Pendidikan Anti-Hoax
A
A
A
Jejen Musfah
Ketua Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta
PADA acara Maulid Nabi SAW di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu 8 Januari 2017, Presiden Jokowi menyatakan bahwa berita hasutan berpotensi memicu perpecahan anak bangsa.
Sehari kemudian, Kaporli Tito Karnavian menjelaskan, Senin 9 Januari 2017, bahwa Presiden akan membentuk Badan Cyber Nasional untuk menangani hoax yang merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi informasi.
Hoax adalah berita bohong yang bertujuan mendiskreditkan individu atau kelompok. Hoax jelas tidak bisa dibiarkan berkembang liar di tengah masyarakat karena berbahaya bagi kehidupan berbangsa yang aman dan damai.
Dampak negatif hoax yang dianggap kebenaran oleh individu atau kelompok tidak saja berskala retaknya hubungan individu, komunitas, bangsa, tetapi bahkan bisa menimbulkan perang antarbangsa. Pertama, hoax menimbulkan konflik horizontal, yaitu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain.
Orang memperoleh berita bohong dan memercayainya sebagai kebenaran. Hoax kerap berisi ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok sehingga digunakan untuk merendahkan atau menjatuhkan yang lain.
Heterogenitas agama dan politik masyarakat bisa terkoyak oleh hoax yang bertebaran di internet dan media sosial. Masyarakat plural tenggelam dalam kebencian satu sama lain karena percaya hoax sebagai kebenaran.
Masyarakat memercayai hoax tanpa tabayun, bahkan cekatan dan tanpa berpikir mendalam langsung menyebarkannya melalui media sosial sehingga menjadi viral. Kita mudah mengenali orangorang yang pikirannya dipenuhi kebencian terhadap orang lain yang berbeda agama dan partai politik itu saat ini.
Buktinya, tawuran antarwarga sering terjadi yang bermula dari berita bohong. Prabowo Subianto mengaku korban hoax.
Mendikbud Muhadjir mengalami kritik pedas dari anggota DPR dan masyarakat karena berita bohong mengenai kebijakan pendidikan yang beredar luas di media sosial dan media cetak sesaat setelah dia dilantik. Kedua, hoax menimbulkan konflik vertikal, yaitu masyarakat dengan pemerintah.
Pemerintah perlu dikritik ketika kebijakannya tidak prorakyat atau sewenang-wenang, tetapi harus dengan cara demokratis dan santun, bukan menebar hoax atau kekerasan. Bicara dan sikap seseorang harus berdasarkan pada data faktual yang sahih.
Masyarakat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan harus memakai akal sehat, bukan dengan otot, apalagi destruktif. Contoh, dugaan gambar palu arit dalam uang kertas baru.
Tenaga kerja asing ilegal asal Cina yang jumlahnya tidak pernah pasti karena data pemerintah berbeda dengan data masyarakat. Jika tidak segera diklarifikasi, kedua isu itu bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah atau sebaliknya.
Demikian pula sebaliknya, pemerintah tidak bisa serampangan dalam bertindak dan mengambil kebijakan yang berkaitan langsung dengan rakyat bawah. Kebijakan harus didasarkan pada data valid, bukan hoax.
Maka masyarakat tidak bingung karena perbedaan pendapat di antara unsur-unsur pemerintah. Misalnya, perbedaan pendapat antara Presiden, Menteri Keuangan, dan Kapolri dalam menyikapi kenaikan biaya pajak kendaraan bermotor.
Masing-masing seolah hendak “cuci tangan”, tidak mau dipersalahkan. Mereka harus padu dan senada dalam menyikapi kebijakan agar rakyat percaya kepada pemerintah dan tidak malah kecewa. Contoh lain, penangkapan sejumlah orang terkait isu makar menjelang Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 yang dianggap masyarakat tidak berdasar data yang benar.
Ketika pemerintah bertindak tegas terhadap penyebar hoax, bisa jadi pemerintah sendiri yang menggunakan hoax sebagai dasar dalam bertindak. Solusi dampak negatif hoax tersebut harus dicegah sedini mungkin agar konflik horizontal dan konflik vertikal tidak terjadi lagi, minimal bisa diminimalkan.
Jika tidak, hubungan antarmasyarakat serta hubungan rakyat dan negara selalu dipenuhi praduga dan kebencian. Akibatnya kondisi bangsa tidak tenteram, berisik penuh hoax dan saling tidak percaya.
