Birokrasi Kita Masih Sangat Jelek

Selasa, 07 Maret 2017 - 12:53 WIB
Birokrasi Kita Masih...
Birokrasi Kita Masih Sangat Jelek
A A A
JAKARTA - Pemberantasan korupsi memiliki banyak sekali agenda. Mulai dari menjerat para koruptor, mengembalikan kerugian negara, penyelidikan dugaan korupsi di militer dan swasta, membenahi birokrasi, hingga penyelidikan sejumlah kasus besar.

Intinya, tanggung jawab pemberantasan korupsi tak bisa hanya dibebankan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diperlukan komitmen lembaga penegak hukum lain untuk ikut aktif mencegah dan menghentikan tindak pidana tersebut. Berikut petikan wawancara tim KORAN SINDO dengan Ketua KPK Agus Rahardjo pada Senin 27 Februari 2017.

Untuk memberikan efek jera, perlukah hakim memberikan hukuman mati koruptor seperti di China?
Hukuman mati itu bukan wacana. Hukuman mati itu di undang-undang kita sudah ada. Kondisionalnya belum ada yang menuntut hukuman mati.

Tapi, kalau hukuman matinya sendiri di undang-undang kita sudah ada (Pasal 2 ayat [2] UU Pemberantasan Tipikor dan penjelasannya). Terutama misalkan untuk hal yang berulang-ulang, kemudian dana bencana alam, itu sebenarnya bisa dihukum dengan hukuman mati.

Orang masih mau melakukan korupsi itu banyak hal. Bukan hanya efek jera. Tapi, saya sering menyebut juga, korupsi itu kategorinya dua kan, ada yang karena need (kebutuhan), ada yang karena greedy (rakus).

Maksudnya bagaimana?
Yang karena greedy kita harus hukum keras. Tapi, kalau karena need? Gini loh, Anda bisa membayangkan, pejabat eselon I pada waktu dia dinas mungkin cukup ya. Tapi, begitu dia pensiun, itu dia hanya menerima Rp4,5 juta. Bayangkan kalau yang eselon I yang kawinnya terlambat he he.

Pada waktu dia pensiun, dia masih punya anak mahasiswa, punya duit dari mana dia. Itu kejadian betul loh sehingga dia untuk keamanannya, dia harus punya tabungan ini kalau saya pensiun. Nah, ini kan karena need tadi kan. Ini kan seharusnya enggak boleh terjadi.

(Korupsi karena) need itu harus dicegah. Karena itu, pemerintah harus berhasil melakukan transformasi dan reformasi birokrasi.

Belum kalau Anda membandingkan penyidik di KPK dengan penyidik di Polri sehingga Anda bisa mendengar yang namanya Brigadir Seladi (Brigadir Kepala Seladi, anggota Polantas Polres Malang Kota) ya, yang selain polisi, dia juga tukang mengumpulkan barang bekas.

Menurut saya, itu kesalahan negara. Enggak boleh terjadi seperti itu. Orang harus cukup. Jadi apa pun dia digajinya itu harus cukup, harus bisa menyekolahkan anaknya. Kejadian seperti ini enggak terjadi di banyak negara maju.

Orang jadi pemadam kebakaran juga cukup, orang jadi polisi rendahan juga cukup. Jadi kondisi itu harus diperbaiki. Itu kan cost and benefit korupsi. Kalau dia tidak korupsi sudah cukup, ngapain dia harus korupsi kemudian diberikan hukuman yang sangat keras dan dipermalukan masyarakat.

Hari ini hukuman sosial dari masyarakat belum ada. Itu penting loh sebetulnya. Ada direktur bank besar masuk penjara kemudian keluar dari penjara masih kaya, dia tetap enggak ada bedanya kan dengan dulu ketika belum terlibat tipikor.

Itu mestinya harus ada sanksi dari masyarakat. Jadi kalau cost-nya lebih banyak dari benefit-nya, orang pasti takut korupsi. Tapi, prinsipnya tadi, syarat utamanya tadi ya dia harus dicukupin.

Bagaimana upaya KPK dalam menyelamatkan uang negara?

