Fait Accompli Bank Sentral
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEJARAH krisis di masa lalu sempat menjatuhkan marwah Bank Indonesia (BI) selaku otoritas bank sentral di negeri ini. BI sempat dianggap tidak cakap menangani strategi-strategi mitigasi hingga dampaknya kita “sukses” mencapai titik kulminasi tertinggi dengan adanya krisis moneter dan politik pada 1997/1998. Memang kita harus objektif, tidak semua “dosa” di masa lalu merupakan tanggung jawab BI.
Profesionalisme BI pada masa itu belum terbentuk sempurna karena tidak diberi ruang independensi. Apalagi posisi Indonesia sebagai negara small open economy ikut berdampak pada daya tahan negara terhadap arus depresiasi ekonomi global. Namun masyarakat kita sudah telanjur mengalami trauma katalis yang membuat posisi BI dianggap kurang kredibel.
Dampak secara kelembagaan sudah sangat terlihat dengan perubahan wewenang BI yang kini harus rela berbagi kamar dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Ketiganya akan berjalan beriringan untuk bergotong-royong memangku kebijakan-kebijakan strategis di bidang moneter.
Kewenangan yang diemban BI kini berada di masa fait accompli. BI dibatasi hanya berperan sebagai konduktor kebijakan dari sisi makroprudensial, sedangkan garis sempadan peran mikroprudensial dibagi untuk OJK dan LPS.
Keuntungannya, peran BI menjadi semakin terfokus. Akan tetapi sisi yang lain membuka potensi peningkatan biaya transaksi karena sulitnya proses koordinasi dan sinkronisasi kebijakan.
Bagaimanapun pengalaman ini menjadi konsekuensi politik yang harus dihadapi oleh sebuah institusi negara. Dan BI selaku salah satu konduktor utama harus segera mengambil langkah kuratif untuk segera mengembalikan tingkat kredibilitasnya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa BI harus kredibel? Jawabannya sangat mudah dan sederhana karena BI harus mampu menjadi anutan publik dan secara kuat memengaruhi mekanisme pasar moneter agar berjalan efisien.
Ukuran kredibilitasnya bisa dihubungkan dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan BI mampu mengendalikan perilaku pasar yang sangat dinamis dan heterogen. Selain itu kredibilitas BI juga dapat diuji melalui hasil timbal balik (feedback loop) dengan OJK dalam tatanan hubungan makro-mikroprudensial serta hubungan antara otoritas sektor keuangan dan sektor riil (pemerintah).
Sebagai contoh mengenai efisiensi pengelolaan kredit. BI memiliki wewenang dalam menjaga kelancaran sistem pembayaran, merawat kesehatan keuangan perbankan dan swasta, mengamati akumulasi inflasi, serta pemantauan terhadap potensi, dampak, dan penanganan krisis sistemik atas berjalannya mekanisme kredit.
Pada tahun lalu, BI dan OJK sama-sama mengakui ada degradasi kualitas kredit yang disalurkan. Angka pertumbuhan kredit melambat dari semula di atas 10% pada tahun 2015 menjadi sekitar 7,9% (year on year).
Meski penyaluran kredit sedang seret, angka non-performing loan (NPL) sebagai indikator kredit bermasalah justru meningkat dari 2,5% menjadi 3,1% (OJK, 2016). Peran BI tidak hanya berhenti pada realisasi kinerja penyaluran kredit.
BI juga harus berani menjamin sistem pembayaran kredit dapat berjalan lancar untuk menjauhkan kita dari ancaman krisis keuangan sistemik.
Fokus pada Tujuan
Kinerja keuangan di sektor kredit menjadi contoh sempurna untuk mengukur sejauh mana mekanisme moneter dapat berjalan secara efisien. Sektor kredit memang bukan segala-galanya di dalam kerangka kebijakan moneter, tetapi kredit bisa berperan sebagai gerigi utama yang dapat menggerakkan berbagai sektor strategis lain di Indonesia.
Sektor kredit dapat memacu realisasi target pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Sasaran berjangkanya ialah dengan meningkatkan investasi dan konsumsi di sektor riil serta mengembangkan profitabilitas di sektor keuangan dan perbankan.
Untuk saat ini pola pertumbuhan ekonomi kita telanjur sangat bergantung pada tingkat konsumsi swasta dan pemerintah. Namun pola ini sendiri cukup rentan untuk kepentingan jangka panjang.
