Tax Amnesty: What Next?
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
GEGAP gempita program pengampunan pajak (tax amnesty) telah resmi berakhir pada 31 Maret 2017 lalu. Seperti dugaan sebelumnya, di luar prediksi melubernya jumlah peserta, nyaris sudah tidak ada lagi kejutan-kejutan yang menghebohkan di detik-detik akhir menjelang masa penutupan.
Tidak lama berselang dari masa penutupan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara singkat telah merilis hasil sementara penerimaan tax amnesty. Siaran pers tersebut membahas banyak hal mulai tingkat partisipasi, jumlah dana yang direalisasikan, hingga langkah-langkah lanjutan yang mengarah pada perbaikan kinerja perpajakan di masa akan datang.
Program ini tercatat telah melibatkan 965.983 wajib pajak (WP) sebagai peserta. Sekitar 48.000 di antaranya merupakan WP yang benar-benar baru memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Penerimaan dana tebusan hingga masa akhir pemberlakuan tercatat mencapai Rp135 triliun atau sekitar 81,8% dari total target yang dicanangkan pemerintah. Target lainnya berupa deklarasi harta di luar dugaan mampu menembus angka Rp4.855 triliun atau 121,37% dari target.
Sementara realisasi dana repatriasi menjadi indikator kinerja dengan capaian paling rendah. Hingga masa penutupan, nominal yang dihasilkan hanya Rp147 triliun atau berkisar 14,7% dari target.
Perolehan yang cukup rendah ini bisa diinterpretasikan ke dalam beberapa hal. Misalnya keterkaitan repatriasi dengan tingkat kepercayaan dan kredibilitas daya saing investasi Indonesia.
Bisa saja WNI yang memiliki harta cenderung merasa asetnya lebih “aman” jika tetap berada di luar negeri. Meskipun terhitung sangat jauh dari target yang dicanangkan, perolehan dana repatriasi yang tersedia sudah cukup lumayan untuk ikut menyemarakkan investasi di sektor keuangan domestik.
Apalagi nantinya jika hasil repatriasi dapat dikelola secara efektif untuk mendanai berbagai proyek-proyek strategis, misalnya untuk penyediaan kredit usaha rakyat (KUR) bagi UMKM, investasi melalui pasar obligasi/sukuk untuk infrastruktur, serta produk-produk investasi strategis di sektor keuangan lainnya.
Sementara itu, dana tebusan yang dalam periode ketiga terkumpul sebesar Rp20,91 triliun diharapkan ikut memperkuat kas anggaran untuk belanja pemerintah pada 2017. Apalagi beban fiskal yang ditanggung pemerintah sudah terlanjur melambung tinggi.
Dalam dua bulan pertama 2017, realisasi penerimaan dari pajak baru terkumpul Rp134,6 triliun yang di dalamnya juga sudah termasuk PPh migas. Dalam kurun waktu yang sama, perolehan dari tax amnesty baru menopang sekitar Rp2,92 triliun dari total pajak. Jika dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak kita tumbuh sebesar 8,15% (year on year).
Akumulasi sementara terhadap total target 2017 juga tercatat lebih baik karena sudah mencapai 10,29%, sementara tahun lalu hanya 9,18%. Hal ini menunjukkan ada sinyalemen positif atas perilaku kepatuhan masyarakat untuk kepentingan perpajakan.
Namun, pemerintah masih harus meningkatkan daya juangnya untuk memenuhi target pertumbuhan pajak yang dalam tahun ini dipatok meningkat sebesar 18,3% dari tahun sebelumnya. Tugas lain bagi pemerintah sudah siap menanti di depan mata.
Untuk menjaga sirkulasi perekonomian tetap lancar, kinerja penerimaan pajak tidak ubahnya seperti mata air, yang kesinambungannya ikut dipengaruhi eksistensi dari faktor-faktor ekonomi lainnya. Pemerintah dituntut kreatif mengombinasikan kebijakan di tengah keterbatasan sumber daya belanja dan pendapatan.
Dari sisi belanja, prioritas pengembangan infrastruktur dan pembangunan desa perlu semakin diperbesar, karena kinerja keduanya dalam tafsiran penulis merupakan gaya kebijakan yang paling dekat dengan target pertumbuhan ekonomi inklusif.
Kombinasi kedua kebijakan memiliki potensi yang sangat besar untuk memengaruhi biaya transaksi dan efisiensi pasar. Selain itu, juga dapat berfungsi untuk menjaga kualitas SDM dan SDA terus meningkat, menekan tingkat ketimpangan dan kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat, serta jika dikaitkan dengan kinerja perpajakan akan menambah potensi penerimaan seiring bertumbuhnya level kesejahteraan masyarakat.
