Suami Inneke Koesherawati Didakwa Suap Pejabat Bakamla
A
A
A
JAKARTA - Suami dari artis Inneke Koesherawati, Fahmi Darmawansyah didakwa mengucurkan suap lebih dari Rp28,338 miliar dalam pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,43 miliar.
Fakta tersebut tertuang dalam surat dakwaan nomor: DAK-18/24/03/2017 atas nama Fahmi Darmawansyah, selaku pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia.
Perkara atas nama Fahmi Darmawansyah ditangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Kiki Ahmad Yani dengan anggota I Wayan Riana, Ferdian Adi Nugroho, dan Amir Nurdianto. Surat dakwaan dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/3/2017).
Sidang perdana Fahmi dihadiri Inneke Koesherawati. Inneke tampak mengenakan baju kurung dengan jilbab sepadan berwarna hitam. Inneke begitu juga Fahmi tampak serius menyimak isi dakwaan. Selepas sidang, Inneke yang mendampingi Fahmi hanya melempar senyum.
JPU Kiki Ahmad Yani membeberkan, Fahmi melakukan perbuatan tipikor dalam delik pemberian suap bersama dengan Hardy Stefanus selaku Marketing/Operasional PT Merial Esa dan pegawai Bagian Operasional Merial Esa Muhammad Adami Okta dengan total lebih dari Rp28,33 miliar.
Perbuatan Fahmi dan dua anak buahnya dilakukan kurun November hingga Desember 2016. Locus pidana terjadi di kantor Bakamla Jalan DR Soetomo Nomor 11 Jakarta Pusat, kantor Bakamla di Gedung Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang terletak di Jalan Proklamasi Nomor 56 Menteng, Jakarta Pusat, dan kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Nomor 16, Jakarta Pusat.
Pemberian suap dilakukan sebelum dan setelah PT Melati Technofo Indonesia memenangkan pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,43 miliar.
Seyogyanya anggaran satelit monitoring itu sebelumnya diajukan Bakamla sebesar Rp402,716 miliar. Pertama, JPU Kiki membeberkan, rangkuman perbuatan pidana beberapa kali pemberian suap setelah PT Melati Technofo Indonesia memenangkan proyek di Bakamla dengan total lebih dari Rp4,338 miliar kepada empat penyelenggara negara.
Pertama, Eko Susilo Hadi (tersangka) selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar SGD100.000 (setara Rp935 juta), USD88,500 (setara Rp1.181.475.000), dan 10.000 uero (setara Rp143,2 juta).
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD105.000 (setara Rp981,75 juta).
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500 (setara Rp977,075). Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag TU Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
"Untuk memenangkan perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Fahmi Darmawansyah yaitu PT Melati Technofo Indonesia dalam pengadaan monitoring satelitte di Bakamla pada APBN Perubahan Tahun Anggaran 2016," tegas JPU Kiki saat membacakan dakwaan Fahmi Darmawansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia melanjutkan, pemberian kedua sebesar Rp24 miliar. Kronologisnya, Kiki memaparkan, sebelum PT Melati Technofo Indonesia memenangkan proyek satelit monitoring atau saat PT Melati Technofo Indonesia mengikuti lelang proyek tersebut dan PT Merial Esa mengikuti lelang proyek pengadaan drone.
Keikutsertaan itu bermula ketika pada Maret 2016 Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi bertandang ke kantor PT Merial Esa, Jln Imam Bonjol Nomor 16, Jakarta Pusat.
"Ali Fahmi alas Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla (Laksamana Madya TNI) Arie Soedewo bertemu dengan Fahmi Darmawansyah yang didampingi Adami Okta. Pada saat itu Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla," ujar JPU Kiki.
Dia melanjutkan, Ali menyampaikan ke Fahmi Darmawansyah kalau bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee 15% dari nilai pengadaan.
Kiki memaparkan sekitar April atau Mei 2016, terjadi lagi pertemuan antara Ali dengan Fahmi Darmawansyah, Adami, dan Hardy.
