Hasyim Muzadi Ungkap Dua Dimensi Mayoritas dan Minoritas
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal International Conference Of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi menyampaikan refleksi akhir tahun 2016. Kesenjangan mayoritas dan minoritas menjadi poin penting yang ditekankan ICIS.
Hasyim mengatakan, hampir setiap hari selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas. Pada umumnya esensinya agar mayoritas melakukan toleransi bahkan perlindungan terhadap minoritas. Kalau tidak dilakukan, selalu ditempatkan pada posisi intoleran dan tidak Bhinneka Tunggal Ika.
”Padahal fakta mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua dimensi,” kata Hasyim dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat 30 Desember 2016.
Dimensi yang dimaksud Hasyim, mayoritas dan minoritas dilihat dari jumlah dan dari segi potensi dan peranan di Indonesia.
Biasanya menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi maka artinya adalah pribumi. Sedangkan jika ditinjau dari segi keagamaan yang dimaksud adalah umat Islam. Dengan demikian, selebihnya disebut minoritas.
Sehubungan dengan sistem ketatanegaraan yang masih liberalistik, ungkap Hasyim, dalam politik yang justru membuahkan sub-sistem ekonomi yang sentralistik, terjadilah mayoritas dalam jumlah, baik tinjauan populasi maupun agama berposisi sebagai minoritas di bidang kemampuan ekonomi, bahkan kemampuan tata kelola nasional atau internasional.
“Dalam konteks ini, minoritas mempunyai potensi ekonomi jauh lebih besar dibanding dengan mayoritas,” kata Pengasuh Pesantren Al-Hikam Depok dan Malang ini.
Pertanyaannya sekarang, lanjut Hasyim, mayoritas dalam populasi dan agama relatif telah melakukan toleransi dan perlindungan sekalipun tentu belum optimal karena terjadinya pergesekan di sana-sini.
Yang belum terlihat di Indonesia, kata dia, toleransi minoritas yang berkekuatan mayoritas di bidang ekonomi dan perananan membagi toleransinya kepada mayoritas yang rendah potensinya.
Hasyim mengakui toleransi di bidang ekonomi dan peranan global tidak mungkin terjadi tanpa usaha keras dari negara dan bangsa.
"Kita sulit menunggu terjadinya homo homini sosius (ekonomi berwatak sosial) karena pada hakikatnya ekonomi itu bersifat homo homini lupus (eksploitasi dari ekonomi kuat kepada ekonomi yang lemah)," tuturnya.
Namun demikian, Hasyim mengingatkan ada tiga syarat besar dan berat untuk menciptakan homo homini sosius di bidang ekonomi.
Pertama, sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan konstitusi serta perangkat aturan perundangan di Indonesia yang menjamin terselenggaranya pemerataan ekonomi.
Kedua, penyelenggara negara yang konsisten dalam menjalankan jalur-jalur pemerataan tersebut. Hal tersebut dinilainya tidak mudah karena menyangkut masalah kepentingan dan masalah keinginan seseorang menumpuk kekayaan.
Ketiga, kesiapan mental ekonomi kerakyatan, skill, dan kesempatan yang sama di dalam mencari rezeki serta perlindungan usaha-usahah kecil. “Tiga hal tersebut yang merupakan syarat mutlak pemerataan dan kemakmuran masih terlihat sangat dini di Indonesia,” paparnya.
Dia menambahkan ekonomi global yang sebelum 1992 masih terbagi menjadi Blok Timur yang proletar dan Blok Barat yang kapitalistik sudah usai.
"Yang terjadi sekarang setelah selesainya perang dingin, Barat dan Timur bersatu dalam monopolar (satu pola pemikiran) tidak lagi bipolar yang bertentangan antara proletariat sosialis dan kapitalistik imperialis," kata Hasyim.
Bersatunya kedua kutub ini, menurut dia, disatukan oleh filsafat materialisme yang sesungguhnya merupakan induk dan akar yang sama dari dua kutub kapitalis dan proletariat.
Hasyim menyebut China misalnya. Semula negara ini mendengungkan proletariatisme, sekarang meloncat menjadi investor-investor dan agresi ekonomi ke seluruh negara yang hampir mengalahkan Amerika.
Menurut dia, agresi Barat dan Timur yang besatu mencari sumber-sumber ekonomi dunia tentu menjadikan negara-negara yang berpotensi energi, tanah, dan air menjadi sasarannya, termasuk Indonesia.
Hasyim mengatakan, di mana posisi Indonesia di dalam perebutan potensi ekonomi tersebut, dan ketahanan Indonesia sehingga Indonesia tetap milik Indonesia.
