E-Voting Bukan Seperti Teknologi Pesawat
A
A
A
DALAM beberapa waktu belakangan ada dua hal yang menggunakan huruf ”E” yang merupakan singkatan dari ”electronic/elektronik ” yang menjadi perhatian khalayak.
Yang pertama adalah e-KTP atau KTP elektronik yang dugaan korupsinya mencapai Rp2,3 triliun dari nilai proyek sebesar Rp5,9 triliun. Yang kedua adalah e-voting yang merupakan singkatan dari ”electronic voting ” sebagai mekanisme dalam menggunakan hak suara dalam pemilihan umum.
E-voting ini makin ramai tatkala pada pekan ini ramai berita mengenai kunjungan studi banding Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) ke Jerman dan Meksiko. Kritik demi kritik diluncurkan ke DPR karena kengototan dalam mendorong e-voting ini.
Lebih aneh lagi ternyata sejak 2009 Mahkamah Konstitusi Jerman sudah menganulir e-voting karena dianggap pemilih tidak bisa mengetahui nasib suara pilihannya. Entah apa alasan di balik kengototan Pansus RUU Pemilu untuk mewujudkan e-voting ini.
Para pakar sudah mengingatkan bahwa tak perlu tergesa-gesa. Tak kurang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay yang kebetulan tidak mencalonkan diri kembali untuk periode kedua mengkritik keras Pansus RUU Pemilu.
Menurutnya e-voting tidak diperlukan untuk saat ini dan juga tak akan terkejar untuk dijalankan pada Pemilu 2019 nanti. Tapi Pansus RUU Pemilu tetap bersikukuh dengan posisinya.
Kita perlu secara jernih menilai kebutuhan terhadap sistem yang masih hijau ini. Pertimbangannya bukan hanya teknologi karena pemecahan masalah teknologi itu selalu ada. Namun masalah terbesar adalah risiko politik yang mungkin muncul.
E-voting bukanlah teknologi seperti pesawat terbang yang jika tak juga mengembangkannya, Indonesia akan tertinggal dan selamanya menjadi konsumen.
Kita tak akan melihat dampak seperti misalnya PT Dirgantara Indonesia (DI) yang hanya berkutat hingga pembuatan CN-235 dan akhirnya belakangan ini Indonesia menjadi pasar terbesar pesawat ATR dari berbagai seri yang menggunakan baling-baling dan teknologinya tak jauh dari yang dimiliki PT DI.
E-voting juga bukan seperti teknologi microchip yang karena tak juga dikembangkan di Indonesia akhirnya negeri ini harus berpuas diri mengekspor konsentrat bijih besi. Padahal kita harus mengalami kerugian yang luar biasa ketika harus mengimpor kembali bijih besi yang sudah diolah dari luar negeri dengan nilai tambah yang sangat besar dalam bentuk microchip.
Contoh teknologi dan industri pesawat terbang serta bijih besi di atas adalah gambaran bahwa ketika tidak mampu mengoptimalkan potensinya, Indonesia akan rugi. Indonesia akan kehilangan potensi keuntungan sebagai produsen lewat hilangnya potensi pasar domestik serta rugi nilai tambah.
Sementara untuk e-voting, bahkan terlambat seratus tahun pun dari negara lain dalam mengadopsi teknologi pemilu yang sama sekali belum matang ini, tak akan merugikan Indonesia. Tak ada ruginya juga dengan tak diterapkannya e-voting terhadap demokrasi Indonesia.
Untuk apa kita seperti merelakan diri dan membahayakan demokrasi yang sudah susah payah dibangun ini untuk suatu teknologi yang sama sekali belum terbukti tingkat keamanannya?
Mungkin para pengambil keputusan di DPR dan pemerintah bisa mengambil pelajaran dari sebuah lelucon dalam industri automotif yang menyarankan jangan membeli mobil tipe terbaru setidaknya hingga setengah tahun pertama.
Apa soalnya? Karena pada masa itulah berbagai masalah yang merugikan konsumen muncul dan berusaha diperbaiki produsennya.
Buat apa Indonesia menjadi seperti kelinci percobaan dalam menerapkan e-voting dengan pertaruhan demokrasi Indonesia yang sudah susah payah dibangun?
