MK Diminta Tidak Terpaku Syarat Selisih Suara
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berharap Mahkamah Konstitusi (MK) melihat secara jernih permohonan gugatan terkait hasil perselisihan suara pemilihan kepala daerah (pilkada).
Titi berharap MK tidak terjebak melihat gugatan hanya menyangkut syarat selisih sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Menuruyt dia, MK harus melihat sesuatu yang substansial, yakni jika hasil yang ditetapkan KPU berasal dari cara yang melawan prinsip pemilu demokratis.
“Misalnya terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), kan MK juga pernah memutus hal sama atau terjadi manipulasi dalam proses yang melibatkan para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada,” tutur Titi di Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Titi menilai sikap MK yang kaku dalam mengimplementasikan Pasal 158 UU 10/2016 justru memunculkan banyak modus kecurangan calon kepala daerah yang lebih masif.
“Ketimbang selisihnya sedikit nanti bisa dibawa ke MK. Jadi sekarang target calon itu membuat selisih di atas 2% sehingga tidak bisa dibawa ke MK,” ucapnya.
Titi melanjutkan, temuan ini diperkuat fakta di lapangan tentang adanya calon yang mengubah perolehan suara, atau mengulur waktu rekapitulasi suara.
“Kan ada sampai hari ini yang belum lakukan rekapitulasi, misalnya di Yapen, Jayapura,” kata Titi.
Adapula keputusan pemungutan suara ulang (PSU) di banyak tempat yang dinilai Titi tidak tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
“Memutuskan PSU tapi alasannya terjadi politik uang. Kan politik uang itu pidana, calon terpilih bisa dibatalkan,” ujar Titi.
Titi juga mengingatkan MK untuk menjadikan penyelesaian hasil pilkada sebagai momentum mengembalikan kepercayaan publik, setelah beberapa kasus yang menimpa dilembaga tersebut dalam waktu terakhir.
“MK tetap istikamah mengawal konstitusi dengan nilai keadilan dan nilai kepemiluan yang luber jurdil (langsung umum jujur dan adil) demokratis sesuai amanat konstitusi. Jadi MK harus mengimplementasikan yang dijamin UUD 1945, jadi jangan jadi mahkamah kalkultor,” tuturnya.
Titi berharap MK tidak terjebak melihat gugatan hanya menyangkut syarat selisih sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Menuruyt dia, MK harus melihat sesuatu yang substansial, yakni jika hasil yang ditetapkan KPU berasal dari cara yang melawan prinsip pemilu demokratis.
“Misalnya terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), kan MK juga pernah memutus hal sama atau terjadi manipulasi dalam proses yang melibatkan para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada,” tutur Titi di Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Titi menilai sikap MK yang kaku dalam mengimplementasikan Pasal 158 UU 10/2016 justru memunculkan banyak modus kecurangan calon kepala daerah yang lebih masif.
“Ketimbang selisihnya sedikit nanti bisa dibawa ke MK. Jadi sekarang target calon itu membuat selisih di atas 2% sehingga tidak bisa dibawa ke MK,” ucapnya.
Titi melanjutkan, temuan ini diperkuat fakta di lapangan tentang adanya calon yang mengubah perolehan suara, atau mengulur waktu rekapitulasi suara.
“Kan ada sampai hari ini yang belum lakukan rekapitulasi, misalnya di Yapen, Jayapura,” kata Titi.
Adapula keputusan pemungutan suara ulang (PSU) di banyak tempat yang dinilai Titi tidak tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan.
“Memutuskan PSU tapi alasannya terjadi politik uang. Kan politik uang itu pidana, calon terpilih bisa dibatalkan,” ujar Titi.
Titi juga mengingatkan MK untuk menjadikan penyelesaian hasil pilkada sebagai momentum mengembalikan kepercayaan publik, setelah beberapa kasus yang menimpa dilembaga tersebut dalam waktu terakhir.
“MK tetap istikamah mengawal konstitusi dengan nilai keadilan dan nilai kepemiluan yang luber jurdil (langsung umum jujur dan adil) demokratis sesuai amanat konstitusi. Jadi MK harus mengimplementasikan yang dijamin UUD 1945, jadi jangan jadi mahkamah kalkultor,” tuturnya.
(dam)