”Semoga Allah melindungi kita semua. Amin,” kata mantan Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Hasyim mengatakan, hampir setiap hari selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas. Pada umumnya esensinya agar mayoritas melakukan toleransi bahkan perlindungan terhadap minoritas. Kalau tidak dilakukan, selalu ditempatkan pada posisi intoleran dan tidak Bhinneka Tunggal Ika.
”Padahal fakta mayoritas dan minoritas di Indonesia ada dua dimensi,” kata Hasyim dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat 30 Desember 2016.
Dimensi yang dimaksud Hasyim, mayoritas dan minoritas dilihat dari jumlah dan dari segi potensi dan peranan di Indonesia.
Biasanya menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi maka artinya adalah pribumi. Sedangkan jika ditinjau dari segi keagamaan yang dimaksud adalah umat Islam. Dengan demikian, selebihnya disebut minoritas.
Sehubungan dengan sistem ketatanegaraan yang masih liberalistik, ungkap Hasyim, dalam politik yang justru membuahkan sub-sistem ekonomi yang sentralistik, terjadilah mayoritas dalam jumlah, baik tinjauan populasi maupun agama berposisi sebagai minoritas di bidang kemampuan ekonomi, bahkan kemampuan tata kelola nasional atau internasional.
“Dalam konteks ini, minoritas mempunyai potensi ekonomi jauh lebih besar dibanding dengan mayoritas,” kata Pengasuh Pesantren Al-Hikam Depok dan Malang ini.
Pertanyaannya sekarang, lanjut Hasyim, mayoritas dalam populasi dan agama relatif telah melakukan toleransi dan perlindungan sekalipun tentu belum optimal karena terjadinya pergesekan di sana-sini.
Yang belum terlihat di Indonesia, kata dia, toleransi minoritas yang berkekuatan mayoritas di bidang ekonomi dan perananan membagi toleransinya kepada mayoritas yang rendah potensinya.
Hasyim mengakui toleransi di bidang ekonomi dan peranan global tidak mungkin terjadi tanpa usaha keras dari negara dan bangsa.
"Kita sulit menunggu terjadinya homo homini sosius (ekonomi berwatak sosial) karena pada hakikatnya ekonomi itu bersifat homo homini lupus (eksploitasi dari ekonomi kuat kepada ekonomi yang lemah)," tuturnya.
Namun demikian, Hasyim mengingatkan ada tiga syarat besar dan berat untuk menciptakan homo homini sosius di bidang ekonomi.
Pertama, sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan konstitusi serta perangkat aturan perundangan di Indonesia yang menjamin terselenggaranya pemerataan ekonomi.
Kedua, penyelenggara negara yang konsisten dalam menjalankan jalur-jalur pemerataan tersebut. Hal tersebut dinilainya tidak mudah karena menyangkut masalah kepentingan dan masalah keinginan seseorang menumpuk kekayaan.
Ketiga, kesiapan mental ekonomi kerakyatan, skill, dan kesempatan yang sama di dalam mencari rezeki serta perlindungan usaha-usahah kecil. “Tiga hal tersebut yang merupakan syarat mutlak pemerataan dan kemakmuran masih terlihat sangat dini di Indonesia,” paparnya.
Dia menambahkan ekonomi global yang sebelum 1992 masih terbagi menjadi Blok Timur yang proletar dan Blok Barat yang kapitalistik sudah usai.
"Yang terjadi sekarang setelah selesainya perang dingin, Barat dan Timur bersatu dalam monopolar (satu pola pemikiran) tidak lagi bipolar yang bertentangan antara proletariat sosialis dan kapitalistik imperialis," kata Hasyim.
Bersatunya kedua kutub ini, menurut dia, disatukan oleh filsafat materialisme yang sesungguhnya merupakan induk dan akar yang sama dari dua kutub kapitalis dan proletariat.
Hasyim menyebut China misalnya. Semula negara ini mendengungkan proletariatisme, sekarang meloncat menjadi investor-investor dan agresi ekonomi ke seluruh negara yang hampir mengalahkan Amerika.
Menurut dia, agresi Barat dan Timur yang besatu mencari sumber-sumber ekonomi dunia tentu menjadikan negara-negara yang berpotensi energi, tanah, dan air menjadi sasarannya, termasuk Indonesia.
Hasyim mengatakan, di mana posisi Indonesia di dalam perebutan potensi ekonomi tersebut, dan ketahanan Indonesia sehingga Indonesia tetap milik Indonesia.
”Semoga Allah melindungi kita semua. Amin,” kata mantan Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
(dam)