Kebijakan yang Merampok Masa Depan

Jum'at, 31 Maret 2017 - 13:29 WIB
Kebijakan yang Merampok Masa Depan
Kebijakan yang Merampok Masa Depan
A A A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

PUBLIKASI hasil penelitian Bank Dunia, Maret 2017, menarik dicermati berbagai pihak, terkait dengan fakta ketimpangan yang semakin melebar di Indonesia. Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sepanjang 15 tahun belakangan.

Namun di balik pertumbuhan ekonomi tersebut tersimpan masalah yang mengancam NKRI, yakni ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi sepanjang 15 tahun yang lalu sukses mendorong lahirnya kelompok menengah baru di Indonesia.

Namun seiring dengan tumbuhnya kelas menengah baru tersebut, lebih banyak kelompok masyarakat yang justru mengalami ketertinggalan. Sekitar 20% penduduk Indonesia menikmati 80% sumber daya yang ada, sedangkan 20% lagi diperebutkan oleh 80% penduduk atau setara sekitar 205 juta orang.

Bak penyakit, ketimpangan menjadi penyakit yang berbahaya dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejarah membuktikan, banyak negeri berpecah belah dan bubar karena hadirnya ketimpangan pembangunan yang dirasakan penduduknya, sehingga muncul kekecewaan dan kemarahan yang berujung pada upaya memisahkan diri dari pemerintahan negara yang sah.

Nasihat Muhammadiyah melalui Tanwir Ambon, setidaknya mengirim pesan bahwa masalah ketimpangan saat ini adalah pusat masalah yang harus segera diselesaikan melibatkan semua pihak, terutama adalah pemerintah.

Berbagai ketimpangan yang muncul semuanya didominasi oleh faktor di luar kendali individual. Ketimpangan yang hadir disebabkan tidak hadirnya kebijakan pemerintah yang afirmatif terhadap kedaulatan dan keadilan sosial.

Kebijakan pemerintah justru sering kali menjadi faktor utama pendorong ketimpangan yang hadir. Paradigma pembangunan rabun jauh alis miopik menyebabkan model kebijakan pembangunan pemerintah selalu dibangun dengan paradigma jangka pendek, hanya peduli dengan pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahnya, abai kepentingan masa depan.

Ekstraksi besar-besaran ”tega” dilakukan hanya untuk memastikan era pemerintahnya, ekonomi bisa tumbuh setinggi mungkin, tanpa peduli dengan hak ekologi dan masa depan anak cucu. Ini yang saya maksud dengan, kebijakan merampok masa depan.

Pemerintah bisa berkompromi dan takut kehilangan potensi pendapatan yang besar saat ini, dan ”tega” mengorbankan masa depan bisa ditengok pada kebijakan tata kelola pengendalian tembakau atau rokok dan ekstraksi yang diobral terkait dengan pertambangan di seluruh Indonesia, Reklamasi Teluk Jakarta, Tanjung Benoa, pabrik semen yang merusak lingkungan, dan deretan kebijakan rabun jauh lainnya.

Masa ke masa, presiden silih berganti, paradigma pembangunan rabun jauh tidak pernah berubah, tuntutan citra politik membuat semua presiden Indonesia memimpin tanpa kacamata yang bisa membantu melihat masa depan, tanpa peduli dengan hak anak-cucu.

Kebijakan-kebijakan ekonomi rabun jauh tersebut kebanyakan menguntungkan 20% kelompok terkaya, sementara 80% kelompok termiskin justru mengalami ketertinggalan, sehingga ketimpangan semakin lebar. Proyek reklamasi teluk Jakarta, misalnya. Tidak bisa dinafikan, proyek ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya Jakarta.

Transaksi properti dan kegiatan ekonomi di Teluk Jakarta yang direklamasi tersebut dipastikan akan bergeliat. Namun pertanyaannya, siapa yang menikmati kue pertumbuhan ekonomi tersebut? Siapa yang akan menempati dan menguasai kegiatan dan sumber ekonomi di pulau reklamasi tersebut nantinya?

Tentu 20% orang terkayalah yang akan menikmatinya, ditambah lagi orang-orang asing yang memilih investasi di pulau reklamasi tersebut maka ketimpangan pun akan semakin melebar. Reklamasi pun merampok masa depan ekonomi anak-cucu, karena kerusakan ekologi akibat reklamasi tersebut.

Reklamasi merampas kesempatan pertumbuhan ekonomi daerah lain di Indonesia, yang akhirnya memperkukuh sentralisme pembangunan ekonomi Indonesia di Jakarta. Akibatnya, ongkos sosial dan politik yang akan dibayar oleh Indonesia pada masa yang akan datang akan sangat mahal dengan hadirnya ketimpangan, yakni perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketimpangan kesempatan yang menyebabkan ketidakadilan akan menjadi ancaman serius bagi masa depan pembangunan Indonesia. Kebijakan pemerintah yang tidak adil telah merampas masa depan anak-anak negeri.

Mereka kehilangan kesempatan untuk hidup lebih baik di masa yang akan datang, karena semua kesempatan telah dirampas oleh generasi saat ini. Dan dari masa ke masa, setiap generasi akan saling mengutuk perbuatan generasi sebelumnya sehingga jadilah kita bangsa yang saling mengutuk.

Perampasan kesempatan pun dilakukan segelintir orang yang menguasai sumber daya ekonomi terbesar. Mengutip penelitian Bank Dunia, Maret 2016, sekitar 1% orang terkaya Indonesia menguasai lebih dari 50% sumber daya ekonomi yang ada.

Indonesia melalui kepemimpinan saat ini, agaknya penting membangun kesadaran kolektif terkait dengan model kebijakan yang merampas masa depan ini, misalnya saja komitmen membangun Indonesia dari pulau terluar, poros maritim, reformasi agraria, dan hilirisasi pertambangan, dan beberapa kebijakan yang pro masa depan lainnya agaknya telah mulai dihadirkan melalui pidato dan dokumen tertulis pemerintah.

Tinggal bagaimana presiden mendorong komitmen pidato dan dokumen tertulis tersebut menjadi kebijakan yang nyata di tengah kerja birokrasi yang buruk, di tengah kerakusan para bandit politik yang tidak kenal rasa kenyang menggerogoti hak-hak publik melalui praktik korupsi dan rente kebijakan dan keuangan negara.

Bila tidak, kebijakan merampas masa depan Indonesia ini akan berujung pada hilangnya Indonesia dari peta dunia. Semoga tidak pernah akan terjadi!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6894 seconds (0.1#10.140)
pixels