Suap, Suap, Suap
A
A
A
Prof Dr Sudjito SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum dan Tim Ahli Pusat Studi Pancasila UGM
MAMAD, takmir masjid dan teman ronda ini, geleng-geleng kepala. Sambil meneleng menyimak berita di televisi, dia bergumam: “ … ya jelas salah. Penyuap dan penerima suap masuk neraka. Kayaknya mereka orang-orang pinter, tetapi nyatanya bodoh. Kalau kelebihan uang, berikan kepada saya, … orang-orang kecil, miskin, duafa ini. Saya pasti kerja lebih giat, ngepel lantai lebih berkilau, nyapu pekarangan lebih bersih. Gak usah khawatir, KPK gak bakal mampir, aman, masuk surga …”
Itulah celotehan Mamad ketika ditayangkan berita tentang kasus suap yang menimpa mantan CEO PT Garuda Indonesia (persero) Emirsyah Satar. Dia ditetapkan sebagai tersangka, dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS.
Berdasarkan penyelidikan KPK, Emirsyah diduga menerima suap dari tersangka SS (beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd) dalam bentuk uang dan barang, yaitu uang masing-masing 1,2 juta euro dan USD180.000 atau setara Rp20 miliar. Selain itu, juga dalam bentuk barang senilai USD2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Tak berselang lama dari terkuaknya kasus suap itu, muncul kasus suap lain, tak kalah heboh. Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi (MK), terjerat operasi tangkap tangan bersama seorang wanita karena dugaan menerima suap dari DHR, bos pemilik 20 perusahaan impor daging sapi. Suap diduga terkait uji materi judicial review UU No 51 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK (25/1/17).
Gimin, si pedagang mobil bekas, pun terusik berkomentar: “Yaahh, … kalau sudah bisnis, itu gak ada kata suap-menyuap. Semua akur, tahu hukum adatnya. Uang dengar, uang lihat, uang persahabatan, itu ada. Masak gitu dianggap suap… waaah ini gimana, orang-orang atas itu kayak gak ngerti dunia bisnis saja”.
Itulah celotehan bernada emosional dari peronda lain. Suasana perondaan meriah dan tampak lebih akrab. Biasa, kadang-kadang ada yang sok pinter, dan berusaha menjelaskan duduk seleh-nya.
Namun, seperti biasanya, tak secuil pun pesan moral tayangan televisi mampu menumbuhkan sikap kritis dan lebih saleh. Cepat berganti berita, secepat itu pula perhatian beralih.
Kehidupan berjalan sebagaimana biasa. Mamad, Gimin, dan kawan-kawan lain pun tetap pada profesinya, bersih-bersih masjid, dagang, tanpa ada perubahan sikap dan karakter.
Pada hemat saya, substansi celotehan teman-teman peronda itu cukup berkualitas, dan pantas menjadi bahan kajian untuk peningkatan kualitas kehidupan bersama di negeri ini. Untuk diketahui bahwa hubungan antara hukum dan bisnis sangat erat.
Berbisnis dan sekaligus “membuat hukum” yang khas dan hanya berlaku di dunia perbisnisan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam di seantero jagat. Di Amerika Serikat misalnya ada megalawyering. Di situ praktik hukum dan praktik bisnis berkelindan.
Sosiolog hukum Marc Galanter (1983) menulis bahwa “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis, yaitu dengan getting things done daripada dengan meringankan penderitaan manusia dan menolong orang”. Itulah karena itu, pelayanan-pelayanan hukum menjadi berkualitas penembak bayaran (hired gun service orientation).
Dalam perspektif sosiologi hukum, antara hukum dan watak masyarakat terdapat pertalian organis. Tali perekat itu berupa kepercayaan. Hukum bisnis, bukan dibentuk oleh penguasa, melainkan tumbuh, berkembang, di dunia bisnis itu sendiri, berdasarkan pertimbangan keuntungan finansial, tanpa pernah mempertimbangkan moralitas hukum umum.
Fenomena bisnis seperti itu marak berlangsung, ketika kapitalisme di bidang ekonomi dan liberalisme di bidang politik berkelindan, berjalan seiring-sejalan. Praktik bisnis merasa nyaman bila terjauhkan dari hukum positif, campur tangan penguasa.