Ali menyampaikan untuk anggaran pengadaan satelit di Bakamla telah disetujui dengan nilai Rp400 miliar dan Ali meminta down payment sebesar 6% dari nilai anggaran pengadaan tersebut untuk pengurusannya.
Untuk realisasinya, Ali Fahmi kemudian bertemu dengan Adami dan Hardy di sebuah kamar. Di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan pada 1 Juli 2016. Di sinilah terjadi penyerahan uang suap Rp24 miliar.
"Hardy dan Adami memberikan uang yang berasal dari Fahmi Darmawansyah sebesar Rp24 miliar kepada Ali Fahmi. Hardy merekam penyerahan uang tersebut atas permintaan Adami sebagai bukti untuk dilaporkan ke Fahmi Darmawansyah," tegas Kiki.
JPU Ferdian Adi Nugroho membeberkan, penyerahan uang suap ke Eko Susilo Hadi, Bambang Udoyo, Nofel Hasan, dan Tri Nanda Wicaksono serta angka fee 15% seperti diminta Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi punya korelasi kuat dengan Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo. Ada tiga peran sentral Arie.
Pertama, setelah PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang satelit monitoring, kemudian Oktober 2016, bertempat di ruangan Kepala Bakamla, dilakukan pertemuan antara Kepala Bakamla Laksmana Madya TNIArie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5% untuk Bakamla dari pengadaan satelit monitoring uang telah dimenangkan PT MTI.
"Saat itu, Arie Soedewo menyampaikan dari jatah 15% dari nilai pengadaan, untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5% dan akan diberikan terlebih dahulu. Arie meminta Eko menghubungi Hardy dan Adami untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2% diberikan kepada Eko," tegas JPU Ferdian.
Kemudian dia membeberkan, sekitar 9 November 2016, Adami mendatangi kantor Bakamla di Jalan DR Soetomo, Nomor 1. Saat itu Adami diberitahu Eko mengenai adanya arahan Kepala Bakamla Arie Soedewo bahwa ada jatah 7,5 persen dari nilai kontrak, di mana setelah itu, Adami berjanji akan memberikan sebesar 2 persen terlebih dahulu.
Berikutnya, sekitar 10 November 2016 Eko melaporkan hasil pertemuannya dengan Adami ke Kepala Bakamla Arie. "Selanjutnya Arie menyampaikan kepada Eko untuk memberi Novel Hasan dan Bambang Udoyo masing-masing Rp1 miliar," ujarnya.
Singkat cerita, terjadilah eksekusi permintaan 7,5% seperti perintah Kepala Bakamla yang baru disiapkan 2%. Fahmi memerintahkan Adami untuk membuat catatan pengeluaran 2% dari nilai kontra Rp222.438.208.743 yakni sekitar Rp4,44 miliar. Uang itu dikurangi Rp278,6 juta sebagai uang operasional Eko.
"Sehingga sisanya diberikan kepada Bakamla adalah sebesar Rp4.161.400.000," ucapnya.
Penyerahan uang kepada Eko, Bambang, Novel, dan Tri terjadi pada 14 November, 15 November, 24 November, 25 November, 1 Desember, 6 Desember, dan 14 Desember 2016.
Atas perbuatannya Fahmi Darmawansyah dikenakan tiga dakwaan subsider. Fahmi dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Atas dakwaan JPU, Fahmi Darmawansyah dan tim penasihat hukumnya memutuskan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Selepas sidang, Fahmi Darmawansyah menyatakan, dirinya pernah bertemu Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo di rumah Fahmi.
Ketika itu Arie tidak menyampaikan permintaan tentang fee 7,5 persen untuk Bakamla dari nilai kontrak proyek pengadaan satelit monitoring. "Pernah (ketemu Kepala Bakamla Arie Soedewo) di rumah saya. (Pertemuan dalam rangka) awalnya saya ngasih nawarin rumah kontrakan saya di Menteng buat rumah dinas. Saya yang nawarin. Resmi kok ke kantor (Bakamla)," ujar Fahmi selepas sidang.
