Presidential Threshold 0%, Parpol Bersaing Lewat Figur Terbaik
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu terus digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu. Salah satu yang menjadi sorotan dalam pembahasan RUU Pemilu itu adalah penentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bagi setiap partai politik (parpol).
Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni meminta, elite politik yang selama ini mengendalikan kondisi dan situasi politik untuk melakukan instrospeksi diri. Ia menilai, para elite politik saat ini yang banyak berasal dari partai-partai besar gagal membawa perubahan.
"Parpol-parpol mainstream terlalu terbelenggu oleh kepentingan pragmatis sehingga tidak berani melakukan inovasi politik yang brilian," ujar Sya'roni ketika dihubungi, Senin (16/1/2017).
Ketakutan parpol besar itulah yang akhirnya menggiring kepada keputusan mencalonkan figur yang pragmatis untuk menjadi presiden. Menurut Sya'roni, munculnya parpol baru justru membuka kesempatan bagi semua parpol bisa mencalonkan figur terbaiknya, sehingga rakyat akan disuguhi banyak alternatif calon presiden.
"Parpol level menengah maupun kecil dipastikan akan memanfaatkan peluang ini dengan menampilkan figur terbaiknya," jelasnya.
Adanya presidential threshold pada pemilu presiden (pilpres) yang digelar serentak dengan pemilu legislatif (pileg) akan menghambat berkembangnya demokrasi khususnya partai-partai kecil yang ingin mengusung calon presiden. Padahal parpol-parpol ini telah lulus syarat sebagai peserta pemilu.
"Toh, untuk menjadi parpol sudah melewati sekian persyaratan yang super ketat. Parpol yang lolos sebagai peserta pemilu diyakini sudah mengakar kuat di lapisan masyarakat. Untuk itu, sangat tepat bila dalam Pilpres 2019 semua parpol diberi kesempatan menampilkan kandidatnya dan biarkanlah rakyat yang memilihnya," pungkasnya.
Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Sya'roni meminta, elite politik yang selama ini mengendalikan kondisi dan situasi politik untuk melakukan instrospeksi diri. Ia menilai, para elite politik saat ini yang banyak berasal dari partai-partai besar gagal membawa perubahan.
"Parpol-parpol mainstream terlalu terbelenggu oleh kepentingan pragmatis sehingga tidak berani melakukan inovasi politik yang brilian," ujar Sya'roni ketika dihubungi, Senin (16/1/2017).
Ketakutan parpol besar itulah yang akhirnya menggiring kepada keputusan mencalonkan figur yang pragmatis untuk menjadi presiden. Menurut Sya'roni, munculnya parpol baru justru membuka kesempatan bagi semua parpol bisa mencalonkan figur terbaiknya, sehingga rakyat akan disuguhi banyak alternatif calon presiden.
"Parpol level menengah maupun kecil dipastikan akan memanfaatkan peluang ini dengan menampilkan figur terbaiknya," jelasnya.
Adanya presidential threshold pada pemilu presiden (pilpres) yang digelar serentak dengan pemilu legislatif (pileg) akan menghambat berkembangnya demokrasi khususnya partai-partai kecil yang ingin mengusung calon presiden. Padahal parpol-parpol ini telah lulus syarat sebagai peserta pemilu.
"Toh, untuk menjadi parpol sudah melewati sekian persyaratan yang super ketat. Parpol yang lolos sebagai peserta pemilu diyakini sudah mengakar kuat di lapisan masyarakat. Untuk itu, sangat tepat bila dalam Pilpres 2019 semua parpol diberi kesempatan menampilkan kandidatnya dan biarkanlah rakyat yang memilihnya," pungkasnya.
(kri)