Pertemuan penjual dan pembeli, saling pengertian keduanya, menjadi garansi kelancaran bisnis. Kalaupun ada kontrak-kontrak tertulis, dan rambu-rambu hukum positif, semuanya digunakan sebatas formalitas. Pada ranah implementasi, berlaku “hukum adat”, yakni kebiasaan-kebiasaan dalam perbisnisan. Satu di antara kebiasaan itu adalah “suap” sebagai perekat bisnis.
Padahal, “suap” apa pun bentuk dan dinamikanya dilarang oleh hukum positif. Di situlah gap antara tradisi bisnis dan praktik hukum menganga lebar. Ketika aparat penegak hukum (KPK) tak mempan disuap, pelaku suap-menyuap dalam bisnis terkategorikan sebagai koruptor.
Moralitas hukum mengajarkan bahwa bisnis itu harus jujur, transparan, dan akuntabel. Kalau kita konsisten pada moralitas hukum, kapan uang atau barang dapat diberikan kepada pihak lain agar tak terkategorikan sebagai “suap”?
Menurut si Mamad, ketika pemberian itu untuk orang-orang miskin, fakir, duafa, dalam rangka berbagi rezeki dan upaya mengangkat martabat kemanusiaan orang lain, sehingga kerja dan prestasinya lebih bagus.
Pemberian kepada pejabat publik oleh mitra bisnis atau siapa pun, dilarang, karena selain melanggar hukum positif, juga melanggar moral. Kalau pendapat “orang kecil” tersebut diterima, secara diam-diam telah berlangsung penerimaan dan pengamalan “legisme Pancasila”, menggantikan “legisme liberal”.
Tetapi, praktik bisnis di perusahaan penerbangan Garuda, atau bisnis sapi di tingkat nasional, tampaknya justru mengikuti pendapat Gimin bahwa ada “uang dengar, uang lihat, uang persahabatan”, dan itu semua dianggap bukan “suap”. Di sinilah moralitas hukum ditinggalkan.
Alangkah indahnya bila kecintaan pada uang, harta benda, kekuasaan, diiringi ketaatan pada moralitas hukum. Silakan berlomba-lomba, berkolaborasi, bersinergi, menjadi pengusaha, penguasa, pebisnis, penegak hukum, asal moralitas hukum dipegang teguh. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum dan Tim Ahli Pusat Studi Pancasila UGM
MAMAD, takmir masjid dan teman ronda ini, geleng-geleng kepala. Sambil meneleng menyimak berita di televisi, dia bergumam: “ … ya jelas salah. Penyuap dan penerima suap masuk neraka. Kayaknya mereka orang-orang pinter, tetapi nyatanya bodoh. Kalau kelebihan uang, berikan kepada saya, … orang-orang kecil, miskin, duafa ini. Saya pasti kerja lebih giat, ngepel lantai lebih berkilau, nyapu pekarangan lebih bersih. Gak usah khawatir, KPK gak bakal mampir, aman, masuk surga …”
Itulah celotehan Mamad ketika ditayangkan berita tentang kasus suap yang menimpa mantan CEO PT Garuda Indonesia (persero) Emirsyah Satar. Dia ditetapkan sebagai tersangka, dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS.
Berdasarkan penyelidikan KPK, Emirsyah diduga menerima suap dari tersangka SS (beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd) dalam bentuk uang dan barang, yaitu uang masing-masing 1,2 juta euro dan USD180.000 atau setara Rp20 miliar. Selain itu, juga dalam bentuk barang senilai USD2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.
Tak berselang lama dari terkuaknya kasus suap itu, muncul kasus suap lain, tak kalah heboh. Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi (MK), terjerat operasi tangkap tangan bersama seorang wanita karena dugaan menerima suap dari DHR, bos pemilik 20 perusahaan impor daging sapi. Suap diduga terkait uji materi judicial review UU No 51 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK (25/1/17).
Gimin, si pedagang mobil bekas, pun terusik berkomentar: “Yaahh, … kalau sudah bisnis, itu gak ada kata suap-menyuap. Semua akur, tahu hukum adatnya. Uang dengar, uang lihat, uang persahabatan, itu ada. Masak gitu dianggap suap… waaah ini gimana, orang-orang atas itu kayak gak ngerti dunia bisnis saja”.
Itulah celotehan bernada emosional dari peronda lain. Suasana perondaan meriah dan tampak lebih akrab. Biasa, kadang-kadang ada yang sok pinter, dan berusaha menjelaskan duduk seleh-nya.