Pemberantasan korupsi tidak hanya menghukum orang. Kalau bisa, kerugian negaranya harus kembali. Nah, selalu seperti hari ini kalau kita mengurus kasus ya, itu selalu kita sampaikan (ke saksi atau tersangka) tolong dikembalikan dulu walaupun itu tidak menghilangkan pidananya. Bisa jadi itu menjadi pertimbangan pada waktu kita melakukan proses berikutnya. Tapi, itu juga bukan sesuatu yang mudah loh.

Dari sekian banyak yang kita urusi rata-rata kecenderungannya dia akan selalu ngomong, Saya enggak terima. Baru nanti terbukti di pengadilan, baru iya. Kalau nanti orangnya sudah dihukum, ada tim yang membawa ke proses penuntutan. Ini yang mengembangkan kasus.

Mengembangkan kasus itu kan di samping jaringannya semua terungkap, kerugian negara terungkap, itu juga kemudian kasus itu bisa menyelesaikan permasalahan di bidang itu. Syukur-syukur bisa diperkenalkan sistem yang baru. Tapi, memang tidak mudah. Saya akui orang yang mengembangkan (penyidik) ya itu-itu saja.

Penanganan korupsi tak bisa hanya mengandalkan KPK. Bagaimana KPK mengajak Polri dan kejaksaan untuk ikut aktif memberantas korupsi?
Itu betul. Dan, KPK kan dibentuk tujuannya itu. KPK dibentuk untuk tujuannya yang dimaksud koordinasi dan supervisi itu kan kepada aparat penegak hukum yang lain. Nah, cuma ya itu tadi.

Anda bisa bayangkanlah kalau melakukan koordinasi dan supervisi kepada saudara tua. Dan, saudara tua itu sudah ada mulai Indonesia merdeka. Jumlahnya ada 430.000 personel, sementara KPK hanya 1.200. Kalau kita berbicara penindakannya (SDM penindakan KPK), tidak lebih dari 200 orang, yakni 123 penyelidik dan 90 penyidik.

Ya, lebih sedikitlah, sekitar 250 (sampai) 260 lah. Kemudian saudara tua kita 430.000. Jadi yang sangat kita harapkan memang komitmen dari pimpinan-pimpinan penegak hukum di kejaksaan dan kepolisian.

Walaupun ini harus selalu didorong oleh kepala pemerintahan dalam hal ini Presiden ya. Jadi Presiden harus menemukan cara bagaimana melakukan reformasi dan transformasi di dua penegak hukum tadi. Sebetulnya sudah mulai walaupun jalannya belum cepat. Rekrutmen perlu diawasi dengan baik. Terus rotasi dan mutasi. Itu-itu hal yang harus perlu diawasi.

Kemudian praktik prosedur bisnis mereka sehari-hari. Bahkan kalau bicara dalam area yang lebih kecil lagi, Hong Kong ya. Hong Kong itu ada ICAC (Independent Commission Against Corruption) terus hanya melakukan reformasi di tubuh polisi. Karena memang itu yang anu gitu loh. Tapi, kalau kita tidak cukup hanya itu. Karena ya yang korupsi di kita tidak hanya polisi, hampir semua lini terjadi itu.

Jadi saya diceritain (oleh ICAC Hong Kong), miris saya melihat. Hong Kong itu tahun 1970-an, ICAC didirikan tahun 1975 ya. Korupsi itu sudah sindikat. Jadi polisi itu, malah polanya jual stiker, harga-harganya mahal. Kalau orang pasang stiker di mobilnya, pelanggaran-pelanggaran lalu lintas tidak lagi ditindak.

Orang yang berhubungan dengan pelabuhan juga seperti itu, termasuk masuk pelabuhan. Nanti kalau dia melakukan pelanggaran, di pelabuhan juga dibiarkan, dimaafkan. Itu kan sudah tidak betul. Di pelabuhan, kemudian mereka mengoordinasi narkoba, prostitusi, segala macam gitu kan. Nah, kalau secara lintasnya ada miripnya (dengan di Indonesia).

