Agama Jauh dari Politik, Mungkinkah?

Selasa, 04 April 2017 - 09:36 WIB
Agama Jauh dari Politik,...
Agama Jauh dari Politik, Mungkinkah?
A A A
Anna Luthfie
Ketua DPP Partai Perindo


PERNYATAAN
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antarumat menjadi polemik publik. Tidak saja karena yang mengucapkan seorang presiden, tetapi juga Jokowi membuka kembali wacana yang sebenarnya sudah selesai dan tuntas.

Ya, sudah selesai karena Pembukaan UUD 1945 dan sila pertama Pancasila dengan tegas memproklamasikan negara Indonesia bukan negara sekuler sekaligus juga bukan negara agama. Indonesia lahir, tumbuh, dan besar dengan berlandaskan nilai-nilai religiositas. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti. Bagaimanapun bangsa ini ditopang oleh keyakinan adanya Tuhan dan mengakui keesaan Tuhan.

Nah, tentu pernyataan Jokowi berada dalam konteks kontestasi pilkada yang sarat dengan muatan SARA, terutama agama. Kerentanan gesekan di pilkada itulah yang membuat pertimbangan presiden perlu mengajak semua pihak tidak lagi mencampuradukkan politik dan agama. Namun pertanyaan kemudian muncul, mungkinkah agama dan politik itu dipisah?

Penulis memandang politik adalah media dan manifestasi dari sebuah cita-cita ideal yang ditopang oleh sebuah nilai. Nilai itu sebagian besar bersumber dari sebuah keyakinan ideologis. Di sinilah agama menempati ruang yang besar, mengendap dalam relung hati, pikiran, dan rasa dari pelaku-pelaku politik. Jangan dibayangkan politik selalu berurusan dengan pragmatisme. Politik bahkan ujung dari sebuah perjuangan nilai dan agama tidak jarang menjadi nilai dominan dari perjuangan tersebut.

Pernyataan Presiden Jokowi juga membuka kembali memori kita pada konsep sekularisasi dari Nurcholish Madjid. Cak Nur menangkap dan memberi batas tegas apa itu sekularisasi dan apa itu sekularisme. Jika sekularisme adalah pemisahan agama dari hal-hal yang bersifat duniawi, maka sekularisasi diartikan Nurcholish sebagai upaya untuk menduniawikan hal-hal yang duniawi dan mengukhrawikan hal-hal yang bersifat ukhrawi.

Jika mengikuti konseptualisasi Cak Nur ini, ajakan presiden sebenarnya masuk dalam kategori sekularisme, yakni upaya memisahkan diri urusan politik dengan agama. Jika ini benar, tentu pernyataan presiden ahistoris. Bagaimanapun bangsa ini lahir juga karena perjuangan para umat beragama. Kemerdekaan dan perlawanan masyarakat kepada penjajah tidak akan terwujud dengan pekikan takbir, keberanian para santri yang digerakkan para kiai. Belum lagi juga gerakan-gerakan yang dilakukan para romo dan aktivis gereja dalam gerakan di masa kemerdekaan yang semuanya bertujuan sama, yakni merebut kebebasan.

Penulis memahami tujuan presiden adalah mengingatkan soal kontestasi yang harus dilakukan dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa. Namun, dengan kalimat yang dipilih, apalagi kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai relasi agama dan politik, Presiden seakan membuka kembali luka lama bahwa agama ”diharamkan” dalam politik. Luka lama itu terekam jelas, terutama bagi umat Islam dalam sejarah pergerakan politik di negeri ini.

Politik Islam

Di era Orde Baru, rezim membungkam gerakan politik Islam yang sebelumnya di era Orde Lama begitu menguat meskipun kemudian di ujung rezim Soekarno kekuatan politik Islam tidak mampu menjaga soliditas selepas pembubaran Partai Masyumi. Hal yang sama juga dialami Nahdlatul Ulama yang kemudian kembali ke khitah dalam muktamarnya di tahun 1984.

Upaya ini kemudian mengawali peminggiran NU dari kontestasi politik sampai kemudian di awal era Reformasi bangkit kembali. Namun praktis sepanjang era Orde Baru, agama menjadi terbelenggu dalam kungkungan domestik. Politik yang notabene urusan publik seakan menjauhi agama. Kebijakan fusi partai politik di era Orde Baru, diakui atau tidak, juga bagian dari pelemahan politik Islam.

Padahal peran politik Islam sebenarnya seiring dengan gejolak politik yang terjadi di Indonesia. Sejarah politik kita tidak bisa lepas dari peran Islam secara politik, baik melalui hadirnya tokoh-tokoh Islam yang memegang peran politik maupun organisasi-organisasi Islam yang turut memiliki pengaruh kuat dalam mewarnai perpolitikan nasional.

Bakhtiar Effendi dalam bukunya Islam dan Negara Transformasi: Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) merekam bagaimana peran politik Islam tidak bisa lepas dari dinamika politik kekuasaan. Hal yang sama juga tampak pada arena politik lokal.

Dalam beberapa kasus pemilihan kepala daerah langsung, tokoh agama atau ulama banyak terlibat dan dilibatkan dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu.

Pilkada DKI
Tentu publik akan mengasosiasikan pernyataan Presiden mengenai relasi agama dan politik terhadap perhelatan putaran kedua Pilkada DKI. Isu agama yang kental mewarnai kontestasi politik di Ibu Kota ini tentu membuat tensi politik semakin panas. Apalagi putaran kedua nanti akan berhadap-hadapan dua sosok calon gubernur yang memiliki karakter berbeda.

Selain karakter, keduanya juga diusung oleh isu dan sentimen yang berbeda. Calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok cenderung diusung oleh hasil kinerjanya selama menjadi gubernur petahana, sementara Anies diusung dengan isu perubahan sekaligus sentimen agama seiring dengan kasus penistaan agama yang menjerat Ahok.

Beberapa hasil survei menyebut sentimen agama cukup kuat mewarnai kontestasi politik Pilkada DKI. Agama menjadi pertimbangan penting seseorang menentukan pilihannya. Isu ini di satu sisi akan menguntungkan Anies karena itu pasangan Anies-Sandi lebih dekat dengan kekuatan politik yang dekat dengan aspirasi politik umat Islam. Sementara pasangan Basuki-Djarot lebih bertumpu pada kekuatannya sebagai petahana dengan kerja-kerja yang mereka lakukan.

Tidak mengherankan, ketika terjadi putaran kedua, isu agama kembali menghangat. Pernyataan Presiden Jokowi pun tidak bisa dilepaskan dalam konteks pertarungan Pilkada DKI. Selain ahistoris, pernyataan presiden juga menimbulkan pertanyaan publik mengenai imparsialitas presiden sebagai kepala negara dalam kontestasi pilkada. Nah, di sinilah letak daya gaduh pernyataan presiden mengenai relasi agama dan politik tersebut.

Publik tentu berharap presiden dengan kenegarawanannya mampu menjaga imparsialitasnya. Bagaimanapun agama dan politik bukan sesuatu yang saling menegasikan. Keduanya adalah entitas yang saling memerlukan dan membutuhkan. Politik adalah jalan sekaligus media perjuangan dari sebuah nilai dan idealisme.

Sementara agama adalah sumber nilai yang juga memberikan kekuatan moral dalam berpolitik. Merujuk Islam, misalnya, ada satu landasan, yakni keadilan. Nah, politik pun harus mampu menuju ke sebuah keadilan. Jadi agama dan politik tidak mungkin terpisah dan dipisahkan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5800 seconds (0.1#10.140)