Namun, seperti biasanya, tak secuil pun pesan moral tayangan televisi mampu menumbuhkan sikap kritis dan lebih saleh. Cepat berganti berita, secepat itu pula perhatian beralih.
Kehidupan berjalan sebagaimana biasa. Mamad, Gimin, dan kawan-kawan lain pun tetap pada profesinya, bersih-bersih masjid, dagang, tanpa ada perubahan sikap dan karakter.
Pada hemat saya, substansi celotehan teman-teman peronda itu cukup berkualitas, dan pantas menjadi bahan kajian untuk peningkatan kualitas kehidupan bersama di negeri ini. Untuk diketahui bahwa hubungan antara hukum dan bisnis sangat erat.
Berbisnis dan sekaligus “membuat hukum” yang khas dan hanya berlaku di dunia perbisnisan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam di seantero jagat. Di Amerika Serikat misalnya ada megalawyering. Di situ praktik hukum dan praktik bisnis berkelindan.
Sosiolog hukum Marc Galanter (1983) menulis bahwa “profesi hukum lebih mementingkan fasilitas bisnis, yaitu dengan getting things done daripada dengan meringankan penderitaan manusia dan menolong orang”. Itulah karena itu, pelayanan-pelayanan hukum menjadi berkualitas penembak bayaran (hired gun service orientation).
Dalam perspektif sosiologi hukum, antara hukum dan watak masyarakat terdapat pertalian organis. Tali perekat itu berupa kepercayaan. Hukum bisnis, bukan dibentuk oleh penguasa, melainkan tumbuh, berkembang, di dunia bisnis itu sendiri, berdasarkan pertimbangan keuntungan finansial, tanpa pernah mempertimbangkan moralitas hukum umum.
Fenomena bisnis seperti itu marak berlangsung, ketika kapitalisme di bidang ekonomi dan liberalisme di bidang politik berkelindan, berjalan seiring-sejalan. Praktik bisnis merasa nyaman bila terjauhkan dari hukum positif, campur tangan penguasa.
Pertemuan penjual dan pembeli, saling pengertian keduanya, menjadi garansi kelancaran bisnis. Kalaupun ada kontrak-kontrak tertulis, dan rambu-rambu hukum positif, semuanya digunakan sebatas formalitas. Pada ranah implementasi, berlaku “hukum adat”, yakni kebiasaan-kebiasaan dalam perbisnisan. Satu di antara kebiasaan itu adalah “suap” sebagai perekat bisnis.
Padahal, “suap” apa pun bentuk dan dinamikanya dilarang oleh hukum positif. Di situlah gap antara tradisi bisnis dan praktik hukum menganga lebar. Ketika aparat penegak hukum (KPK) tak mempan disuap, pelaku suap-menyuap dalam bisnis terkategorikan sebagai koruptor.
Moralitas hukum mengajarkan bahwa bisnis itu harus jujur, transparan, dan akuntabel. Kalau kita konsisten pada moralitas hukum, kapan uang atau barang dapat diberikan kepada pihak lain agar tak terkategorikan sebagai “suap”?
Menurut si Mamad, ketika pemberian itu untuk orang-orang miskin, fakir, duafa, dalam rangka berbagi rezeki dan upaya mengangkat martabat kemanusiaan orang lain, sehingga kerja dan prestasinya lebih bagus.
Pemberian kepada pejabat publik oleh mitra bisnis atau siapa pun, dilarang, karena selain melanggar hukum positif, juga melanggar moral. Kalau pendapat “orang kecil” tersebut diterima, secara diam-diam telah berlangsung penerimaan dan pengamalan “legisme Pancasila”, menggantikan “legisme liberal”.
Tetapi, praktik bisnis di perusahaan penerbangan Garuda, atau bisnis sapi di tingkat nasional, tampaknya justru mengikuti pendapat Gimin bahwa ada “uang dengar, uang lihat, uang persahabatan”, dan itu semua dianggap bukan “suap”. Di sinilah moralitas hukum ditinggalkan.
Alangkah indahnya bila kecintaan pada uang, harta benda, kekuasaan, diiringi ketaatan pada moralitas hukum. Silakan berlomba-lomba, berkolaborasi, bersinergi, menjadi pengusaha, penguasa, pebisnis, penegak hukum, asal moralitas hukum dipegang teguh. Wallahualam.
(poe)