Gus Dur Memang Begitu Orangnya
A
A
A
Moh. Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
HARI ini tujuh tahun yang lalu, tepatnya tanggal 31 Desember 2009 Presiden Republik Indonesia yang keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, setelah sehari sebelumnya (30 Desember 2009) dinyatakan wafat. Jutaan orang mengantar kepergian Gus Dur saat dikuburkan.
Ada yang melepasnya dari pinggir jalan saat peti janazah lewat, ada yang hadir ke tempat pemakaman. Di sepanjang jalan dari Ciganjur menuju bandara Jakarta orang berjubel ikut melepas mobil yang membawa jenazah Gus Dur. Begitu juga di sepanjang jalan dari bandara Surabaya menuju Jombang penuh sesak dengan warga masyarakat.
Ada yang mengumandangkan takbir, ada yang berteriak histeris menyebut nama Gus Dur. Di jalan raya yang dilewati mobil janazah Gus Dur antara Sidoarjo sampai Jombang, murid-murid, para guru, pekerja berjubel memenuhi jalan sambil bertakbir dan bertahlil. Mereka melambaikan bendera merah putih dan gambar Gus Dur sambil berteriak, “Allahu akbar, Allahummaghfir lahu”.
Pemerintah Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disertai para menteri, Panglima TNI, dan Kapolri ikut mengantar Gus Dur ke peristirahatannya yang terakhir. Presiden sebagai kepala negara melepas Gus Dur dengan sambutan yang diucapkan di tepi liang lahat. Dalam sambutannya, selain menyebut jasa-jasa dan perjuangan Gus Dur, Presiden mengatakan secara eksplisit bahwa Gus Dur adalah Bapak Toleransi Indonesia.
Rasa hormat dan kenangan berjuta-juta orang terhadap Gus Dur sangat riil dan otentik. Sampai sekarang pun makam Gus Dur selalu dikunjungi masyarakat yang ingin memberi hormat. Yang berkunjung ke sana bukan hanya warga NU dan kaum muslimin tetapi juga para pemeluk agama-agama lain, termasuk orang-orang dari luar negeri seperti duta besar negara sahabat.
Acara-acara mengenang Gus Dur dengan, misalnya happening art atau haul (peringatan hari wafat) sampai sekarang selalu dilakukan masyarakat dan selalu dihadiri sangat banyak orang. Pada saat persatuan dalam perbedaan kita agak terganggu seperti sekarang ini masyarakat dengan berbagai medianya mengajak kita mengingat Gus Dur yang sampai akhir hayat selalu menyerukan toleransi sebagai prinsip dan metode merawat NKRI.
Saya beruntung karena sejak diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Gus Dur bisa banyak belajar sekaligus melakukan observasi sendiri atas sepak terjang Gus Dur.
Gus Dur itu tak suka pada formalitas protokoler. Kalau memberi arahan tidak mendikte bawahan melainkan mengajak berdiskusi, atau, Beliau bercerita tentang pengalamannya, atau, melalui cerita-cerita humor yang kemudian bisa dipetik maksud tentang arah kebijakannya.
Meski begitu Gus Dur juga bisa berlaku tegas. Gus Dur bisa memberhentikan orang-orang dekatnya dari jabatan penting dengan enteng tanpa bermusuhan. Kehebohan pemberhentian Wiranto dan Hamzah Haz bisa dicatat sebagai contoh.
Saat melakukan kunjungan ke luar negeri, berbarengan dengan isu pelanggaran HAM, Gus Dur mengatakan akan memberhentikan Menko Polkam Wiranto. Masyarakat pun heboh, apalagi informasi pemberhentian tersebut disampaikan dari dalam pesawat kepresidenan. Masyarakat ribut bertanya, apa masalah persisnya. Wiranto pun tampak tidak tahu persis, apa persoalannya.
Sepulang Presiden dari luar negeri, Menko Polkam Wiranto menemui Presiden dan bertanya, apa betul dirinya akan diberhentikan dan kalau betul apa alasannya. Dirinya akan loyal dan patuh pada Presiden.
Pengacara kondang Adnan Buyung Nasution juga ikut menanyakan, apa alasan persisnya Wiranto akan diberhentikan. Siang itu Gus Dur menjawab, wartawan kurang tepat mengutip sebab sebenarnya tidak ada rencana memecat Wiranto.
Wiranto dan Adnan Buyung merasa masalahnya jelas, tak ada penggantian Menko Polkam. Tetapi tiba-tiba, pada malam harinya, Istana mengumumkan Wiranto diberhentikan dan Presiden mengangkat Soerjadi Soedirja sebagai penggantinya. Tentu banyak yang kaget, Menko Polkam diganti padahal siang harinya baru dinyatakan oleh Presiden sendiri, tidak akan ada penggantian menko.
Marahkah Wiranto? Wiranto pernah berkata kepada saya sambil tertawa, dirinya sama sekali tidak marah atau dendam. Bahkan Wiranto mengaku pemberhentiannya itu tidak merusak hubungan baiknya dengan Gus Dur.