Fakta tersebut tertuang dalam surat dakwaan nomor: DAK-18/24/03/2017 atas nama Fahmi Darmawansyah, selaku pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia.
Perkara atas nama Fahmi Darmawansyah ditangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Kiki Ahmad Yani dengan anggota I Wayan Riana, Ferdian Adi Nugroho, dan Amir Nurdianto. Surat dakwaan dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/3/2017).
Sidang perdana Fahmi dihadiri Inneke Koesherawati. Inneke tampak mengenakan baju kurung dengan jilbab sepadan berwarna hitam. Inneke begitu juga Fahmi tampak serius menyimak isi dakwaan. Selepas sidang, Inneke yang mendampingi Fahmi hanya melempar senyum.
JPU Kiki Ahmad Yani membeberkan, Fahmi melakukan perbuatan tipikor dalam delik pemberian suap bersama dengan Hardy Stefanus selaku Marketing/Operasional PT Merial Esa dan pegawai Bagian Operasional Merial Esa Muhammad Adami Okta dengan total lebih dari Rp28,33 miliar.
Perbuatan Fahmi dan dua anak buahnya dilakukan kurun November hingga Desember 2016. Locus pidana terjadi di kantor Bakamla Jalan DR Soetomo Nomor 11 Jakarta Pusat, kantor Bakamla di Gedung Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang terletak di Jalan Proklamasi Nomor 56 Menteng, Jakarta Pusat, dan kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Nomor 16, Jakarta Pusat.
Pemberian suap dilakukan sebelum dan setelah PT Melati Technofo Indonesia memenangkan pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dari APBN Perubahan 2016 dengan anggaran lebih Rp222,43 miliar.
Seyogyanya anggaran satelit monitoring itu sebelumnya diajukan Bakamla sebesar Rp402,716 miliar. Pertama, JPU Kiki membeberkan, rangkuman perbuatan pidana beberapa kali pemberian suap setelah PT Melati Technofo Indonesia memenangkan proyek di Bakamla dengan total lebih dari Rp4,338 miliar kepada empat penyelenggara negara.
Pertama, Eko Susilo Hadi (tersangka) selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 sebesar SGD100.000 (setara Rp935 juta), USD88,500 (setara Rp1.181.475.000), dan 10.000 uero (setara Rp143,2 juta).
Kedua, Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo (tersangka di POM TNI) selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi Hukum dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut Bakamla 2016 sebesar SGD105.000 (setara Rp981,75 juta).
Ketiga, Nofel Hasan selaku Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Bakamla sebesar SGD104.500 (setara Rp977,075). Keempat, Tri Nanda Wicaksono selaku Kasubag TU Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.
"Untuk memenangkan perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Fahmi Darmawansyah yaitu PT Melati Technofo Indonesia dalam pengadaan monitoring satelitte di Bakamla pada APBN Perubahan Tahun Anggaran 2016," tegas JPU Kiki saat membacakan dakwaan Fahmi Darmawansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia melanjutkan, pemberian kedua sebesar Rp24 miliar. Kronologisnya, Kiki memaparkan, sebelum PT Melati Technofo Indonesia memenangkan proyek satelit monitoring atau saat PT Melati Technofo Indonesia mengikuti lelang proyek tersebut dan PT Merial Esa mengikuti lelang proyek pengadaan drone.
Keikutsertaan itu bermula ketika pada Maret 2016 Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi bertandang ke kantor PT Merial Esa, Jln Imam Bonjol Nomor 16, Jakarta Pusat.
"Ali Fahmi alas Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla (Laksamana Madya TNI) Arie Soedewo bertemu dengan Fahmi Darmawansyah yang didampingi Adami Okta. Pada saat itu Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk 'main proyek' di Bakamla," ujar JPU Kiki.
Dia melanjutkan, Ali menyampaikan ke Fahmi Darmawansyah kalau bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee 15% dari nilai pengadaan.
Kiki memaparkan sekitar April atau Mei 2016, terjadi lagi pertemuan antara Ali dengan Fahmi Darmawansyah, Adami, dan Hardy.