Tanpa e-voting pun pemilu di Indonesia sudah mengundang decak kagum dunia. Lihat saja misalnya AS selalu salut dengan kemampuan Indonesia menggelar pemilu secara serentak, sementara sistem di sana tidak serentak.
Yang pertama adalah e-KTP atau KTP elektronik yang dugaan korupsinya mencapai Rp2,3 triliun dari nilai proyek sebesar Rp5,9 triliun. Yang kedua adalah e-voting yang merupakan singkatan dari ”electronic voting ” sebagai mekanisme dalam menggunakan hak suara dalam pemilihan umum.
E-voting ini makin ramai tatkala pada pekan ini ramai berita mengenai kunjungan studi banding Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) ke Jerman dan Meksiko. Kritik demi kritik diluncurkan ke DPR karena kengototan dalam mendorong e-voting ini.
Lebih aneh lagi ternyata sejak 2009 Mahkamah Konstitusi Jerman sudah menganulir e-voting karena dianggap pemilih tidak bisa mengetahui nasib suara pilihannya. Entah apa alasan di balik kengototan Pansus RUU Pemilu untuk mewujudkan e-voting ini.
Para pakar sudah mengingatkan bahwa tak perlu tergesa-gesa. Tak kurang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay yang kebetulan tidak mencalonkan diri kembali untuk periode kedua mengkritik keras Pansus RUU Pemilu.
Menurutnya e-voting tidak diperlukan untuk saat ini dan juga tak akan terkejar untuk dijalankan pada Pemilu 2019 nanti. Tapi Pansus RUU Pemilu tetap bersikukuh dengan posisinya.
Kita perlu secara jernih menilai kebutuhan terhadap sistem yang masih hijau ini. Pertimbangannya bukan hanya teknologi karena pemecahan masalah teknologi itu selalu ada. Namun masalah terbesar adalah risiko politik yang mungkin muncul.
E-voting bukanlah teknologi seperti pesawat terbang yang jika tak juga mengembangkannya, Indonesia akan tertinggal dan selamanya menjadi konsumen.
Kita tak akan melihat dampak seperti misalnya PT Dirgantara Indonesia (DI) yang hanya berkutat hingga pembuatan CN-235 dan akhirnya belakangan ini Indonesia menjadi pasar terbesar pesawat ATR dari berbagai seri yang menggunakan baling-baling dan teknologinya tak jauh dari yang dimiliki PT DI.
E-voting juga bukan seperti teknologi microchip yang karena tak juga dikembangkan di Indonesia akhirnya negeri ini harus berpuas diri mengekspor konsentrat bijih besi. Padahal kita harus mengalami kerugian yang luar biasa ketika harus mengimpor kembali bijih besi yang sudah diolah dari luar negeri dengan nilai tambah yang sangat besar dalam bentuk microchip.
Contoh teknologi dan industri pesawat terbang serta bijih besi di atas adalah gambaran bahwa ketika tidak mampu mengoptimalkan potensinya, Indonesia akan rugi. Indonesia akan kehilangan potensi keuntungan sebagai produsen lewat hilangnya potensi pasar domestik serta rugi nilai tambah.
Sementara untuk e-voting, bahkan terlambat seratus tahun pun dari negara lain dalam mengadopsi teknologi pemilu yang sama sekali belum matang ini, tak akan merugikan Indonesia. Tak ada ruginya juga dengan tak diterapkannya e-voting terhadap demokrasi Indonesia.
Untuk apa kita seperti merelakan diri dan membahayakan demokrasi yang sudah susah payah dibangun ini untuk suatu teknologi yang sama sekali belum terbukti tingkat keamanannya?
Mungkin para pengambil keputusan di DPR dan pemerintah bisa mengambil pelajaran dari sebuah lelucon dalam industri automotif yang menyarankan jangan membeli mobil tipe terbaru setidaknya hingga setengah tahun pertama.
Apa soalnya? Karena pada masa itulah berbagai masalah yang merugikan konsumen muncul dan berusaha diperbaiki produsennya.
Buat apa Indonesia menjadi seperti kelinci percobaan dalam menerapkan e-voting dengan pertaruhan demokrasi Indonesia yang sudah susah payah dibangun?
Tanpa e-voting pun pemilu di Indonesia sudah mengundang decak kagum dunia. Lihat saja misalnya AS selalu salut dengan kemampuan Indonesia menggelar pemilu secara serentak, sementara sistem di sana tidak serentak.
(poe)