Kementerian Koordinator PMK Bertanggung Jawab Tangani Gizi Buruk
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi IX menilai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani bertanggung jawab atas penanganan gizi buruk di Indonesia yang tidak membaik.
Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati mengatakan, pemerintah tidak serius dalam menangani gizi buruk di Indonesia. Hal itu ditegaskan Okky berdasarkan laporan Global Nutrition pada tahun 2016 Indonesia berada di rangking 108 dunia atau di atas Laos (124) dan Timor Leste (132). Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga di ASEAN seperti Thailanda (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).
"Capaian ini sungguh memprihatinkan. Padahal target pemerintah pada tahun 2019 tidak ada lagi gizi buruk di Indonesia, tapi kenyataannya saat ini Indonesia hanya di atas Laos dan Timor Leste," ucapnya di Jakarta, Minggu 29 Januari 2017.
Dia mengatakan, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sebagai leading sector dalam menangani permasalah gizi buruk perlu segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk di Indonesia.
"Namun sayangnya, hingga dua tahun berjalan, belum ada langkah signifikan untuk mengatasi persoalan gizi buruk di Indonesia," kata Okky.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan penyebab muculnya persoalan gizi buruk cukup kompleks, mulai soal kemiskinan, edukasi dan budaya. Terkait kemiskinan, sambung Okky, hal itu masih menjadi masalah yang belum tuntas hingga saat ini, terlebih melambungnya harga pangan yang dinilainya akan menambah rentannya gizi buruk muncul di masyarakat.
"Sisi edukasi, pemerintah harus memasukkan kurikulum pendidikan yang tidak sekadar mengenalkan anatomi tubuh dan alat reproduksi saja. Tapi juga memberi pemahaman yang komprehensif soal fungsi dan permasalahan yang muncul di anatomi tubuh khususnya alat reproduksi," jelasnya.
Okky juga mengatakan, penyebab lainnya karena masih banyak anak remaja yang telah memiliki anak. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pada tahun 2016 ditargetkan angka remaja yang memiliki anak 38/1.000. Namun yang terjadi, target tersebut meleset karena terdapat 48/1.000 yang memiliki anak. Bahkan di Kalimantan Barat memiliki angka yang tinggi yakni 108/1.000 remaja.
"Saya mendorong setiap pemerintah daerah untuk memasukkan Kesejahteraan Keluarga pada NSPK (Norma Standar Prosedur Kriteria). Agar hal ini menjadi perhatian dan political will dari pemerintah," tambahnya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Komisi IX Dede Macan Yusuf yang meminta pemerintah dan semua pihak terkait untuk lebih memperhatikan kasus gizi buruk.
"Kondisi gizi buruk ini harus menjadi perhatian serius semua pihak," ucapnya saat dihubungi.
Dia juga mengatakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakan terhadap masalah ketahanan keluarga. "Saya masih melihat bahwa pemerintah belum memiliki keberpihakan pada masalah ketahanan keluarga khususnya masalah pemenuhan gizi bagi anak-anak dan balita," ungkapnya.
Ketidakberpihakan itu tecermin dari besarnya anggaran Direktorat Gizi di Kemenkes yang hanya sekitar 7% dari anggaran kesehatan sebesar Rp75 triliun dalam RAPBN 2016. Sedangkan anggaran BKKBN hanya berkisar di Rp102 miliar untuk RAPBN 2016.
"Masalah gizi dan kependudukkan adalah isu penting yang harus diprioritaskan. Karena kekayaan suatu negara adalah pada kualitas penduduknya," ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati mengatakan, pemerintah tidak serius dalam menangani gizi buruk di Indonesia. Hal itu ditegaskan Okky berdasarkan laporan Global Nutrition pada tahun 2016 Indonesia berada di rangking 108 dunia atau di atas Laos (124) dan Timor Leste (132). Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga di ASEAN seperti Thailanda (46) Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88), bahkan Kamboja (95).
"Capaian ini sungguh memprihatinkan. Padahal target pemerintah pada tahun 2019 tidak ada lagi gizi buruk di Indonesia, tapi kenyataannya saat ini Indonesia hanya di atas Laos dan Timor Leste," ucapnya di Jakarta, Minggu 29 Januari 2017.
Dia mengatakan, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sebagai leading sector dalam menangani permasalah gizi buruk perlu segera mengakselerasi kementerian dan lembaga terkait untuk mengkonkretkan target penghapusan permasalahan gizi buruk di Indonesia.
"Namun sayangnya, hingga dua tahun berjalan, belum ada langkah signifikan untuk mengatasi persoalan gizi buruk di Indonesia," kata Okky.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan penyebab muculnya persoalan gizi buruk cukup kompleks, mulai soal kemiskinan, edukasi dan budaya. Terkait kemiskinan, sambung Okky, hal itu masih menjadi masalah yang belum tuntas hingga saat ini, terlebih melambungnya harga pangan yang dinilainya akan menambah rentannya gizi buruk muncul di masyarakat.
"Sisi edukasi, pemerintah harus memasukkan kurikulum pendidikan yang tidak sekadar mengenalkan anatomi tubuh dan alat reproduksi saja. Tapi juga memberi pemahaman yang komprehensif soal fungsi dan permasalahan yang muncul di anatomi tubuh khususnya alat reproduksi," jelasnya.
Okky juga mengatakan, penyebab lainnya karena masih banyak anak remaja yang telah memiliki anak. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pada tahun 2016 ditargetkan angka remaja yang memiliki anak 38/1.000. Namun yang terjadi, target tersebut meleset karena terdapat 48/1.000 yang memiliki anak. Bahkan di Kalimantan Barat memiliki angka yang tinggi yakni 108/1.000 remaja.
"Saya mendorong setiap pemerintah daerah untuk memasukkan Kesejahteraan Keluarga pada NSPK (Norma Standar Prosedur Kriteria). Agar hal ini menjadi perhatian dan political will dari pemerintah," tambahnya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Komisi IX Dede Macan Yusuf yang meminta pemerintah dan semua pihak terkait untuk lebih memperhatikan kasus gizi buruk.
"Kondisi gizi buruk ini harus menjadi perhatian serius semua pihak," ucapnya saat dihubungi.
Dia juga mengatakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakan terhadap masalah ketahanan keluarga. "Saya masih melihat bahwa pemerintah belum memiliki keberpihakan pada masalah ketahanan keluarga khususnya masalah pemenuhan gizi bagi anak-anak dan balita," ungkapnya.
Ketidakberpihakan itu tecermin dari besarnya anggaran Direktorat Gizi di Kemenkes yang hanya sekitar 7% dari anggaran kesehatan sebesar Rp75 triliun dalam RAPBN 2016. Sedangkan anggaran BKKBN hanya berkisar di Rp102 miliar untuk RAPBN 2016.
"Masalah gizi dan kependudukkan adalah isu penting yang harus diprioritaskan. Karena kekayaan suatu negara adalah pada kualitas penduduknya," ujarnya.
(mhd)