Target Selanjutnya: Penegakan Janji
Kembali kepada topik perpajakan, kita semua perlu bersepakat bahwa fungsi program tax amnesty kurang lebih hanya sebagai outcome dari proses reformasi perpajakan. Pemerintah mencoba membangun upaya rekonsiliasi yang diawali pada perbaikan database perpajakan, peningkatan tingkat kepatuhan, dan penguatan modal sosial dengan masyarakat.
Nah setelah program tax amnesty telah tuntas, tugas berikutnya adalah menjaga agar momentum rekonsiliasi ini tidak kandas di tengah jalan. Oleh karena itu, penulis menyusun beberapa ide-ide praktis yang dapat pemerintah lakukan sebagai bagian dari tindak lanjut program tax amnesty.
Pertama, pemerintah harus konsisten dan berkomitmen penuh terhadap setiap aturan hukum perpajakan. Penguatan citra pemerintah untuk penegakan hukum dapat diawali dengan pelaksanaan amanat dalam UU Pengampunan Pajak. Misalnya terkait denda sebesar 200% dari pajak penghasilan (PPh) yang tidak dilaporkan wajib pajak.
Dalam sosialisasinya, sanksi tersebut sempat memberikan efek kalut yang luar biasa terutama bagi kalangan pengusaha UMKM. Namun, pemerintah berhasil meredamnya dengan menegaskan bahwa sanksi hanya akan diberlakukan bagi WP yang mengabaikan peluang tax amnesty.
Selain itu, juga harus betul-betul enforce terhadap WP yang menunda/membagi proses repatriasi dalam beberapa tahap. Bagi yang lalai memenuhi kewajibannya, bentuk punishment-nya ialah pembatalan hak-hak WP yang dianggap gagal bayar (default).
Kedua, reformasi perpajakan seharusnya juga diikuti dengan reformasi birokrasi yang konkret dan mengarah pada efisiensi kinerja di sektor keuangan dan sektor riil. Dana repatriasi yang telah terkumpul di bank-bank gateway harus terjamin akuntabilitas penggunaannya, karena sifatnya seperti dana titipan investasi yang sangat “dipaksakan”.
Paket-paket deregulasi investasi jangan sekadar ditambahkan kuantitasnya tanpa ada prosedur evaluasi yang berkualitas dan transparan. Karena nantinya kinerja investasi bisa menimbulkan efek prosiklikalitas dengan sektor jasa keuangan dan moneter.
Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) beserta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menekan bank-bank gateway yang masih menelantarkan dana repatriasi. Sudah sewajarnya dana ini segera diedarkan khususnya untuk memenuhi alokasi kebutuhan kredit di sektor riil, atau alternatifnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur strategis.
Gerak cepat ini juga dalam rangka memenuhi konsekuensi dalam PMK 150/2016, di mana WP dapat sewaktu-waktu menarik profit sebagai keuntungan/hasil dari produk investasi dana repatriasi.
Ketiga, menyongsong akan diberlakukannya era Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan negara-negara anggota G-20, dibutuhkan adanya landasan/penguatan dan deskripsi hukum yang konsisten.
Untuk saat ini hingga tenggat Juli 2017, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk memenuhi kriteria pemberlakuan AEoI. Salah satunya dibutuhkan perubahan UU yang dapat memfasilitasi akses informasi terhadap perbankan di Indonesia secara otomatis.
Kriteria berikutnya, kita perlu segera memiliki pedoman implementasi AEoI di Indonesia yang mengacu pada format common reporting standard (CRS). Selain itu, pemerintah juga harus segera menandatangani kesepakatan dalam Mutual Administrative Assistance (MAC) yang membahas ketentuan dalam AEoI.
Pemerintah perlu menginiasi sistem yang serupa dengan negara-negara di ASEAN. Pertimbangan utamanya bisa kita pelajari dari pola persebaran aset kekayaan WNI yang banyak mengendap di beberapa negara ASEAN, khususnya di Singapura.
Pentingnya keterlibatan Indonesia ke dalam sistem AEoI, salah satunya agar memudahkan dalam hal pengawasan lalu lintas keuangan dan level kekayaan warganya. Tujuan lainnya bisa juga dikaitkan untuk mencegah fenomena Panama Papers agar tidak kembali terulang. Namun di sisi yang lain, jangan sampai menimbulkan kegaduhan bagi masyarakat karena ketidakjelasan batasan penggunaan akses informasi.
