Fatwa Buzzer Politik
A
A
A
DALAM sebuah kegiatan diskusi, PP Muhammadiyah berpendapat untuk menerbitkan fatwa haram bagi para buzzer politik. Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Edy Kuscahyanto mengatakan, para buzzer politik telah meresahkan orang lain dan membunuh karakter seseorang. Dengan alasan itu, organisasi ini bersepakat untuk mengharamkan buzzer yang sudah seperti sebuah profesi.
Buzzer politik selama beberapa tahun terakhir tumbuh seperti jamur yang berkembang subur di media sosial (medsos). Tidak sedikit politisi yang menggunakan jasa buzzer untuk mencapai kekuasaan dan menjatuhkan lawan.
Semua informasi yang disebarkan oleh buzzer cenderung informasi yang bernada negatif dan menjadi berita hoax. Buzzer bergentayangan di medsos dengan menggunakan nama samaran.
Satu orang buzzer bisa membuat puluhan akun palsu untuk kemudian membuat berbagai berita palsu. Setiap berita yang disebarkan oleh para buzzer akan direspons oleh buzzer lain yang berada dalam satu payung atau satu ‘majikan’ agar menjadi berita yang cepat tersebar dan menggegerkan.
Orang lain yang menerima informasi dari para buzzer terkadang jarang yang melakukan check and recheck tentang kebenaran berita tersebut.
Buzzer politik mulai berkembang tahun 2010–2012. Dalam rentang dua tahun itu, buzzer sudah menguasai medsos. Semua informasi yang dilemparkan oleh buzzer terkadang menjadi trending topic di Twitter.
Dalam perkembangannya, jasa buzzer menjadi sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang ingin maju sebagai pemimpin. Di tahun 2011, para buzzer mulai berjaya menjelang adanya pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Mereka yang menjadi tim sukses medsos para calon gubernur menjadi pasukan ‘bawah tanah’ yang aktif di dunia maya.
Dua calon yang bertarung saat itu, yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama menjadi empat orang yang paling hangat diperbincangkan di medsos. Bahkan, para politisi yang menjadi pendukungnya pun tak lepas dari isu negatif.
Berkembangnya teknologi turut menjadi andil alat demokrasi saat ini. Melalui kecanggihan teknologi, buzzer bisa menjadikan seseorang menjadi agung, bersih seperti dewa yang tanpa cela, atau justru sebaliknya.
Bila ada akun lain yang mengkritisi, secepat mungkin akan dihabisi atau di-bully. Kebebasan berkata-kata, menampilkan data palsu yang jauh dari akurat, hingga membuat meme yang nyeleneh menjadi hal yang biasa dan tak melanggar norma.
Fitnah gencar disebarkan dan mencemarkan nama baik seseorang. Buzzer pun tak merasa bersalah, karena dia memang bekerja untuk memfitnah dan menciptakan hoax. Dalam kasus ini Presiden Jokowi menyebutnya sebagai demokrasi yang kebablasan.
Keberadaan buzzer politik semakin merajalela di saat pilpres 2014. Masing-masing para capres memiliki tim medsos yang aktif untuk menyiarkan berbagai keunggulan capresnya dan menyerang capres lain. Pascapesta demokrasi, tim medsos yang menjadi pasukan bayangan mendapatkan kesempatan jamuan istimewa sebagai imbalan balas jasa.
Lepas dari pilpres, para buzzer kembali dibutuhkan keahliannya pada pilkada serentak 2017. Buzzer politik yang banyak digunakan tentu saja pada Pilkada DKI Jakarta, yang memperebutkan kursi nomor satu di Ibu Kota.
Keberadaan buzzer kali ini semakin memecah kebinekaan dan mulai mengkhawatirkan. Atas dasar inilah organisasi Muhammadiyah bersepakat untuk mengharamkan profesi buzzer, yang ke depan dapat mengkhawatirkan keutuhan kebangsaan.
Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan cyber crime, dalam kasus ini belum optimal dan belum bisa menjerat para buzzer, termasuk para pengguna jasa mereka. Peran organisasi Muhammadiyah yang akan mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer dan pengguna jasanya harus diapresiasi dan disambut positif.
Meski harus melalui sebuah kajian sebelum fatwa diterbitkan, wacana ini merupakan langkah awal untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
Ke depan, para pencari kekuasaan akan lebih bijak mendapatkan kursinya tanpa harus menebar benih permusuhan. Selain merugikan rakyat, buzzer politik tentu akan menjadi bumerang ‘sang majikan’ setelah tak lagi memegang kekuasaan dan kehilangan jabatan. Semoga fatwa segera diterbitkan.