Penetrasi hoax harus segera diredam dengan cara-cara yang demokratis. Pertama, sekolah dan universitas perlu melakukan sosialisasi pentingnya berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah kemampuan seseorang dalam menyaring berita benar atau bohong dan tidak mudah terprovokasi berita tertentu serta melakukan cek dan recek terhadap suatu berita. Hal itu mesti diimulai dari lembaga pendidikan karena hoax merasuki siapa saja tanpa peduli kaum terpelajar sekalipun.
Orang tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi yang ada di internet dan media sosial, sebab percaya hoax dan mudah menyebarkannya di media sosial tanpa berpikir sama jahatnya dengan pembuat hoax itu sendiri.
Sebelum menyebarkan sebuah berita, orang seharusnya sadar kebenaran suatu berita dan bagaimana dampaknya nanti. Berita sudah menjadi kebutuhan masyarakat dan diperlukan agar orang berwawasan luas serta mengetahui situasi dunianya.
Masalahnya, begitu banyak berita yang tersedia dan berasal dari ribuan sumber. Maka orang perlu cerdas memilih sumber berita online misalnya karena dari 4.000-an situs online, hanya 200-an saja yang terverifikasi sebagai berita online (pers) oleh Dewan Pers.
Sekali lagi, siswa dan mahasiswa bahkan guru dan dosen perlu disadarkan sejak dini akan pentingnya cerdas dalam membaca berita.
Kedua, pemerintah mengampanyekan pendidikan anti-hoax melalui media cetak dan media elektronik serta baliho agar masyarakat memahami pentingnya harmoni sosial dan mencegah bahaya hoax. Pembentukan Badan Cyber Nasional sangat tepat sepanjang tujuannya untuk mendidik masyarakat untuk berpikir kritis dan mencegah masifnya hoax bernada kebencian di tengah masyarakat.
Badan itu tidak boleh kontraproduktif, yaitu digunakan untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat bawah atau untuk menangkapi pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Kaum oposan yang kritis, bernalar sehat, dan cerdas diperlukan untuk mengingatkan pemerintah akan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan seluruh lapisan rakyat.
Negara ini sudah darurat hoax, saatnya menyelenggarakan pendidikan anti-hoax di semua lini kebangsaan yang majemuk ini.
Ketua Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta
PADA acara Maulid Nabi SAW di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu 8 Januari 2017, Presiden Jokowi menyatakan bahwa berita hasutan berpotensi memicu perpecahan anak bangsa.
Sehari kemudian, Kaporli Tito Karnavian menjelaskan, Senin 9 Januari 2017, bahwa Presiden akan membentuk Badan Cyber Nasional untuk menangani hoax yang merupakan konsekuensi dari kemajuan teknologi informasi.
Hoax adalah berita bohong yang bertujuan mendiskreditkan individu atau kelompok. Hoax jelas tidak bisa dibiarkan berkembang liar di tengah masyarakat karena berbahaya bagi kehidupan berbangsa yang aman dan damai.
Dampak negatif hoax yang dianggap kebenaran oleh individu atau kelompok tidak saja berskala retaknya hubungan individu, komunitas, bangsa, tetapi bahkan bisa menimbulkan perang antarbangsa. Pertama, hoax menimbulkan konflik horizontal, yaitu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain.
Orang memperoleh berita bohong dan memercayainya sebagai kebenaran. Hoax kerap berisi ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok sehingga digunakan untuk merendahkan atau menjatuhkan yang lain.
Heterogenitas agama dan politik masyarakat bisa terkoyak oleh hoax yang bertebaran di internet dan media sosial. Masyarakat plural tenggelam dalam kebencian satu sama lain karena percaya hoax sebagai kebenaran.
Masyarakat memercayai hoax tanpa tabayun, bahkan cekatan dan tanpa berpikir mendalam langsung menyebarkannya melalui media sosial sehingga menjadi viral. Kita mudah mengenali orangorang yang pikirannya dipenuhi kebencian terhadap orang lain yang berbeda agama dan partai politik itu saat ini.
Buktinya, tawuran antarwarga sering terjadi yang bermula dari berita bohong. Prabowo Subianto mengaku korban hoax.
Mendikbud Muhadjir mengalami kritik pedas dari anggota DPR dan masyarakat karena berita bohong mengenai kebijakan pendidikan yang beredar luas di media sosial dan media cetak sesaat setelah dia dilantik. Kedua, hoax menimbulkan konflik vertikal, yaitu masyarakat dengan pemerintah.
