Tembakau dalam Politik
A
A
A
Mohamad Sobary
Budayawan
PEREMPUAN itu menggendong seonggok daun tembakau yang hijau kekuning-kuningan warnanya, yang baru saja dipetik dari ladangnya, di dekat puncak Gunung Sumbing yang biru, diam dan dingin membeku. Sejak kecil, dia terlatih menggendong beban seperti nitu dari ladang tembakau. Kini usianya sudah lebih lima puluh tahun.
Kakek-buyutnya petani tembakau, kakeknya langsung, ayah dari ayah maupun dari ibu, juga petani tembakau, dan kini suaminya pun petani tembakau. Dia sudah memiliki anak dan cucu yang hidupnya tergantung penuh pada pertanian tembakau.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, abad demi abad lewat, sejarah kehidupan keluarganya tak pernah berubah. Sejak nenek moyang hingga dirinya, dan anak-anaknya, keluarganya hidup dari tembakau.
Dia menuruni jalan kecil dan sempit ini dengan beban berat, bukan hanya sekali ini, dia tak bisa mengingat berapa ratus kali dalam hidupnya telah menempuh jalan ini, dengan beban berat seperti ini. Dia tak ingin menghitung jumlah pengalaman seperti itu.
Dia hanya mengalami, dan berulang kali mengalaminya lagi terus menerus. Dia merasa begitulah hidup sebagai petani. Neneknya dulu hidup seperti itu. Ibunya pun menempuh cara hidup seperti itu dan kini dirinya meneruskan warisan tradisi keluarganya.
Aku petani tembakau. Orang tuaku petani tembakau, Kakekku, dan kakek buyutku, semua leluhurku yang jauh lebih tua lagi, juga petani tembakau. Kami petani tembakau. Beribu-ribu kami, yang hidup di Gunung Sumbing, dan di gunung-gunung lain, hidup dari tembakau. Tak mungkin lagi kami hidup dari hasil pertanian lain selain tembakau.
Di tempat tinggi yang dingin dan membeku ini, hidup tak senyaman dulu. Hidupku, dan hidup semua petani tembakau, diguncang berbagai keresahan. Orang bilang ini keresahan politik. Orang bilang ini politik tembakau. Aku tidak tahu bagaimana tembakau bisa memasuki dunia politik.
Kata orang, mengharapkan agar hidup menjadi lebih baik itu politik. Petani mengharapkan perubahan hidup itu politik. Segala hal menjadi politik. Petani tembakau mengajukan rencana undang-undang itu juga politik.
Petani meminta tidak dilupakan. Petani minta kekuatan politik. Hidup petani harus diatur dan dilindungi undang-undang. Petani menjadi kuat itu politik. Ini politik petani.
Tapi dalam isu politik seperti ini, sikap pro-kontra muncul. Mereka yang antitembakau melawan langkah politik petani, langkah kami. Media memberitakan perbedaan politik itu. Para pengamat pun berbicara.
Kelompok kecil dari pedagang rokok besar dunia yang bermukim di Jakarta, melawan gagasan petani. Kepentingan mereka berbeda. Tujuan hidup mereka di sini juga berbeda.
Memang para pendukungnya orang-orang kita sendiri. Tapi pendukungnya ikut gigih melawan dan menghalangi apa yang kami lakukan. Di depan kami, mereka bersikap baik. Di belakang kami, mereka mencerca. Kata orang, ini sikap politik.
Ada lagi tokoh antitembakau yang marah menghadapi kami. Suaranya nyaring, dan kedengarannya memberi nasihat kepada presiden, seperti seorang nenek menasihati cucunya.
Dia bilang, ini kondisi memalukan, ketika pemerintah dunia sepakat menekan dan mengendalikan konsumsi tembakau, kita malah membuat regulasi yang sebaliknya.
“RUU Pertembakauan hanyalah cara licik industri rokok untuk melanggengkan dan bahkan meningkatkan produksinya.” Kata tokoh itu lagi.