Buzzer politik selama beberapa tahun terakhir tumbuh seperti jamur yang berkembang subur di media sosial (medsos). Tidak sedikit politisi yang menggunakan jasa buzzer untuk mencapai kekuasaan dan menjatuhkan lawan.
Semua informasi yang disebarkan oleh buzzer cenderung informasi yang bernada negatif dan menjadi berita hoax. Buzzer bergentayangan di medsos dengan menggunakan nama samaran.
Satu orang buzzer bisa membuat puluhan akun palsu untuk kemudian membuat berbagai berita palsu. Setiap berita yang disebarkan oleh para buzzer akan direspons oleh buzzer lain yang berada dalam satu payung atau satu ‘majikan’ agar menjadi berita yang cepat tersebar dan menggegerkan.
Orang lain yang menerima informasi dari para buzzer terkadang jarang yang melakukan check and recheck tentang kebenaran berita tersebut.
Buzzer politik mulai berkembang tahun 2010–2012. Dalam rentang dua tahun itu, buzzer sudah menguasai medsos. Semua informasi yang dilemparkan oleh buzzer terkadang menjadi trending topic di Twitter.
Dalam perkembangannya, jasa buzzer menjadi sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang ingin maju sebagai pemimpin. Di tahun 2011, para buzzer mulai berjaya menjelang adanya pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Mereka yang menjadi tim sukses medsos para calon gubernur menjadi pasukan ‘bawah tanah’ yang aktif di dunia maya.
Dua calon yang bertarung saat itu, yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama menjadi empat orang yang paling hangat diperbincangkan di medsos. Bahkan, para politisi yang menjadi pendukungnya pun tak lepas dari isu negatif.
Berkembangnya teknologi turut menjadi andil alat demokrasi saat ini. Melalui kecanggihan teknologi, buzzer bisa menjadikan seseorang menjadi agung, bersih seperti dewa yang tanpa cela, atau justru sebaliknya.
Bila ada akun lain yang mengkritisi, secepat mungkin akan dihabisi atau di-bully. Kebebasan berkata-kata, menampilkan data palsu yang jauh dari akurat, hingga membuat meme yang nyeleneh menjadi hal yang biasa dan tak melanggar norma.
Fitnah gencar disebarkan dan mencemarkan nama baik seseorang. Buzzer pun tak merasa bersalah, karena dia memang bekerja untuk memfitnah dan menciptakan hoax. Dalam kasus ini Presiden Jokowi menyebutnya sebagai demokrasi yang kebablasan.
Keberadaan buzzer politik semakin merajalela di saat pilpres 2014. Masing-masing para capres memiliki tim medsos yang aktif untuk menyiarkan berbagai keunggulan capresnya dan menyerang capres lain. Pascapesta demokrasi, tim medsos yang menjadi pasukan bayangan mendapatkan kesempatan jamuan istimewa sebagai imbalan balas jasa.
Lepas dari pilpres, para buzzer kembali dibutuhkan keahliannya pada pilkada serentak 2017. Buzzer politik yang banyak digunakan tentu saja pada Pilkada DKI Jakarta, yang memperebutkan kursi nomor satu di Ibu Kota.
Keberadaan buzzer kali ini semakin memecah kebinekaan dan mulai mengkhawatirkan. Atas dasar inilah organisasi Muhammadiyah bersepakat untuk mengharamkan profesi buzzer, yang ke depan dapat mengkhawatirkan keutuhan kebangsaan.
Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan cyber crime, dalam kasus ini belum optimal dan belum bisa menjerat para buzzer, termasuk para pengguna jasa mereka. Peran organisasi Muhammadiyah yang akan mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer dan pengguna jasanya harus diapresiasi dan disambut positif.
Meski harus melalui sebuah kajian sebelum fatwa diterbitkan, wacana ini merupakan langkah awal untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
Ke depan, para pencari kekuasaan akan lebih bijak mendapatkan kursinya tanpa harus menebar benih permusuhan. Selain merugikan rakyat, buzzer politik tentu akan menjadi bumerang ‘sang majikan’ setelah tak lagi memegang kekuasaan dan kehilangan jabatan. Semoga fatwa segera diterbitkan.
(poe)