Apalagi jika faktor-faktor fundamental konsumsi baik dari sisi pendapatan maupun lapangan pekerjaan sedang dalam masa-masa yang rapuh seperti saat ini sehingga perlu ada inovasi dan strategi untuk membentuk fundamental pertumbuhan ekonomi agar lebih kuat dan efisien, terutama dari sisi investasi dan target kenaikan net export sebagai pertanda menggeliatnya produktivitas dalam negeri.
Sebagai langkah awal, yang dianggap paling mendesak, BI sepertinya perlu mengevaluasi sejauh mana efisiensi berjalan di dalam pengelolaan kredit. Parameter efisiensi yang digunakan biasanya adalah persentase net interest margin (NIM) dan NPL dalam kisaran yang sangat kecil.
Tahun 2016 kemarin, rata-rata NIM perbankan mencapai 5,63%, tumbuh sekitar 24bps dari capaian tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan NIM di negara ASEAN lainnya, capaian kita ini yang paling mengkhawatirkan. Tahun 2015 kemarin, NIM perbankan di Thailand hanya sebesar 2,60%, Filipina 3,35%, sedangkan Malaysia hanya 2,35%.
Besaran NIM yang lebih rendah tersebut cukup melegakan beban para debitor karena hanya menanggung suku bunga kredit berkisar 6,85–7,10%. Sementara di Indonesia target untuk sekadar memenuhi bunga kredit single digit saja masih sangat tertatih-tatih.
LPS bahkan sudah memprediksi kemungkinan tahun ini akan terjadi pemekaran NIM di angka 5,7% karena kalangan perbankan yang masih enggan “mengorbankan” NIM.
Penyebabnya karena biaya operasional dan overhead cost perbankan yang relatif masih sangat tinggi. Alasan tambahannya juga menyebutkan karena adanya kecenderungan NPL yang terus meningkat, perbankan masih cukup waswas terhadap kondisi likuiditas dan cadangan dana mereka akan menjadi kian terbatas.
Kondisi pasar yang mulai kurang sehat inilah yang seharusnya bisa segera diatasi dengan penyegaran-penyegaran kebijakan. Jadi BI (bersama otoritas lainnya) harus segera bertindak taktis untuk membantu perbankan menekan penyebab-penyebab kenaikan NIM dan NPL.
Cara yang pertama, BI perlu fokus terhadap core business-nya untuk menjaga inflation targeting framework (ITF) tetap terlaksana dengan baik. Sasaran ITF diarahkan pada stabilitas variabel jangkar nominal (nominal anchor) seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar yang ditargetkan secara eksplisit oleh BI sebagai patokan bagi pembentukan nilai/harga produk-produk lainnya.
Jangkar nominal ini dianggap BI sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menentukan ekspektasi inflasi dan mengalkulasi potensi ekonomi. Dari sini kredibilitas BI akan diuji melalui peramalan/proyeksi ekonomi (forward looking). Jika ramalan ekonomi BI semakin akurat terhadap kondisi perekonomian, tingkat apresiasi publik sewajarnya juga akan terus meningkat.
Kedua, langkah berikutnya ialah menjaga agar realisasi ITF bisa sesuai dengan rencana. BI membutuhkan koordinasi antarinstansi untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan.
Konektivitas ini sendiri sudah disinggung dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Misalnya terkait dengan kesehatan sektor kredit yang sangat dipengaruhi ekuilibrium pasar barang dan modal.
BI harus mampu berpadu secara alami dengan OJK dan unsur pemerintah untuk menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dari sisi regulasi dan kebijakan. Misalnya untuk mengamankan sistem pembayaran dan menekan suku bunga kredit agar lebih rendah, BI melakukan kebijakan pemotongan tingkat suku bunga acuan.
OJK dapat membantu dengan mengawasi perilaku pasar dan memberikan insentif terhadap perbankan berprestasi (misal NIM dan NPL rendah). Sementara pemerintah bisa mendukung dengan memberikan kelonggaran biaya kelembagaan (regulasi dan birokrasi) serta menetapkan subsidi pada struktur-struktur ekonomi yang potensial.
Ketiga, pentingnya menjaga tingkat inflasi. Terkait dengan perannya, lagi-lagi BI tidak dapat bekerja secara parsial karena berkaitan erat dengan kinerja sektor riil dan keuangan. Faktor-faktor utamanya akan bergantung pada pengendalian jumlah uang yang beredar, tingkat pendapatan masyarakat, dan kapasitas produksi barang/jasa.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo catatan inflasinya memang sudah cukup kondusif karena secara agregat berada di posisi ± 4% dan menandakan pola keseimbangan pasar supply-demand yang sangat terjaga.