Tapi kelihatannya dia sama sekali tak mengetahui bagaimana hubungan petani dan industri dalam urusan penyusunan RUU ini. Komentar ini meleset jauh, dan terasa agak memalukan karena komentarnya dibangun di atas landasan ketidaktahuan.
Di dalam RUU ini, ada sejenis ketegangan antara petani dan industri, yang tak dibacanya dengan baik. Petani dianggap sejalan dengan industri. Padahal petani meminta---atau mengusulkan--agar industri bersikap begini dan begitu supaya hidup petani lebih terjamin.
Dalam beberapa hal, ketegangan mereka terasa serius. Tapi komentar ini menganggap mereka sejalan dan saling mendukung. Presiden diberi nasihat seperti dia lebih paham persoalan dibanding presiden.
“RUU Pertembakauan dianggap bertentangan secara diametral dengan regulasi-regulasi lain yang sudah eksis.” katanya dengan penuh semangat. Dia contohkan, regulasi lain itu misalnya UU Cukai, UU produk pertanian dan UU perlindungan petani, UU Kesehatan.
Dia lupa UU kesehatan merupakan bagian yang menggambarkan ketegangan antara pemerintah dan petani tembakau. Petani tidak buta politik. Mereka juga membaca peraturan-peraturan itu.
Jika di dalam suatu peraturan yang menyangkut hidup petani kepentingan petani tembakau diabaikan, maka dalam RUU Pertembakauan tadi kepentingan itu mereka tampilkan. RUU Pertembakauan merupakan wadah yang mengakomodasi kepentingan mereka. Komentar ini tidak memahami secara baik persoalan dasar itu.
Dia juga menyatakan bahwa RUU Pertembakauan itu RUU Sampah yang tak diperlukan lagi sekalipun dengan alasan demi melindungi petani. Kalimat RUU Sampah ini jorok dilihat dari sudut ungkapan kebahasaan maupun dari maknanya. Mungkin hal itu sudah jorok sejak masih ada di dalam pikirannya. Namun, hal itu dipersembahkan kepada presiden.
Kalau dia berbuat begitu atas nama pribadi pun, yang jorok tetap jorok. Lebih-lebih lagi dia berbuat demi dan atas nama sebuah lembaga milik orang banyak dan mewakili kepentingan orang banyak. Mengapa lembaga tempat dia bekerja tak memiliki editor atau orang yang lebih bijaksana agar suara yang sampai kepada presiden terasa agak lebih sejuk?
Bagaimana perasaan Pak Presiden Jokowi menerima surat yang berisi sebuah saran, yang bunyinya begitu? Beberapa tidak akurat, nadanya “ngeden-ngeden” dan mengesankan dia lebih paham dari siapa pun, apa kira-kira perasaan seorang presiden membaca surat seperti itu?
Terasa pula adanya nada mendikte dalam surat itu. Saya kira orang yang memiliki jabatan tinggi, orang terhormat dan memiliki wawasan dan sikap sendiri secara mandiri, tak suka dengan gaya orang yang mendikte.
Orang dewasa, yang juga bijaksana, lebih suka membaca paparan rasional , dingin, apa adanya, dan jauh dari ‘judgment’ pribadi, yang menganggap “RUU memalukan, RUU sampah… dan sejenisnya, yang bisa saja justru menjauhkannya dari realitas.
Juga, boleh jadi, menjauhkan surat itu dari perhatian presiden. Jika ini yang terjadi maka sia-sialah sebuah lembaga ingin berbuat baik tapi diwakili oleh orang dengan cara seperti itu.
Ketika tembakau memasuki wilayah politik, banyak kepentingan lain turut campur tangan. Kita menerima campur tangan itu kalau dia muncul demi kepentingan yang lebih baik, murni kepentingan masyarakat pada umumnya dan kepentingan petani tembakau itu sendiri.
Tapi bagaimana jika suara macam itu juga suara kepentingan asing yang menitipkan duitnya di sini, dan minta pada kita agar agendanya dijalankan?
Tembakau dalam politik diam-diam juga menghidupi berbagai pihak yang terampil bermain politik. Kalau tembakau tidak ada tembakau dalam politik, apa politik yang bakal mereka mainkan?