Pemerintah perlu dikritik ketika kebijakannya tidak prorakyat atau sewenang-wenang, tetapi harus dengan cara demokratis dan santun, bukan menebar hoax atau kekerasan. Bicara dan sikap seseorang harus berdasarkan pada data faktual yang sahih.
Masyarakat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan harus memakai akal sehat, bukan dengan otot, apalagi destruktif. Contoh, dugaan gambar palu arit dalam uang kertas baru.
Tenaga kerja asing ilegal asal Cina yang jumlahnya tidak pernah pasti karena data pemerintah berbeda dengan data masyarakat. Jika tidak segera diklarifikasi, kedua isu itu bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah atau sebaliknya.
Demikian pula sebaliknya, pemerintah tidak bisa serampangan dalam bertindak dan mengambil kebijakan yang berkaitan langsung dengan rakyat bawah. Kebijakan harus didasarkan pada data valid, bukan hoax.
Maka masyarakat tidak bingung karena perbedaan pendapat di antara unsur-unsur pemerintah. Misalnya, perbedaan pendapat antara Presiden, Menteri Keuangan, dan Kapolri dalam menyikapi kenaikan biaya pajak kendaraan bermotor.
Masing-masing seolah hendak “cuci tangan”, tidak mau dipersalahkan. Mereka harus padu dan senada dalam menyikapi kebijakan agar rakyat percaya kepada pemerintah dan tidak malah kecewa. Contoh lain, penangkapan sejumlah orang terkait isu makar menjelang Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 yang dianggap masyarakat tidak berdasar data yang benar.
Ketika pemerintah bertindak tegas terhadap penyebar hoax, bisa jadi pemerintah sendiri yang menggunakan hoax sebagai dasar dalam bertindak. Solusi dampak negatif hoax tersebut harus dicegah sedini mungkin agar konflik horizontal dan konflik vertikal tidak terjadi lagi, minimal bisa diminimalkan.
Jika tidak, hubungan antarmasyarakat serta hubungan rakyat dan negara selalu dipenuhi praduga dan kebencian. Akibatnya kondisi bangsa tidak tenteram, berisik penuh hoax dan saling tidak percaya.
Penetrasi hoax harus segera diredam dengan cara-cara yang demokratis. Pertama, sekolah dan universitas perlu melakukan sosialisasi pentingnya berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah kemampuan seseorang dalam menyaring berita benar atau bohong dan tidak mudah terprovokasi berita tertentu serta melakukan cek dan recek terhadap suatu berita. Hal itu mesti diimulai dari lembaga pendidikan karena hoax merasuki siapa saja tanpa peduli kaum terpelajar sekalipun.
Orang tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi yang ada di internet dan media sosial, sebab percaya hoax dan mudah menyebarkannya di media sosial tanpa berpikir sama jahatnya dengan pembuat hoax itu sendiri.
Sebelum menyebarkan sebuah berita, orang seharusnya sadar kebenaran suatu berita dan bagaimana dampaknya nanti. Berita sudah menjadi kebutuhan masyarakat dan diperlukan agar orang berwawasan luas serta mengetahui situasi dunianya.
Masalahnya, begitu banyak berita yang tersedia dan berasal dari ribuan sumber. Maka orang perlu cerdas memilih sumber berita online misalnya karena dari 4.000-an situs online, hanya 200-an saja yang terverifikasi sebagai berita online (pers) oleh Dewan Pers.
Sekali lagi, siswa dan mahasiswa bahkan guru dan dosen perlu disadarkan sejak dini akan pentingnya cerdas dalam membaca berita.
Kedua, pemerintah mengampanyekan pendidikan anti-hoax melalui media cetak dan media elektronik serta baliho agar masyarakat memahami pentingnya harmoni sosial dan mencegah bahaya hoax. Pembentukan Badan Cyber Nasional sangat tepat sepanjang tujuannya untuk mendidik masyarakat untuk berpikir kritis dan mencegah masifnya hoax bernada kebencian di tengah masyarakat.
Badan itu tidak boleh kontraproduktif, yaitu digunakan untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat bawah atau untuk menangkapi pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Kaum oposan yang kritis, bernalar sehat, dan cerdas diperlukan untuk mengingatkan pemerintah akan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu mencerdaskan dan menyejahterakan kehidupan seluruh lapisan rakyat.
Negara ini sudah darurat hoax, saatnya menyelenggarakan pendidikan anti-hoax di semua lini kebangsaan yang majemuk ini.
(poe)