Namun posisi ekuilibriumnya terbentuk bukan lantaran peningkatan produksi dan pendapatan, melainkan karena penurunan tingkat konsumsi sehingga menjemput ke bawah kurva penawaran yang relatif stagnan. Tugas BI yang sudah didistribusikan melalui Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu lebih diperkuat untuk mengakselerasi perekonomian daerah.
Selain untuk kepentingan inflasi, aktivitas hulu dan hilir seperti kredit dan tata niaga di sektor riil (terutama UMKM) menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan. BI perlu berkoordinasi dengan OJK dan pemerintah daerah untuk urusan skema kredit dan kelembagaan lainnya agar lebih efisiensi terhadap mekanisme pasar di setiap daerah.
Dan keempat, perlu ada langkah inovatif lanjutan untuk memacu upaya inklusivitas keuangan. Pola ini bisa dikaitkan dengan kisah kemiskinan dan ketimpangan Indonesia yang penanganannya sangat berbelit.
Fenomena ini seakan mengonfirmasi bahwa gelimang pertumbuhan tidak dinikmati masyarakat secara merata. Hasil survei dari Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) baru-baru ini menyajikan fakta bahwa distribusi kekayaan di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di dunia.
Bisa saja pola ketimpangan ini juga disebabkan akses permodalan untuk kepentingan produksi yang terbatas pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Karena itu diharapkan muncul inovasi akses terhadap sistem keuangan dan kredit, terutama pada pengusaha marginal.
Komposisi penyaluran berdasarkan segmen (sektor ekonomi) dan fungsi kredit perlu diikuti dengan kebijakan afirmasi. Sektor-sektor yang selama ini belum banyak tersentuh kredit seperti pertanian dan perikanan perlu dibantu agar memiliki akses keuangan yang lebih longgar. Misalnya dengan mendirikan bank pertanian atau bank UMKM agar lebih sesuai dengan karakter finansial mereka.
Selain itu berdasarkan fungsinya, komposisi penyaluran kredit seharusnya juga diarahkan untuk kepentingan yang lebih produktif, misalnya untuk tujuan investasi atau peningkatan modal kerja, sehingga tiap anggota masyarakat memiliki akses yang proporsional untuk mendapatkan peluang meningkatkan kesejahteraannya.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SEJARAH krisis di masa lalu sempat menjatuhkan marwah Bank Indonesia (BI) selaku otoritas bank sentral di negeri ini. BI sempat dianggap tidak cakap menangani strategi-strategi mitigasi hingga dampaknya kita “sukses” mencapai titik kulminasi tertinggi dengan adanya krisis moneter dan politik pada 1997/1998. Memang kita harus objektif, tidak semua “dosa” di masa lalu merupakan tanggung jawab BI.
Profesionalisme BI pada masa itu belum terbentuk sempurna karena tidak diberi ruang independensi. Apalagi posisi Indonesia sebagai negara small open economy ikut berdampak pada daya tahan negara terhadap arus depresiasi ekonomi global. Namun masyarakat kita sudah telanjur mengalami trauma katalis yang membuat posisi BI dianggap kurang kredibel.
Dampak secara kelembagaan sudah sangat terlihat dengan perubahan wewenang BI yang kini harus rela berbagi kamar dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Ketiganya akan berjalan beriringan untuk bergotong-royong memangku kebijakan-kebijakan strategis di bidang moneter.
Kewenangan yang diemban BI kini berada di masa fait accompli. BI dibatasi hanya berperan sebagai konduktor kebijakan dari sisi makroprudensial, sedangkan garis sempadan peran mikroprudensial dibagi untuk OJK dan LPS.
Keuntungannya, peran BI menjadi semakin terfokus. Akan tetapi sisi yang lain membuka potensi peningkatan biaya transaksi karena sulitnya proses koordinasi dan sinkronisasi kebijakan.
Bagaimanapun pengalaman ini menjadi konsekuensi politik yang harus dihadapi oleh sebuah institusi negara. Dan BI selaku salah satu konduktor utama harus segera mengambil langkah kuratif untuk segera mengembalikan tingkat kredibilitasnya.
Pertanyaannya sekarang, mengapa BI harus kredibel? Jawabannya sangat mudah dan sederhana karena BI harus mampu menjadi anutan publik dan secara kuat memengaruhi mekanisme pasar moneter agar berjalan efisien.
Ukuran kredibilitasnya bisa dihubungkan dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan BI mampu mengendalikan perilaku pasar yang sangat dinamis dan heterogen. Selain itu kredibilitas BI juga dapat diuji melalui hasil timbal balik (feedback loop) dengan OJK dalam tatanan hubungan makro-mikroprudensial serta hubungan antara otoritas sektor keuangan dan sektor riil (pemerintah).