Pemerintah harus mulai bersosialisasi mengenai sejauh mana informasinya akan dibuka untuk tujuan perpajakan (khususnya terkait dengan tugas DJP). Jangan sampai setelah berlakunya AEoI, masyarakat justru cenderung menjadi alergi dengan berbagai layanan perbankan.
Dan keempat, pemerintah perlu menutup celah-celah hukum lainnya serta memahami betapa pentingnya modal sosial dengan para wajib pajak. Keragaman bentuk fisik kekayaan sudah sangat berkembang pesat hingga menyentuh ranah digital.
Fenomena mata uang virtual (virtual currency) sangat berbeda dengan sistem e-money, karena biasanya berupa koin-koin virtual untuk kepentingan games online yang kadang kala dapat digunakan untuk membeli barang dan jasa di dunia nyata, serta dapat juga ditukarkan dengan fiat currency.
Dan celakanya lagi, virtual currency ini belum dikontrol sepenuhnya oleh BI sehingga sangat rawan digunakan untuk tax evasion. Bahkan negara lain seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang sudah mulai mengatur peredaran virtual currency.
Namun, yang penulis maksudkan di sini tidak sebatas pada perlunya kita segera menyusun UU yang baru, melainkan langkah terobosan yang lebih menjamin bahwa desain kelembagaan yang ada mampu berjalan lebih dinamis dan elegan.
Penulis begitu gigih mengingatkan betapa pentingnya eksistensi modal sosial di antara hubungan pihak prinsipal (warga) dan agen pengelola negara (pemerintah). Karena bisa jadi munculnya moral hazard bukan semata-mata disebabkan sistem hukum yang kian longgar, melainkan bisa juga disebabkan lebih didorong rendahnya unsur moral dan lemahnya unsur loyal antara rakyat dengan pemerintah.
Masyarakat perlu diajak bergandengan tangan menyelesaikan problem-problem di lingkungan kebijakan fiskal kalau bisa tanpa adanya proses ancaman. Karena jika peran rakyat tidak dapat dioptimalkan, kita akan semakin mudah terjebak pada pilihan untuk memaksimalkan utang.
Jadi kombinasi idealnya bisa bergerak beriringan, pemerintah berjuang memperbaiki layanannya, sedangkan rakyat berjuang melalui kewajiban-kewajiban pajaknya.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
GEGAP gempita program pengampunan pajak (tax amnesty) telah resmi berakhir pada 31 Maret 2017 lalu. Seperti dugaan sebelumnya, di luar prediksi melubernya jumlah peserta, nyaris sudah tidak ada lagi kejutan-kejutan yang menghebohkan di detik-detik akhir menjelang masa penutupan.
Tidak lama berselang dari masa penutupan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara singkat telah merilis hasil sementara penerimaan tax amnesty. Siaran pers tersebut membahas banyak hal mulai tingkat partisipasi, jumlah dana yang direalisasikan, hingga langkah-langkah lanjutan yang mengarah pada perbaikan kinerja perpajakan di masa akan datang.
Program ini tercatat telah melibatkan 965.983 wajib pajak (WP) sebagai peserta. Sekitar 48.000 di antaranya merupakan WP yang benar-benar baru memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Penerimaan dana tebusan hingga masa akhir pemberlakuan tercatat mencapai Rp135 triliun atau sekitar 81,8% dari total target yang dicanangkan pemerintah. Target lainnya berupa deklarasi harta di luar dugaan mampu menembus angka Rp4.855 triliun atau 121,37% dari target.
Sementara realisasi dana repatriasi menjadi indikator kinerja dengan capaian paling rendah. Hingga masa penutupan, nominal yang dihasilkan hanya Rp147 triliun atau berkisar 14,7% dari target.
Perolehan yang cukup rendah ini bisa diinterpretasikan ke dalam beberapa hal. Misalnya keterkaitan repatriasi dengan tingkat kepercayaan dan kredibilitas daya saing investasi Indonesia.
Bisa saja WNI yang memiliki harta cenderung merasa asetnya lebih “aman” jika tetap berada di luar negeri. Meskipun terhitung sangat jauh dari target yang dicanangkan, perolehan dana repatriasi yang tersedia sudah cukup lumayan untuk ikut menyemarakkan investasi di sektor keuangan domestik.
Apalagi nantinya jika hasil repatriasi dapat dikelola secara efektif untuk mendanai berbagai proyek-proyek strategis, misalnya untuk penyediaan kredit usaha rakyat (KUR) bagi UMKM, investasi melalui pasar obligasi/sukuk untuk infrastruktur, serta produk-produk investasi strategis di sektor keuangan lainnya.
