Diplomat dan Diplomasi

Rabu, 05 April 2017 - 07:58 WIB
Diplomat dan Diplomasi
Diplomat dan Diplomasi
A A A
Dinna Wisnu PhD
Political Economist Chair,
Atma Jaya Graduate School of Business &
Senior Advisor, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu

SAYA mendapatkan kunjungan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Special Rapporteur) tentang Hak atas Kesehatan beberapa minggu yang lalu. Tujuan dari kunjungan Pelapor Khusus tersebut adalah mencari informasi tentang sejauh mana hak-hak warga negara untuk mendapatkan kesehatan telah terpenuhi di Indonesia dan bagaimana pula keadaannya di beberapa negara ASEAN lainnya.

Kebetulan saya yang saat ini menjadi wakil Indonesia di Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) memang memimpin langkah AICHR untuk menggerakkan badan-badan antarsektor di ASEAN untuk menjadikan isu Pemenuhan Hak atas Kesehatan sebagai program prioritas ASEAN. Dalam tulisan ini, perlu diketahui di awal bahwa pendapat saya ini tidak mencerminkan posisi pemerintah Indonesia melainkan pendapat pribadi sebagai akademisi.

Setelah menembus macetnya jam pulang kerja di Jakarta menuju lokasi pertemuan di kawasan Bundaran HI, ada sebuah harapan bahwa pertemuan kami akan menjadi ajang tukar pikiran tentang perkembangan dan cara-cara mencapai hak tersebut di Eropa dan Asia. Saya bahkan sudah melakukan riset singkat tentang profil si Pelapor Khusus, latar belakang negara tempatnya berasal, dan perkembangan pemenuhan Hak atas Kesehatan di Asia.

Namun sayangnya, Pelapor Khusus tersebut punya pemahaman yang sangat minim tentang Indonesia, ASEAN, serta seluk-beluk pendekatan yang telah dikembangkan selama ini. Cara berpikirnya adalah semata mendata pelanggaran HAM seputar kesehatan, kelalaian pemerintah akibat kurangnya kerja sama dengan masyarakat sipil, atau karena kurangnya demokrasi.

Ia merujuk pada pengalaman di Eropa sebagai ukuran cara pemenuhan Hak atas Kesehatan. Hal ini mengejutkan karena dalam benak saya, sebagai Pelapor Khusus, ia setidaknya akan berusaha untuk peka pada konteks sosial-ekonomi dan politik yang melatarbelakangi berbagai tahapan perkembangan pemenuhan Hak atas Kesehatan di Asia.

Minimal tahu bedanya antara mengelola negara kepulauan dan negara daratan, antara negara demokrasi dan negara yang sistemnya serba ditentukan oleh lembaga setua Uni Eropa, dst.

Meskipun kecewa, saya kemudian mendudukkan fakta tersebut dengan keberagaman aktor dalam dunia diplomasi hari ini. Ada orang seperti saya dan si Pelapor Khusus PBB yang latar belakangnya bukanlah diplomat karier, melainkan dipercaya oleh negara atau organisasi internasional untuk mewakili negara, mendorong agenda-agenda tertentu, dan bicara atas nama arah yang ingin disuarakan oleh negara ataupun organisasi internasional.

Ada juga para diplomat yang memang dilahirkan sejak awal dari jalur karier, entah itu meniti dari posisi terendah di Kementerian Luar Negeri atau seperti di India di mana seseorang diplomat bisa saja dulunya pegawai negeri di kementerian atau badan negara lain. Terakhir, ada pula diplomat yang mendapatkan jabatan karena keputusan politik.

Di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 30% duta besarnya adalah figur-figur non-diplomat-karier yang ditunjuk oleh presiden. Hal ini berbeda drastis dengan di Kanada, Prancis, Jerman, atau Inggris di mana penunjukan figur non-diplomat-karier hanya satu-dua orang.