Sebagai contoh mengenai efisiensi pengelolaan kredit. BI memiliki wewenang dalam menjaga kelancaran sistem pembayaran, merawat kesehatan keuangan perbankan dan swasta, mengamati akumulasi inflasi, serta pemantauan terhadap potensi, dampak, dan penanganan krisis sistemik atas berjalannya mekanisme kredit.
Pada tahun lalu, BI dan OJK sama-sama mengakui ada degradasi kualitas kredit yang disalurkan. Angka pertumbuhan kredit melambat dari semula di atas 10% pada tahun 2015 menjadi sekitar 7,9% (year on year).
Meski penyaluran kredit sedang seret, angka non-performing loan (NPL) sebagai indikator kredit bermasalah justru meningkat dari 2,5% menjadi 3,1% (OJK, 2016). Peran BI tidak hanya berhenti pada realisasi kinerja penyaluran kredit.
BI juga harus berani menjamin sistem pembayaran kredit dapat berjalan lancar untuk menjauhkan kita dari ancaman krisis keuangan sistemik.
Fokus pada Tujuan
Kinerja keuangan di sektor kredit menjadi contoh sempurna untuk mengukur sejauh mana mekanisme moneter dapat berjalan secara efisien. Sektor kredit memang bukan segala-galanya di dalam kerangka kebijakan moneter, tetapi kredit bisa berperan sebagai gerigi utama yang dapat menggerakkan berbagai sektor strategis lain di Indonesia.
Sektor kredit dapat memacu realisasi target pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Sasaran berjangkanya ialah dengan meningkatkan investasi dan konsumsi di sektor riil serta mengembangkan profitabilitas di sektor keuangan dan perbankan.
Untuk saat ini pola pertumbuhan ekonomi kita telanjur sangat bergantung pada tingkat konsumsi swasta dan pemerintah. Namun pola ini sendiri cukup rentan untuk kepentingan jangka panjang.
Apalagi jika faktor-faktor fundamental konsumsi baik dari sisi pendapatan maupun lapangan pekerjaan sedang dalam masa-masa yang rapuh seperti saat ini sehingga perlu ada inovasi dan strategi untuk membentuk fundamental pertumbuhan ekonomi agar lebih kuat dan efisien, terutama dari sisi investasi dan target kenaikan net export sebagai pertanda menggeliatnya produktivitas dalam negeri.
Sebagai langkah awal, yang dianggap paling mendesak, BI sepertinya perlu mengevaluasi sejauh mana efisiensi berjalan di dalam pengelolaan kredit. Parameter efisiensi yang digunakan biasanya adalah persentase net interest margin (NIM) dan NPL dalam kisaran yang sangat kecil.
Tahun 2016 kemarin, rata-rata NIM perbankan mencapai 5,63%, tumbuh sekitar 24bps dari capaian tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan NIM di negara ASEAN lainnya, capaian kita ini yang paling mengkhawatirkan. Tahun 2015 kemarin, NIM perbankan di Thailand hanya sebesar 2,60%, Filipina 3,35%, sedangkan Malaysia hanya 2,35%.
Besaran NIM yang lebih rendah tersebut cukup melegakan beban para debitor karena hanya menanggung suku bunga kredit berkisar 6,85–7,10%. Sementara di Indonesia target untuk sekadar memenuhi bunga kredit single digit saja masih sangat tertatih-tatih.
LPS bahkan sudah memprediksi kemungkinan tahun ini akan terjadi pemekaran NIM di angka 5,7% karena kalangan perbankan yang masih enggan “mengorbankan” NIM.
Penyebabnya karena biaya operasional dan overhead cost perbankan yang relatif masih sangat tinggi. Alasan tambahannya juga menyebutkan karena adanya kecenderungan NPL yang terus meningkat, perbankan masih cukup waswas terhadap kondisi likuiditas dan cadangan dana mereka akan menjadi kian terbatas.
Kondisi pasar yang mulai kurang sehat inilah yang seharusnya bisa segera diatasi dengan penyegaran-penyegaran kebijakan. Jadi BI (bersama otoritas lainnya) harus segera bertindak taktis untuk membantu perbankan menekan penyebab-penyebab kenaikan NIM dan NPL.
Cara yang pertama, BI perlu fokus terhadap core business-nya untuk menjaga inflation targeting framework (ITF) tetap terlaksana dengan baik. Sasaran ITF diarahkan pada stabilitas variabel jangkar nominal (nominal anchor) seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar yang ditargetkan secara eksplisit oleh BI sebagai patokan bagi pembentukan nilai/harga produk-produk lainnya.
