partai politik menjadi titik lemah pembangunan demokrasi kita selama ini. Memang tidak perlu ada diskriminasi dalam rekrutmen individu untuk menjadi anggota DPR. Namun proses seleksi yang ketat perlu dilakukan agar elite yang dihasilkan lebih berkualitas dari massa yang akan diwakili. Jangan sebaliknya, justru yang dihasilkan adalah elite politik yang hanya mengerti bagaimana membagi-bagi kekuasaan serta tidak memahami posisi mereka sebagai wakil rakyat dalam penyelenggaraan negara yang demokratis.
Gejala itu dapat dimaklumi, sebab mereka yang duduk di DPR umumnya tidak memiliki rekam jejak sebagai aktivis partai politik. Idealnya sebelum menjadi anggota legislatif, mereka harus ditempatkan sebagai kader partai politik yang harus mengelola partai politik baik secara administratif maupun melaksanakan program partai di masyarakat. Begitu juga pimpinan partai di tingkat pusat dan di daerah harus menilai kemampuan kader mereka sebelum masuk sebagai anggota legislatif tersebut. Jika komitmen politik mereka kuat, cakap mengelola kepentingan masyarakat, mengerti dengan UU dan memiliki kemampuan retorika yang baik, dari sinilah mereka didorong untuk masuk sebagai calon anggota legislatif. Dengan cara ini, kemampuan mereka akan terlatih dan mampu menyelenggarakan kekuasaan politik yang ada di tangan mereka secara bijaksana.
Proses rekrutmen dan seleksi calon elite politik seperti ini sebenarnya banyak dilakukan di negara yang maju dengan sistem demokrasinya. Bahkan dalam proses nominasi kader politik sebelum menjadi calon wakil rakyat di parlemen harus memenuhi syarat yang cukup berat. Ini sangat berbeda dengan elite politik di Indonesia yang dapat menjadikan seseorang sebagai elite tanpa melalui seleksi yang ketat. Akibatnya elite politik yang dihasilkan banyak yang oportunistis dan tidak memahami substansi permasalahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu momentum pembahasan UU Pemilu saat ini adalah tepat untuk mempertimbangkan kembali satu klausul yang "memaksa" partai politik melakukan seleksi dan nominasi kandidat ketat baik dari segi persyaratan maupun kemampuan yang dimiliki. Tentunya kita berharap kebutuhan akan elite politik yang berkualitas untuk memimpin negara ini tidak hanya harapan masyarakat saja. Tapi lebih dari itu, keinginan ini merupakan bentuk kesadaran elite partai memperbaiki kualitas demokrasi perwakilan yang terus merosot.
(zik)