Payung Hukum Fintech

Kamis, 12 Januari 2017 - 07:27 WIB
Payung Hukum Fintech
Payung Hukum Fintech
A A A
LAYANAN keuangan berbasis teknologi informatika (TI) yang lebih akrab di telinga dengan sebutan financial technology (fintech) terus bertumbuh.

Mengantisipasi ihwal yang tak diinginkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan kebijakan terkait fintech di bidang layanan peer to peer (P2P) lending untuk yang menawarkan kemudahan pembiayaan.

P2P lending adalah sebuah kegiatan meminjamkan uang kepada suatu pihak lewat perusahaan fintech sebagai jembatan antara pemilik modal dan penerima pinjaman. Peraturan OJK (POJK) terkait P2P lending yang ditandatangani akhir tahun lalu memuat berbagai aspek yang meliputi kelembagaan, produk, hingga penyelenggaraan fintech.

Intinya, POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tersebut untuk melindungi konsumen terkait keamanan dana dan data, pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, stabilitas sistem keuangan, hingga para pengelola perusahaan fintech.

Sehubungan dengan itu, OJK memberi kesempatan penyedia jasa layanan pinjaman berbasis TI melakukan registrasi keanggotaan selama enam bulan ke depan. OJK mewajibkan penyedia layanan membuat escrow account dan virtual account di perbankan, dan data center yang ditempatkan di Indonesia.

Selain itu, penyedia layanan juga wajib melampirkan bukti kepemilikan modal minimal sebesar Rp1 miliar saat pendaftaran, dan modal tersebut meningkat menjadi sebesar Rp2,5 miliar saat mengajukan izin.

Lalu, berapa batas pinjaman yang bisa disalurkan? Atas nama perlindungan kepentingan stabilitas sistem keuangan, OJK membatasi maksimal pinjaman hingga sebesar Rp2 miliar dalam mata uang rupiah per debitur.

Dengan ada aturan yang jelas, Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK Imansyah optimistis bisa meminimalisasi pengoperasian perusahaan fintech yang abal-abal karena bisa ditangkal lewat regulasi yang ada.

Dengan demikian, diharapkan perusahaan fintech yang bergerak di layanan P2P lending dapat berkontribusi dalam mempercepat distribusi pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke berbagai daerah. Meski untuk sementara fintech yang melayani P2P lending tidak ada kewajiban mendaftarkan usahanya di OJK.

Dalam urusan besaran bunga pinjaman, OJK sama sekali tidak menyentuhnya. Penetapan besaran bunga pinjaman bergantung kesepakatan antara kreditur dan debitur dengan alasan bisnis P2P lending memiliki risiko kredit yang tinggi.

Sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 pada Pasal 17, soal besaran bunga pinjaman, penyelenggara memberikan masukan kepada pemberi dan penerima pinjaman dengan pertimbangan kewajaran dalam perkembangan perekonomian nasional. Walau tidak mencampuri penetapan besaran bunga pinjaman, OJK tetap mengingatkan perusahaan fintech memastikan bunga secara rasional.

Selain mengatur seputar penyelenggaraan fintech terkait layanan P2P lending, OJK juga memperjelas soal kepemilikan saham. Ditegaskan pada Pasal 3 bahwa kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, maksimal 85%. Dan, pihak asing hanya diizinkan sebagai pemberi pinjaman.

Jadi, perusahaan fintech asing yang akan beroperasi di Indonesia harus melakukan divestasi hingga batas kepemilikan maksimal 85%. Untuk mengatur lebih detail penyelenggaraan fintech, OJK sedang menggodok sejumlah aturan pendukung yang diharapkan menjadi aturan main yang jelas bagi para pihak terkait.

Secara global pertumbuhan perusahaan fintech begitu pesat, di mana China tercatat sebagai pemain utama. Setidaknya terlihat dari indikator nilai investasi dari modal ventura yang masuk ke perusahaan fintech.

Pada akhir 2015 tercatat tak kurang dari USD13,8 miliar atau sekitar Rp186,9 triliun dana mengalir ke perusahaan fintech. Sejumlah perusahaan fintech telah bernilai di atas USD1 miliar kerap disebut “unicorn”.

Perusahaan fintech memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan bank konvensional. Di antaranya, lebih efisien karena mampu menekan biaya operasional sehingga dapat menyalurkan pinjaman lebih murah. Dan, perusahaan fintech tumbuh subur di kawasan Asia yang jumlahnya diperkirakan telah mencapai 2.500 yang sangat berpotensi menggerus pasar perbankan konvensional.

Pertumbuhan perusahaan fintech di Indonesia juga melesat. Sepanjang tahun lalu telah meningkat hampir sebanyak tiga kali lipat, dari 51 perusahaan pada kuartal pertama menjadi 135 perusahaan pada triwulan keempat.

Pertumbuhan yang supercepat tersebut memang harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyiapkan payung hukum sebelum terjadi kekacauan. Untuk perlindungan baik terhadap konsumen maupun perusahaan fintech itu sendiri.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4342 seconds (0.1#10.140)