Jangkar nominal ini dianggap BI sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menentukan ekspektasi inflasi dan mengalkulasi potensi ekonomi. Dari sini kredibilitas BI akan diuji melalui peramalan/proyeksi ekonomi (forward looking). Jika ramalan ekonomi BI semakin akurat terhadap kondisi perekonomian, tingkat apresiasi publik sewajarnya juga akan terus meningkat.
Kedua, langkah berikutnya ialah menjaga agar realisasi ITF bisa sesuai dengan rencana. BI membutuhkan koordinasi antarinstansi untuk memenuhi target-target yang telah ditetapkan.
Konektivitas ini sendiri sudah disinggung dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Misalnya terkait dengan kesehatan sektor kredit yang sangat dipengaruhi ekuilibrium pasar barang dan modal.
BI harus mampu berpadu secara alami dengan OJK dan unsur pemerintah untuk menciptakan iklim perekonomian yang kondusif dari sisi regulasi dan kebijakan. Misalnya untuk mengamankan sistem pembayaran dan menekan suku bunga kredit agar lebih rendah, BI melakukan kebijakan pemotongan tingkat suku bunga acuan.
OJK dapat membantu dengan mengawasi perilaku pasar dan memberikan insentif terhadap perbankan berprestasi (misal NIM dan NPL rendah). Sementara pemerintah bisa mendukung dengan memberikan kelonggaran biaya kelembagaan (regulasi dan birokrasi) serta menetapkan subsidi pada struktur-struktur ekonomi yang potensial.
Ketiga, pentingnya menjaga tingkat inflasi. Terkait dengan perannya, lagi-lagi BI tidak dapat bekerja secara parsial karena berkaitan erat dengan kinerja sektor riil dan keuangan. Faktor-faktor utamanya akan bergantung pada pengendalian jumlah uang yang beredar, tingkat pendapatan masyarakat, dan kapasitas produksi barang/jasa.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo catatan inflasinya memang sudah cukup kondusif karena secara agregat berada di posisi ± 4% dan menandakan pola keseimbangan pasar supply-demand yang sangat terjaga.
Namun posisi ekuilibriumnya terbentuk bukan lantaran peningkatan produksi dan pendapatan, melainkan karena penurunan tingkat konsumsi sehingga menjemput ke bawah kurva penawaran yang relatif stagnan. Tugas BI yang sudah didistribusikan melalui Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu lebih diperkuat untuk mengakselerasi perekonomian daerah.
Selain untuk kepentingan inflasi, aktivitas hulu dan hilir seperti kredit dan tata niaga di sektor riil (terutama UMKM) menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan. BI perlu berkoordinasi dengan OJK dan pemerintah daerah untuk urusan skema kredit dan kelembagaan lainnya agar lebih efisiensi terhadap mekanisme pasar di setiap daerah.
Dan keempat, perlu ada langkah inovatif lanjutan untuk memacu upaya inklusivitas keuangan. Pola ini bisa dikaitkan dengan kisah kemiskinan dan ketimpangan Indonesia yang penanganannya sangat berbelit.
Fenomena ini seakan mengonfirmasi bahwa gelimang pertumbuhan tidak dinikmati masyarakat secara merata. Hasil survei dari Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) baru-baru ini menyajikan fakta bahwa distribusi kekayaan di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk di dunia.
Bisa saja pola ketimpangan ini juga disebabkan akses permodalan untuk kepentingan produksi yang terbatas pada masyarakat golongan menengah ke bawah. Karena itu diharapkan muncul inovasi akses terhadap sistem keuangan dan kredit, terutama pada pengusaha marginal.
Komposisi penyaluran berdasarkan segmen (sektor ekonomi) dan fungsi kredit perlu diikuti dengan kebijakan afirmasi. Sektor-sektor yang selama ini belum banyak tersentuh kredit seperti pertanian dan perikanan perlu dibantu agar memiliki akses keuangan yang lebih longgar. Misalnya dengan mendirikan bank pertanian atau bank UMKM agar lebih sesuai dengan karakter finansial mereka.
Selain itu berdasarkan fungsinya, komposisi penyaluran kredit seharusnya juga diarahkan untuk kepentingan yang lebih produktif, misalnya untuk tujuan investasi atau peningkatan modal kerja, sehingga tiap anggota masyarakat memiliki akses yang proporsional untuk mendapatkan peluang meningkatkan kesejahteraannya.
(poe)