Budayawan
PEREMPUAN itu menggendong seonggok daun tembakau yang hijau kekuning-kuningan warnanya, yang baru saja dipetik dari ladangnya, di dekat puncak Gunung Sumbing yang biru, diam dan dingin membeku. Sejak kecil, dia terlatih menggendong beban seperti nitu dari ladang tembakau. Kini usianya sudah lebih lima puluh tahun.
Kakek-buyutnya petani tembakau, kakeknya langsung, ayah dari ayah maupun dari ibu, juga petani tembakau, dan kini suaminya pun petani tembakau. Dia sudah memiliki anak dan cucu yang hidupnya tergantung penuh pada pertanian tembakau.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, abad demi abad lewat, sejarah kehidupan keluarganya tak pernah berubah. Sejak nenek moyang hingga dirinya, dan anak-anaknya, keluarganya hidup dari tembakau.
Dia menuruni jalan kecil dan sempit ini dengan beban berat, bukan hanya sekali ini, dia tak bisa mengingat berapa ratus kali dalam hidupnya telah menempuh jalan ini, dengan beban berat seperti ini. Dia tak ingin menghitung jumlah pengalaman seperti itu.
Dia hanya mengalami, dan berulang kali mengalaminya lagi terus menerus. Dia merasa begitulah hidup sebagai petani. Neneknya dulu hidup seperti itu. Ibunya pun menempuh cara hidup seperti itu dan kini dirinya meneruskan warisan tradisi keluarganya.
Aku petani tembakau. Orang tuaku petani tembakau, Kakekku, dan kakek buyutku, semua leluhurku yang jauh lebih tua lagi, juga petani tembakau. Kami petani tembakau. Beribu-ribu kami, yang hidup di Gunung Sumbing, dan di gunung-gunung lain, hidup dari tembakau. Tak mungkin lagi kami hidup dari hasil pertanian lain selain tembakau.
Di tempat tinggi yang dingin dan membeku ini, hidup tak senyaman dulu. Hidupku, dan hidup semua petani tembakau, diguncang berbagai keresahan. Orang bilang ini keresahan politik. Orang bilang ini politik tembakau. Aku tidak tahu bagaimana tembakau bisa memasuki dunia politik.
Kata orang, mengharapkan agar hidup menjadi lebih baik itu politik. Petani mengharapkan perubahan hidup itu politik. Segala hal menjadi politik. Petani tembakau mengajukan rencana undang-undang itu juga politik.
Petani meminta tidak dilupakan. Petani minta kekuatan politik. Hidup petani harus diatur dan dilindungi undang-undang. Petani menjadi kuat itu politik. Ini politik petani.
Tapi dalam isu politik seperti ini, sikap pro-kontra muncul. Mereka yang antitembakau melawan langkah politik petani, langkah kami. Media memberitakan perbedaan politik itu. Para pengamat pun berbicara.
Kelompok kecil dari pedagang rokok besar dunia yang bermukim di Jakarta, melawan gagasan petani. Kepentingan mereka berbeda. Tujuan hidup mereka di sini juga berbeda.
Memang para pendukungnya orang-orang kita sendiri. Tapi pendukungnya ikut gigih melawan dan menghalangi apa yang kami lakukan. Di depan kami, mereka bersikap baik. Di belakang kami, mereka mencerca. Kata orang, ini sikap politik.
Ada lagi tokoh antitembakau yang marah menghadapi kami. Suaranya nyaring, dan kedengarannya memberi nasihat kepada presiden, seperti seorang nenek menasihati cucunya.
Dia bilang, ini kondisi memalukan, ketika pemerintah dunia sepakat menekan dan mengendalikan konsumsi tembakau, kita malah membuat regulasi yang sebaliknya.
“RUU Pertembakauan hanyalah cara licik industri rokok untuk melanggengkan dan bahkan meningkatkan produksinya.” Kata tokoh itu lagi.
Tapi kelihatannya dia sama sekali tak mengetahui bagaimana hubungan petani dan industri dalam urusan penyusunan RUU ini. Komentar ini meleset jauh, dan terasa agak memalukan karena komentarnya dibangun di atas landasan ketidaktahuan.
