Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK Belum Konkret
A
A
A
JAKARTA - Reshuffle Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK), dianggap tidak banyak bermakna, karena kebijakan yang digulirkan tidak mengkonkretkan spirit Nawacita.
"Berapa kali pun reshuffle tidak akan bermakna banyak, karena yang penting arah kebijakannya dulu dibenarkan," kata Ketua Bidang Politik dan Kebijakan Publik Partai Perindo, M Yamin Tawary, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (3/12/2016).
M Yamin mengungkapkan, sebaiknya Jokowi memperbaiki arah kebijakannya yang tidak menguntungkan bangsa, terutama kepentingan untuk rakyat Indonesia.
Keikutsertaan Indonesia di pasar bebas lewat pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) contohnya, dalam pandangan Yamin, tidak cocok karena menciptakan permasalahan krusial di dalam negeri.
"Pasar bebas MEA dibuka, tapi industri kita masih lemah untuk bersaing dengan luar. Tenaga kerja kita pun masih kekurangan lapangan kerja dan menganggur, sementara tenaga asing bebas masuk dan bekerja. Kebijakan seperti ini harus diubah strateginya agar berpihak pada rakyat," ucap Yamin.
Yamin mengatakan, bongkar pasang menteri tidak akan menjadi faktor yang bisa meningkatkan kinerja Pemerintahan Jokowi-JK memimpin Indonesia.
"Jokowi harus konsisten dengan Nawacita, dengan kebijakan yang benar-benar terlihat sesuai dengan spirit Nawacita. Kuncinya tetap di Jokowi mau merealisaskannya atau tidak dengan kewenangannya," tutur Yamin.
Di sisi lain, pakar psikologi politik Dewi Taviana Walida Haroen mengungkapkan, Presiden Jokowi harus mempertimbangkan kembali niat me-reshuffle Kabinet Kerja. Jika reshuffle direalisasikan, maka berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat.
Sementara para menteri membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menunjukkan hasil kerja memuaskan.
"Para menteri masih membutuhkan waktu untuk menunjukkan kinerjanya kepada masyarakat, karena belum setahun dari reshuffle terakhir, sekarang sudah mau di-reshuffle lagi. Bongkar pasang ini akan membuat kepercayaan publik menurun," kata dia.
"Berapa kali pun reshuffle tidak akan bermakna banyak, karena yang penting arah kebijakannya dulu dibenarkan," kata Ketua Bidang Politik dan Kebijakan Publik Partai Perindo, M Yamin Tawary, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (3/12/2016).
M Yamin mengungkapkan, sebaiknya Jokowi memperbaiki arah kebijakannya yang tidak menguntungkan bangsa, terutama kepentingan untuk rakyat Indonesia.
Keikutsertaan Indonesia di pasar bebas lewat pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) contohnya, dalam pandangan Yamin, tidak cocok karena menciptakan permasalahan krusial di dalam negeri.
"Pasar bebas MEA dibuka, tapi industri kita masih lemah untuk bersaing dengan luar. Tenaga kerja kita pun masih kekurangan lapangan kerja dan menganggur, sementara tenaga asing bebas masuk dan bekerja. Kebijakan seperti ini harus diubah strateginya agar berpihak pada rakyat," ucap Yamin.
Yamin mengatakan, bongkar pasang menteri tidak akan menjadi faktor yang bisa meningkatkan kinerja Pemerintahan Jokowi-JK memimpin Indonesia.
"Jokowi harus konsisten dengan Nawacita, dengan kebijakan yang benar-benar terlihat sesuai dengan spirit Nawacita. Kuncinya tetap di Jokowi mau merealisaskannya atau tidak dengan kewenangannya," tutur Yamin.
Di sisi lain, pakar psikologi politik Dewi Taviana Walida Haroen mengungkapkan, Presiden Jokowi harus mempertimbangkan kembali niat me-reshuffle Kabinet Kerja. Jika reshuffle direalisasikan, maka berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat.
Sementara para menteri membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menunjukkan hasil kerja memuaskan.
"Para menteri masih membutuhkan waktu untuk menunjukkan kinerjanya kepada masyarakat, karena belum setahun dari reshuffle terakhir, sekarang sudah mau di-reshuffle lagi. Bongkar pasang ini akan membuat kepercayaan publik menurun," kata dia.
(maf)