Pernah Anda melihat ada truk ditempel tulisan, kemudian enggak boleh (ditindak). Itu kan mirip-mirip dengan itu kan (di Hong Kong dulu). Jadi sindikat itu kan sedikit-banyak kita (Indonesia) mulai ketularan. Inilah yang kemudian harus mulai diatasi lah.

Pengalaman kasus Cicak VS Buaya, bagaimana KPK membangun hubungan baik dengan penegak hukum lain?
Hubungan harus selalu dibina. Bukan berarti masing-masing harus mengorbankan integritasnya ya. Akan menjadi bagus kalau kita ada forum selalu bertukar informasi, bertukar pengalaman dari penanganan-penanganan dari kasus kita.

Mudah-mudahan hubungan yang selama ini terjadi karena kita sudah satu tahun lebih di sini (KPK), itu hubungannya cukup baik-baik dengan pimpinan (Kapolri) yang terdahulu Pak Badrodin Haiti. Hari ini kita dengan Pak Tito (Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian) juga hubungannya bagus.

Mudah-mudahan kita tidak menimbulkan sesuatu agenda yang mungkin bagi mereka bisa menjadi ancaman atau apa, saya pikir bisa saja lebih baik diselesaikan. Yang penting kan masing-masing pihak tidak menghilangkan independensinya, integritasnya.

Mengapa KPK tidak pernah masuk ke ranah militer?
Undang-undangnya kan belum memungkinkan. Tapi, enggak apa-apa juga kan kalau kita sepakat dengan militer, toh Anda juga enggak ragu-ragu kan. Misalnya putusan Mahmil (Mahkamah Militer) kemarin. Akhirnya menghukum orang sampai seumur hidup. ( Brigjen Teddy Hernayadi dihukum seumur hidup karena kasus korupsi pembelian alutsista). Itu luar biasa loh, itu harus diapresiasi.

Waktu pelatihan di sana (di TNI), kita mengapresiasi betul. Kan enggak apa-apa militernya Anda (TNI) tangani, sipilnya di kita. Jadi menurut saya, jangan didikotomikan. Apalagi dengan keterbatasan staf hari ini ya saya seneng aja dibantu seperti itu.

Bagaimana soal kelanjutan kasus RS Sumber Waras dan Reklamasi yang diduga ada keterkaitan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)?
Kami menjaga betul jangan sampai dipersepsikan KPK main politik. Itu kan enggak enak betul. Jadi daripada kami menumpangi keriuhan yang terjadi, itu kan mendingan semua langkah-langkah itu kita lakukan setelah pilkada sajalah. Itu kan lebih netral bagi KPK untuk melakukan ihwal yang lebih baik.

Jadi kalau yang kami lihat sebetulnya masih banyak hal yang perlu diklarifikasi, perlu penyelidikan lebih lanjut. Terutama yang terkait dengan banyak hal tadi. Bukan hanya Sumber Waras, tapi pembelian-pembelian lahan oleh Pemda DKI, reklamasi, segala macam itu. Nanti ya kita nunggu supaya enggak nambah keriuhan lah.

Apa harapan KPK pada 2017?
Kami berharap prestasi lebih ditingkatkan. Kemudian perbaikan sistem juga terjadi, ya. Walaupun perbaikan sistem itu prosesnya agak panjang. Tapi, saya menginginkan kalau reformasi dan transformasi birokrasi itu ada langkah yang lebih konkret dari pemerintahan. Saya enggak tahu apakah ragu-ragu dari pemerintah, juga perampingan ya. Gejolaknya bisa besar loh. Bayangkan aja kalau misalkan, kita ini punya 34 kementerian, sementara di Amerika cuma 16 kementerian.

Kita juga punya 50 lembaga. Jadi harapannya ada perbaikan sistem, birokrasinya lebih baik, (KPK) lebih melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum yang lain. Tapi, membangun kesadaran itu memang bukan sesuatu yang mudah. Yang sangat kita sayangkan, sebenarnya kita sudah 72 tahun merdeka. Itu birokrasi kita masih sangat jelek. Itu yang sangat saya sayangkan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6852 seconds (0.1#10.140)