Alasan Amerika Serikat, sebagaimana didokumentasikan oleh Kishan S Rana (2013), adalah bahwa karier tidaklah ada batasan bagi yang berbakat; antara menjadi akademisi dan pemikir dengan politisi dan pejabat pemerintah. Itu sebabnya bukan jaminan bahwa mereka yang meniti karier di Kementerian Luar Negeri (State Department) akan menjadi duta besar atau menteri.

Tradisi kepangkatan para diplomat tersebut juga beragam. Tiongkok biasanya mengirimkan duta besar dengan pangkat eselon yang tinggi, setaraf wakil menteri, ke sebuah negara yang dianggap sangat penting untuk kepentingannya. Eropa, Amerika Serikat, dan Indonesia mendapatkan duta besar setingkat itu. Negara yang mendapatkan duta besar dengan pangkat eselon lebih rendah, konsekuensinya, kemudian merasa kurang dihargai.

Keberagaman para diplomat ini tidak mengherankan memunculkan pengalaman seperti yang saya alami di atas. Tidak semua diplomat masuk suatu posisi atau ke suatu negara dengan bekal yang sama.

Justru jika ditelusuri, dari segi usia dan panjang pengalaman, para diplomat dari Indonesia dan rata-rata negara ASEAN justru terbilang lebih “senior” dibandingkan diplomat-diplomat dari “negara maju”.

Dalam pergaulan saya dengan para diplomat dari negara-negara sahabat, khususnya dari Eropa dan Amerika Serikat yang ditempatkan di Jakarta, ada sebuah fenomena menarik bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir sejumlah besar posisi yang cukup tinggi atau strategis di kantor-kantor perwakilan di Jakarta dipimpin oleh para duta besar dan diplomat yang relatif muda. Wajah usia 30-an dan awal 40-an menghiasi jabatan-jabatan itu.

Selain itu, rotasi atas posisi tersebut pun berjalan cepat. Meskipun notabene mereka ditempatkan selama 3–4 tahun, jabatan mereka tidak stagnan selama di Indonesia; mereka meniti jenjang secara cepat.

Tidak heran mereka tak segan untuk selalu bertanya dan mengorek informasi sampai yang ditanya merasa risih. Hebatnya, tidak jarang selepasnya dari Indonesia, mereka dipercaya memegang posisi-posisi yang lebih tinggi lagi di negara-negara yang di lingkar diplomasi dianggap “negara bergengsi”.

Saat ini di Indonesia, usia orang yang lulus dari diklat tertinggi diplomat di Kementerian Luar Negeri berusia 45–55 tahun. Padahal ketika lulus dari diklat tertinggi yang bernama Sesparlu itu, masih dibutuhkan waktu sekitar 8–10 tahun lagi untuk mencapai jabatan setingkat dirjen, wakil duta besar, dan duta besar. Untuk jabatan wakil menteri dan menteri luar negeri memang ada jalur khusus, bisa saja waktunya lebih singkat jika memang orang tersebut dianggap layak oleh presiden.

Wajar jika kemudian pencapaian kepentingan nasional di tingkat regional dan multilateral lebih seperti seni keluwesan mendorong isu dan posisi dibandingkan pemajuan prosedur atau aturan main yang mengikat dan kaku.

Bukan mustahil mereka yang duduk mencatat rekomendasi dari negara-negara anggota PBB, seperti Pelapor Khusus PBB, punya keterbatasan keluwesan karena begitu banyaknya suara negara yang harus diakomodasi atau karena begitu terbatasnya ruang geraknya dalam memberi rekomendasi.

Di sinilah diplomat tidak boleh enggan mendebat, bahkan membuka pikiran diplomat lain untuk berpikir dari sudut-sudut pandang lain yang berbeda. Semakin banyak negara yang diwakili, dilibatkan, atau dilaporkan, semakin sering pula diplomat bermain dengan simplifikasi isu.

Adalah tanggung jawab kita yang menguasai nuansa-nuansa pendekatan dan perspektif untuk mengingatkan para diplomat tentang keterbatasan dari sejumlah cara pandang yang mereka kerap anggap sebagai kebenaran tunggal.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4788 seconds (0.1#10.140)