Meneguhkan Komitmen Kebangsaan Media Mainstream

Sabtu, 18 Februari 2017 - 08:13 WIB
Meneguhkan Komitmen...
Meneguhkan Komitmen Kebangsaan Media Mainstream
A A A
Yuliandre Darwis PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Unand

PADA peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon 9 Februari 2017, saya bersyukur karena menjadi bagian dari sejarah penting perjalanan pers di Indonesia. Saya dan orang-orang yang hadir dalam acara tersebut tentu makin bersyukur atas kehadiran Bapak Presiden Jokowi yang memberi pandangan-pandangan konstruktif terhadap keberadaan pers serta dinamika kebangsaan yang terjadi yang banyak dipengaruhi informasi media massa.

Memang, akhir-akhir ini kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang diuji. Persoalan-persoalan datang silih berganti begitu cepat. Media massa berkontribusi dalam dinamika persoalan kebangsaan itu yang menjadi sorotan Presiden Jokowi.

Keberadaan media sosial (medsos) serta dampak ditimbulkannya terhadap kehidupan sosial masyarakat telah mengusik keragaman, keharmonisan dalam perbedaan kita, bahkan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Informasi medsos mengancam nilai-nilai Pancasila, menggerus ideologi negara, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan konsensus-konsensus bernegara.

Di tengah situasi itu, Presiden Jokowi menyampaikan pemikiran beliau yang menjadi penekanan atau bahkan pesan itu bisa dikatakan sebagai sebuah harapan Bapak Presiden yang menjadi representasi rakyat Indonesia pada media arus utama. Televisi dan radio agar tetap kokoh berpegang teguh dan menjunjung tinggi etika jurnalistik, objektivitas, disiplin dalam melakukan verifikasi, serta meneguhkan komitmen kebangsaan media mainstream.

Begitu besar harapan Bapak Presiden terhadap peran media mainstream yang harus dimainkan untuk kepentingan bangsa. Selain prinsip-prinsip etika jurnalistik yang harus menjadi pegangan kuat insan pers secara profesional, pers juga harus bersikap objektif dan yang tidak kalah penting melakukan fungsi verifikasi secara lebih selektif agar akurasi informasi terjaga sebelum peristiwa atau informasi disebarkan melalui frekuensi ruang publik.

Informasi yang tidak benar, menyesatkan masyarakat, berita palsu (hoax), hate speech, ujaran-ujaran kebencian—media arus utama harus dapat meluruskan informasi yang bengkok-bengkok itu. Bukan sebaliknya, media arus utama dipengaruhi medsos atau bahkan ikut-ikutan tren medsos yang menyebarkan hoax.

Jika kita jeli memahami situasi terutama di tengah maraknya informasi palsu yang menyesatkan masyarakat, kehadiran media arus utama dapat menjadi rujukan publik karena beberapa argumentasi yang dapat dijelaskan.

Media Mainstream
Dalam Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 disebutkan penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.

Pada bagian lain UU Penyiaran secara khusus disebutkan pada pasal 4 bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan.

Asas yang termaktub dalam regulasi ini yang menjadi arah maupun tujuan televisi dan radio melalui aktivitas penyiaran yang dilakukan. Keberadaan media mainstream yang dibekali dengan perangkat regulasi yang jelas harusnya dapat memberi pencerahan publik sekaligus menangkal informasi yang tidak benar apalagi informasi yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Maraknya berita palsu di tengah suhu politik negeri yang meningkat karena bertepatan dengan penyelenggaraan pilkada di 101 daerah di Indonesia.

Beredarnya informasi bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang dengan mudah memicu konflik sosial di masyarakat yang plural. Medsos membangun sentimen antarperbedaan, mempertentangkan hal-hal yang berbeda—menjadi realitas kekinian yang meresahkan kita semua.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2010) sesungguhnya telah membuka kesadaran kita (baca: media mainstream) akan pentingnya sikap selektif, tidak mudah percaya begitu saja, apalagi menelan mentah-mentah berbagai informasi di era banjir informasi.

Publik apalagi media mainstream harus dapat mengedepankan pola pikir jurnalisme skeptis (skeptical knowing), memeriksa asal sumber, melakukan verifikasi atas bukti-bukti yang didapatkan. Dengan begitu, akurasi informasi media mainstream terjaga dan dipercaya publik. Ini jugalah yang menjadi pembeda media arus utama dengan jurnalisme baru.

Meskipun media mainstream melakukan framing atas peristiwa diberitakan, informasi media mainstream paling tidak bisa dipertanggungjawabkan dan publik pun menguji kebenaran informasi itu dengan indra mereka.

Informasi peristiwa media mainstream dapat dilihat dan didengar dengan indra sebagai suatu kebenaran. Contoh adanya peristiwa debat calon pemimpin daerah, ketika diberitakan media mainstream, publik bisa menguji kebenaran informasinya.

Namun berbeda dengan medsos, kita belum tahu informasi itu benar adanya atau tidak, apakah ada atau tidak peristiwanya, sumbernya dari mana, tujuannya apa, siapa yang bertanggung jawab—semua serba tidak jelas namun kita menerima informasi tersebut dengan tidak mengedepankan sikap selektif dan kritis lalu ikut menyebarkannya dengan proses copy paste lalu membagi kepada orang lain melalui gadget.

Saya tidak sedang bermaksud membanding-bandingkan antara media mainstream dengan media baru, karena fenomena itu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi komunikasi massa.

Namun, keberadaan media mainstream masih menjadi harapan besar untuk memberi pencerahan publik dengan kebenaran informasi disajikan, lebih bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika, menyejukkan masyarakat, merawat kebinekaan bangsa, dan membangun peradaban manusia jauh lebih beradab melalui informasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0254 seconds (0.1#10.140)