Ali menyampaikan untuk anggaran pengadaan satelit di Bakamla telah disetujui dengan nilai Rp400 miliar dan Ali meminta down payment sebesar 6% dari nilai anggaran pengadaan tersebut untuk pengurusannya.
Untuk realisasinya, Ali Fahmi kemudian bertemu dengan Adami dan Hardy di sebuah kamar. Di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan pada 1 Juli 2016. Di sinilah terjadi penyerahan uang suap Rp24 miliar.
"Hardy dan Adami memberikan uang yang berasal dari Fahmi Darmawansyah sebesar Rp24 miliar kepada Ali Fahmi. Hardy merekam penyerahan uang tersebut atas permintaan Adami sebagai bukti untuk dilaporkan ke Fahmi Darmawansyah," tegas Kiki.
JPU Ferdian Adi Nugroho membeberkan, penyerahan uang suap ke Eko Susilo Hadi, Bambang Udoyo, Nofel Hasan, dan Tri Nanda Wicaksono serta angka fee 15% seperti diminta Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi punya korelasi kuat dengan Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo. Ada tiga peran sentral Arie.
Pertama, setelah PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang satelit monitoring, kemudian Oktober 2016, bertempat di ruangan Kepala Bakamla, dilakukan pertemuan antara Kepala Bakamla Laksmana Madya TNIArie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5% untuk Bakamla dari pengadaan satelit monitoring uang telah dimenangkan PT MTI.
"Saat itu, Arie Soedewo menyampaikan dari jatah 15% dari nilai pengadaan, untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5% dan akan diberikan terlebih dahulu. Arie meminta Eko menghubungi Hardy dan Adami untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2% diberikan kepada Eko," tegas JPU Ferdian.
Kemudian dia membeberkan, sekitar 9 November 2016, Adami mendatangi kantor Bakamla di Jalan DR Soetomo, Nomor 1. Saat itu Adami diberitahu Eko mengenai adanya arahan Kepala Bakamla Arie Soedewo bahwa ada jatah 7,5 persen dari nilai kontrak, di mana setelah itu, Adami berjanji akan memberikan sebesar 2 persen terlebih dahulu.
Berikutnya, sekitar 10 November 2016 Eko melaporkan hasil pertemuannya dengan Adami ke Kepala Bakamla Arie. "Selanjutnya Arie menyampaikan kepada Eko untuk memberi Novel Hasan dan Bambang Udoyo masing-masing Rp1 miliar," ujarnya.
Singkat cerita, terjadilah eksekusi permintaan 7,5% seperti perintah Kepala Bakamla yang baru disiapkan 2%. Fahmi memerintahkan Adami untuk membuat catatan pengeluaran 2% dari nilai kontra Rp222.438.208.743 yakni sekitar Rp4,44 miliar. Uang itu dikurangi Rp278,6 juta sebagai uang operasional Eko.
"Sehingga sisanya diberikan kepada Bakamla adalah sebesar Rp4.161.400.000," ucapnya.
Penyerahan uang kepada Eko, Bambang, Novel, dan Tri terjadi pada 14 November, 15 November, 24 November, 25 November, 1 Desember, 6 Desember, dan 14 Desember 2016.
Atas perbuatannya Fahmi Darmawansyah dikenakan tiga dakwaan subsider. Fahmi dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Atas dakwaan JPU, Fahmi Darmawansyah dan tim penasihat hukumnya memutuskan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Selepas sidang, Fahmi Darmawansyah menyatakan, dirinya pernah bertemu Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo di rumah Fahmi.
Ketika itu Arie tidak menyampaikan permintaan tentang fee 7,5 persen untuk Bakamla dari nilai kontrak proyek pengadaan satelit monitoring. "Pernah (ketemu Kepala Bakamla Arie Soedewo) di rumah saya. (Pertemuan dalam rangka) awalnya saya ngasih nawarin rumah kontrakan saya di Menteng buat rumah dinas. Saya yang nawarin. Resmi kok ke kantor (Bakamla)," ujar Fahmi selepas sidang.
(maf)