Sementara itu, dana tebusan yang dalam periode ketiga terkumpul sebesar Rp20,91 triliun diharapkan ikut memperkuat kas anggaran untuk belanja pemerintah pada 2017. Apalagi beban fiskal yang ditanggung pemerintah sudah terlanjur melambung tinggi.
Dalam dua bulan pertama 2017, realisasi penerimaan dari pajak baru terkumpul Rp134,6 triliun yang di dalamnya juga sudah termasuk PPh migas. Dalam kurun waktu yang sama, perolehan dari tax amnesty baru menopang sekitar Rp2,92 triliun dari total pajak. Jika dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak kita tumbuh sebesar 8,15% (year on year).
Akumulasi sementara terhadap total target 2017 juga tercatat lebih baik karena sudah mencapai 10,29%, sementara tahun lalu hanya 9,18%. Hal ini menunjukkan ada sinyalemen positif atas perilaku kepatuhan masyarakat untuk kepentingan perpajakan.
Namun, pemerintah masih harus meningkatkan daya juangnya untuk memenuhi target pertumbuhan pajak yang dalam tahun ini dipatok meningkat sebesar 18,3% dari tahun sebelumnya. Tugas lain bagi pemerintah sudah siap menanti di depan mata.
Untuk menjaga sirkulasi perekonomian tetap lancar, kinerja penerimaan pajak tidak ubahnya seperti mata air, yang kesinambungannya ikut dipengaruhi eksistensi dari faktor-faktor ekonomi lainnya. Pemerintah dituntut kreatif mengombinasikan kebijakan di tengah keterbatasan sumber daya belanja dan pendapatan.
Dari sisi belanja, prioritas pengembangan infrastruktur dan pembangunan desa perlu semakin diperbesar, karena kinerja keduanya dalam tafsiran penulis merupakan gaya kebijakan yang paling dekat dengan target pertumbuhan ekonomi inklusif.
Kombinasi kedua kebijakan memiliki potensi yang sangat besar untuk memengaruhi biaya transaksi dan efisiensi pasar. Selain itu, juga dapat berfungsi untuk menjaga kualitas SDM dan SDA terus meningkat, menekan tingkat ketimpangan dan kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat, serta jika dikaitkan dengan kinerja perpajakan akan menambah potensi penerimaan seiring bertumbuhnya level kesejahteraan masyarakat.
Target Selanjutnya: Penegakan Janji
Kembali kepada topik perpajakan, kita semua perlu bersepakat bahwa fungsi program tax amnesty kurang lebih hanya sebagai outcome dari proses reformasi perpajakan. Pemerintah mencoba membangun upaya rekonsiliasi yang diawali pada perbaikan database perpajakan, peningkatan tingkat kepatuhan, dan penguatan modal sosial dengan masyarakat.
Nah setelah program tax amnesty telah tuntas, tugas berikutnya adalah menjaga agar momentum rekonsiliasi ini tidak kandas di tengah jalan. Oleh karena itu, penulis menyusun beberapa ide-ide praktis yang dapat pemerintah lakukan sebagai bagian dari tindak lanjut program tax amnesty.
Pertama, pemerintah harus konsisten dan berkomitmen penuh terhadap setiap aturan hukum perpajakan. Penguatan citra pemerintah untuk penegakan hukum dapat diawali dengan pelaksanaan amanat dalam UU Pengampunan Pajak. Misalnya terkait denda sebesar 200% dari pajak penghasilan (PPh) yang tidak dilaporkan wajib pajak.
Dalam sosialisasinya, sanksi tersebut sempat memberikan efek kalut yang luar biasa terutama bagi kalangan pengusaha UMKM. Namun, pemerintah berhasil meredamnya dengan menegaskan bahwa sanksi hanya akan diberlakukan bagi WP yang mengabaikan peluang tax amnesty.
Selain itu, juga harus betul-betul enforce terhadap WP yang menunda/membagi proses repatriasi dalam beberapa tahap. Bagi yang lalai memenuhi kewajibannya, bentuk punishment-nya ialah pembatalan hak-hak WP yang dianggap gagal bayar (default).
Kedua, reformasi perpajakan seharusnya juga diikuti dengan reformasi birokrasi yang konkret dan mengarah pada efisiensi kinerja di sektor keuangan dan sektor riil. Dana repatriasi yang telah terkumpul di bank-bank gateway harus terjamin akuntabilitas penggunaannya, karena sifatnya seperti dana titipan investasi yang sangat “dipaksakan”.
