Hukum dan Politik

Senin, 09 Januari 2017 - 09:55 WIB
Hukum dan Politik
Hukum dan Politik
A A A
Janedjri M Gaffar
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Perkara penistaan agama yang didakwakan kepada salah satu calon gubernur Jakarta telah menyedot perhatian sangat besar dari masyarakat Indonesia. Bahkan dikhawatirkan mulai mengganggu kohesi sosial masyarakat Indonesia.

Namun dari sisi kajian hubungan antara hukum dan politik, peristiwa itu menjadi fenomena nyata hubungan antara hukum dan politik yang sejatinya sudah ada, namun sering kali tidak diharapkan dan cenderung dihindari untuk dibicarakan dan dikaji.

Hubungan hukum dan politik yang paling banyak diajarkan dan dikaji adalah dari dua aspek, yaitu dari aspek peran dan substansi. Ajaran hukum klasik menyatakan bahwa hukum membutuhkan peran politik, demikian pula sebaliknya.

Hukum tanpa politik akan lumpuh karena tidak memiliki kekuasaan politik untuk menegakkannya. Sebaliknya, politik tanpa hukum akan buta, karena tidak punya acuan-acuan normatif ke mana kekuasaan harus diarahkan.

Dari sisi substansi, terjadi tolak tarik antara hukum dan politik. Mana yang merupakan variabel bebas (independent variable) dan mana yang merupakan variabel terikat (dependent variable).

Tolak tarik itu berujung pada kesimpulan bahwa antara hukum dan politik saling memengaruhi. Untuk mencegah dominasi salah satu aspek maka baik prinsip negara hukum maupun prinsip negara demokrasi perlu diterapkan bersama-sama.

Hal ini menghasilkan konsep negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum. Hukum harus dibuat secara demokratis, demokrasi harus dijalankan berdasarkan hukum.

Hukum sebagai alat kompetisi politik
Aspek ketiga adalah aspek praktikal, yaitu hukum digunakan sebagai alat atau senjata dalam kompetisi politik. Politik demokrasi untuk merebut dan mempengaruhi suara rakyat idealnya memang dilakukan dengan beradu visi, misi, program kerja, serta rekam jejak kinerja maupun integritas. Namun, praktik politik dapat dan kadang kala tergelincir dengan menghalalkan segala cara, salah satunya adalah menggunakan proses hukum untuk kepentingan politik.

Target proses hukum sebagai alat politik bisa bermacam-macam, dari sekadar menguras energi sampai membunuh karier politik. Jika hanya mengganggu atau menguras energi politik, tentu cukup dengan perkara biasa atau bahkan ringan seperti pemalsuan atau tindak pidana ringan lainnya.

Sasarannya bukan vonis hukuman, melainkan proses hukum berkepanjangan yang tentu juga akan menurunkan popularitas dan elektabilitas. Jika untuk membunuh lawan politik, tentu kasusnya harus besar, misalnya korupsi atau narkoba. Sasarannya adalah vonis hukuman berat disertai dengan hukuman tambahan pencabutan hak politik.

Ungkapan hukum sebagai alat politik memang tidak pernah dideskripsikan secara terbuka karena memang tidak dapat dibuktikan secara hukum. Namun, hukum sebagai alat politik selalu menyertai pembicaraan dan analisis terhadap kasus-kasus besar atau yang melibatkan elite-elite politik.

Setidaknya hal ini dapat ditangkap dari beberapa narapidana yang hingga selesai menjalani hukuman masih berkeyakinan bahwa dia adalah korban politik, walaupun dapat saja hal itu dilihat sebagai perspektif subyektif. Fenomena lain adalah munculnya istilah tebang pilih. Siapa yang dipilih untuk ditebang adalah lawan politik yang akan berkompetisi.

Tidak Dapat Dihindarkan
Digunakannya hukum sebagai alat politik tampaknya tidak dapat dihindarkan, setidaknya pada tataran perspektif subjektif. Hukum berlaku sama terhadap setiap orang tanpa memandang siapa dan kasus apa.

Pada saat elite politik dilaporkan dan memang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan, tentu harus diproses secara hukum tanpa melihat apa motivasi pelapor. Bahkan, seandainya pun pelapor atau proses hukum yang dijalankan sama sekali tidak ada motif politik, tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik lawan.

Ada dua macam pola penggunaan hukum sebagai alat politik jika dilihat dari sisi perkara hukumnya. Pertama, adalah memang sudah ada modal perkara hukum seseorang.

Di era ini kemungkinan elite politik memiliki perkara hukum di masa lalu sangat besar, mengingat sistem dan kultur politik dan birokrasi masa lalu yang memang membuat hanya mereka yang terlibat dalam suatu perkaralah yang dapat bertahan. Sangat sedikit elite politik yang benar-benar bersih.

Dalam kondisi ini, siapa yang menguasai data dan informasi paling banyak akan memiliki senjata paling banyak untuk menundukkan lawan-lawan politiknya. Namun karena secara umum semua hidup di era yang sama dan memiliki informasi yang sama, maka yang terjadi adalah saling menyandera antara satu elite dan elite lainnya.

Pola kedua, dapat saja suatu kasus atau perkara diciptakan. Inilah yang disebut sebagai kriminalisasi untuk tujuan politik. Pola ini memang masih sangat jarang terjadi, walaupun beberapa pihak sudah merasa sebagai korban kriminalisasi.

Benteng Hukum
Jika memang tidak dapat dihindarkan, apakah boleh begitu saja hukum dijadikan sebagai alat politik? Tentu saja tidak, tetapi juga tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Hukum berurusan dengan bersalah atau tidaknya seseorang, apakah suatu tindak pidana telah terjadi atau tidak, dan keharusan memberikan hukuman jika seseorang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Tentang hal itu dilakukan oleh pelapor atau dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, hal itu dapat saja terjadi. Orang lain juga dapat melakukan hal yang sama dan mengambil keuntungan dari perkara hukum yang menjerat lawan politiknya. Kalaupun dipersoalkan, hal itu lebih merupakan masalah etika politik individual.

Yang penting dalam hubungan ini adalah jangan sampai terjadi menyatakan bersalah dan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Jangan sampai terjadi proses hukum menyatakan bersalah dan menghukum seseorang karena melakukan perbuatan yang sama sekali tidak pernah dilakukan.

Dalam ajaran hukum klasik hal ini diungkapkan dalam adagium “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Agar hukum tidak disalahgunakan oleh politik untuk menghukum orang yang tidak bersalah, benteng yang harus selalu dijaga adalah independensi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, serta kemerdekaan peradilan.

Boleh saja seseorang dilaporkan atas suatu tindak pidana, namun jika polisi dan jaksa yang independen menilai tidak ada tindak pidana dan kesalahan yang dilakukan, tentu tidak akan ada yang dapat dijadikan sebagai alat politik. Kalaupun proses hukum telah berjalan, masih ada hakim yang merdeka dan akan memutus kasus secara objektif tanpa mempertimbangkan pertarungan politik dibalik kasus itu.

Benteng kedua yang tidak boleh runtuh bersamaan dengan independensi aparat penegak hukum dan kemerdekaan peradilan adalah asas praduga tak bersalah. Dengan asas ini, setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Atas dasar asas ini, setiap orang masih memiliki hak politik dan jika memang tidak bersalah tidak perlu merasa khawatir berlebihan atas kasus hukum yang sedang dijalani.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)