Di dalam RUU ini, ada sejenis ketegangan antara petani dan industri, yang tak dibacanya dengan baik. Petani dianggap sejalan dengan industri. Padahal petani meminta---atau mengusulkan--agar industri bersikap begini dan begitu supaya hidup petani lebih terjamin.
Dalam beberapa hal, ketegangan mereka terasa serius. Tapi komentar ini menganggap mereka sejalan dan saling mendukung. Presiden diberi nasihat seperti dia lebih paham persoalan dibanding presiden.
“RUU Pertembakauan dianggap bertentangan secara diametral dengan regulasi-regulasi lain yang sudah eksis.” katanya dengan penuh semangat. Dia contohkan, regulasi lain itu misalnya UU Cukai, UU produk pertanian dan UU perlindungan petani, UU Kesehatan.
Dia lupa UU kesehatan merupakan bagian yang menggambarkan ketegangan antara pemerintah dan petani tembakau. Petani tidak buta politik. Mereka juga membaca peraturan-peraturan itu.
Jika di dalam suatu peraturan yang menyangkut hidup petani kepentingan petani tembakau diabaikan, maka dalam RUU Pertembakauan tadi kepentingan itu mereka tampilkan. RUU Pertembakauan merupakan wadah yang mengakomodasi kepentingan mereka. Komentar ini tidak memahami secara baik persoalan dasar itu.
Dia juga menyatakan bahwa RUU Pertembakauan itu RUU Sampah yang tak diperlukan lagi sekalipun dengan alasan demi melindungi petani. Kalimat RUU Sampah ini jorok dilihat dari sudut ungkapan kebahasaan maupun dari maknanya. Mungkin hal itu sudah jorok sejak masih ada di dalam pikirannya. Namun, hal itu dipersembahkan kepada presiden.
Kalau dia berbuat begitu atas nama pribadi pun, yang jorok tetap jorok. Lebih-lebih lagi dia berbuat demi dan atas nama sebuah lembaga milik orang banyak dan mewakili kepentingan orang banyak. Mengapa lembaga tempat dia bekerja tak memiliki editor atau orang yang lebih bijaksana agar suara yang sampai kepada presiden terasa agak lebih sejuk?
Bagaimana perasaan Pak Presiden Jokowi menerima surat yang berisi sebuah saran, yang bunyinya begitu? Beberapa tidak akurat, nadanya “ngeden-ngeden” dan mengesankan dia lebih paham dari siapa pun, apa kira-kira perasaan seorang presiden membaca surat seperti itu?
Terasa pula adanya nada mendikte dalam surat itu. Saya kira orang yang memiliki jabatan tinggi, orang terhormat dan memiliki wawasan dan sikap sendiri secara mandiri, tak suka dengan gaya orang yang mendikte.
Orang dewasa, yang juga bijaksana, lebih suka membaca paparan rasional , dingin, apa adanya, dan jauh dari ‘judgment’ pribadi, yang menganggap “RUU memalukan, RUU sampah… dan sejenisnya, yang bisa saja justru menjauhkannya dari realitas.
Juga, boleh jadi, menjauhkan surat itu dari perhatian presiden. Jika ini yang terjadi maka sia-sialah sebuah lembaga ingin berbuat baik tapi diwakili oleh orang dengan cara seperti itu.
Ketika tembakau memasuki wilayah politik, banyak kepentingan lain turut campur tangan. Kita menerima campur tangan itu kalau dia muncul demi kepentingan yang lebih baik, murni kepentingan masyarakat pada umumnya dan kepentingan petani tembakau itu sendiri.
Tapi bagaimana jika suara macam itu juga suara kepentingan asing yang menitipkan duitnya di sini, dan minta pada kita agar agendanya dijalankan?
Tembakau dalam politik diam-diam juga menghidupi berbagai pihak yang terampil bermain politik. Kalau tembakau tidak ada tembakau dalam politik, apa politik yang bakal mereka mainkan?
(poe)