Paket-paket deregulasi investasi jangan sekadar ditambahkan kuantitasnya tanpa ada prosedur evaluasi yang berkualitas dan transparan. Karena nantinya kinerja investasi bisa menimbulkan efek prosiklikalitas dengan sektor jasa keuangan dan moneter.
Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) beserta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menekan bank-bank gateway yang masih menelantarkan dana repatriasi. Sudah sewajarnya dana ini segera diedarkan khususnya untuk memenuhi alokasi kebutuhan kredit di sektor riil, atau alternatifnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur strategis.
Gerak cepat ini juga dalam rangka memenuhi konsekuensi dalam PMK 150/2016, di mana WP dapat sewaktu-waktu menarik profit sebagai keuntungan/hasil dari produk investasi dana repatriasi.
Ketiga, menyongsong akan diberlakukannya era Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan negara-negara anggota G-20, dibutuhkan adanya landasan/penguatan dan deskripsi hukum yang konsisten.
Untuk saat ini hingga tenggat Juli 2017, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat untuk memenuhi kriteria pemberlakuan AEoI. Salah satunya dibutuhkan perubahan UU yang dapat memfasilitasi akses informasi terhadap perbankan di Indonesia secara otomatis.
Kriteria berikutnya, kita perlu segera memiliki pedoman implementasi AEoI di Indonesia yang mengacu pada format common reporting standard (CRS). Selain itu, pemerintah juga harus segera menandatangani kesepakatan dalam Mutual Administrative Assistance (MAC) yang membahas ketentuan dalam AEoI.
Pemerintah perlu menginiasi sistem yang serupa dengan negara-negara di ASEAN. Pertimbangan utamanya bisa kita pelajari dari pola persebaran aset kekayaan WNI yang banyak mengendap di beberapa negara ASEAN, khususnya di Singapura.
Pentingnya keterlibatan Indonesia ke dalam sistem AEoI, salah satunya agar memudahkan dalam hal pengawasan lalu lintas keuangan dan level kekayaan warganya. Tujuan lainnya bisa juga dikaitkan untuk mencegah fenomena Panama Papers agar tidak kembali terulang. Namun di sisi yang lain, jangan sampai menimbulkan kegaduhan bagi masyarakat karena ketidakjelasan batasan penggunaan akses informasi.
Pemerintah harus mulai bersosialisasi mengenai sejauh mana informasinya akan dibuka untuk tujuan perpajakan (khususnya terkait dengan tugas DJP). Jangan sampai setelah berlakunya AEoI, masyarakat justru cenderung menjadi alergi dengan berbagai layanan perbankan.
Dan keempat, pemerintah perlu menutup celah-celah hukum lainnya serta memahami betapa pentingnya modal sosial dengan para wajib pajak. Keragaman bentuk fisik kekayaan sudah sangat berkembang pesat hingga menyentuh ranah digital.
Fenomena mata uang virtual (virtual currency) sangat berbeda dengan sistem e-money, karena biasanya berupa koin-koin virtual untuk kepentingan games online yang kadang kala dapat digunakan untuk membeli barang dan jasa di dunia nyata, serta dapat juga ditukarkan dengan fiat currency.
Dan celakanya lagi, virtual currency ini belum dikontrol sepenuhnya oleh BI sehingga sangat rawan digunakan untuk tax evasion. Bahkan negara lain seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang sudah mulai mengatur peredaran virtual currency.
Namun, yang penulis maksudkan di sini tidak sebatas pada perlunya kita segera menyusun UU yang baru, melainkan langkah terobosan yang lebih menjamin bahwa desain kelembagaan yang ada mampu berjalan lebih dinamis dan elegan.
Penulis begitu gigih mengingatkan betapa pentingnya eksistensi modal sosial di antara hubungan pihak prinsipal (warga) dan agen pengelola negara (pemerintah). Karena bisa jadi munculnya moral hazard bukan semata-mata disebabkan sistem hukum yang kian longgar, melainkan bisa juga disebabkan lebih didorong rendahnya unsur moral dan lemahnya unsur loyal antara rakyat dengan pemerintah.
Masyarakat perlu diajak bergandengan tangan menyelesaikan problem-problem di lingkungan kebijakan fiskal kalau bisa tanpa adanya proses ancaman. Karena jika peran rakyat tidak dapat dioptimalkan, kita akan semakin mudah terjebak pada pilihan untuk memaksimalkan utang.
Jadi kombinasi idealnya bisa bergerak beriringan, pemerintah berjuang memperbaiki layanannya, sedangkan rakyat berjuang melalui kewajiban-kewajiban pajaknya.
(poe)