Presiden Gus Dur malah beberapa kali menelepon Wiranto dan mengajak makan di rumah Wiranto. Katanya, Gus Dur sudah kangen pada masakan Bu Wiranto
Pemberhentian Menko Kesra Hamzah Haz lain lagi. Suatu hari Gus Dur mengatakan ada laporan, Hamzah Has terindikasi korupsi dan jabatannya sebagai Menko akan dievaluasi.
Hamzah Haz kaget karena merasa tak pernah melakukan korupsi. Ia pun bertanya dan meminta klarifikasi kepada Gus Dur, dirinya dilaporkan oleh siapa dan korupsi apa. Sesudah didiskusikan, disepakati untuk menunjuk beberapa orang guna menyelidiki kebenaran laporan itu.
Ternyata, setelah diselidiki, laporan itu salah. Tidak ada bukti sama sekali Hamzah Haz menyeleweng. Gus Dur pun bilang, keputusannya akan disampaikan setelah dirinya pulang dari luar negeri.
Sesudah Presiden pulang dari luar negeri, saat menjemput di bandara, Hamzah Haz langsung meminta agar Presiden segera mengumumkan hasil penyelidikan itu. Kata Hamzah, pengumuman Presiden itu perlu untuk membersihkan namanya.
“Tolong, Bapak Presiden segera diumumkan agar masalahnya jadi jelas,” kata Hamzah. Gus Dur menyanggupi untuk segera mengumumkan.
Eh tak lama setelah itu Gus Dur mengumumkan bahwa atas permintaan Pak Hamzah agar segera diumumkan maka ”dengan ini diumumkan bahwa Menko Kesra Hamzah Haz diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Basri Hasanuddin”. Lho, yang diminta adalah pengumuman Presiden bahwa Hamzah tak terlibat korupsi, kok, keluarnya pengumuman tentang penggantian Hamzah? Duh, wis kadhung (sudah terlanjur).
Apakah Hamzah Haz marah dan dendam atas pemberhentiannya yang seperti itu? Tidak juga. Seperti Wiranto, Hamzah bercerita kepada saya dan Khofifah tentang pengalamannya itu sambil tertawa terbahak-bahak. Dia sama sekali tidak marah atau dendam. Kok, begitu? Ya, karena, ”Gus Dur tuh, memang begitu orangnya.”
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
HARI ini tujuh tahun yang lalu, tepatnya tanggal 31 Desember 2009 Presiden Republik Indonesia yang keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dimakamkan di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, setelah sehari sebelumnya (30 Desember 2009) dinyatakan wafat. Jutaan orang mengantar kepergian Gus Dur saat dikuburkan.
Ada yang melepasnya dari pinggir jalan saat peti janazah lewat, ada yang hadir ke tempat pemakaman. Di sepanjang jalan dari Ciganjur menuju bandara Jakarta orang berjubel ikut melepas mobil yang membawa jenazah Gus Dur. Begitu juga di sepanjang jalan dari bandara Surabaya menuju Jombang penuh sesak dengan warga masyarakat.
Ada yang mengumandangkan takbir, ada yang berteriak histeris menyebut nama Gus Dur. Di jalan raya yang dilewati mobil janazah Gus Dur antara Sidoarjo sampai Jombang, murid-murid, para guru, pekerja berjubel memenuhi jalan sambil bertakbir dan bertahlil. Mereka melambaikan bendera merah putih dan gambar Gus Dur sambil berteriak, “Allahu akbar, Allahummaghfir lahu”.
Pemerintah Republik Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disertai para menteri, Panglima TNI, dan Kapolri ikut mengantar Gus Dur ke peristirahatannya yang terakhir. Presiden sebagai kepala negara melepas Gus Dur dengan sambutan yang diucapkan di tepi liang lahat. Dalam sambutannya, selain menyebut jasa-jasa dan perjuangan Gus Dur, Presiden mengatakan secara eksplisit bahwa Gus Dur adalah Bapak Toleransi Indonesia.
Rasa hormat dan kenangan berjuta-juta orang terhadap Gus Dur sangat riil dan otentik. Sampai sekarang pun makam Gus Dur selalu dikunjungi masyarakat yang ingin memberi hormat. Yang berkunjung ke sana bukan hanya warga NU dan kaum muslimin tetapi juga para pemeluk agama-agama lain, termasuk orang-orang dari luar negeri seperti duta besar negara sahabat.
Acara-acara mengenang Gus Dur dengan, misalnya happening art atau haul (peringatan hari wafat) sampai sekarang selalu dilakukan masyarakat dan selalu dihadiri sangat banyak orang. Pada saat persatuan dalam perbedaan kita agak terganggu seperti sekarang ini masyarakat dengan berbagai medianya mengajak kita mengingat Gus Dur yang sampai akhir hayat selalu menyerukan toleransi sebagai prinsip dan metode merawat NKRI.
Saya beruntung karena sejak diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Gus Dur bisa banyak belajar sekaligus melakukan observasi sendiri atas sepak terjang Gus Dur.
Gus Dur itu tak suka pada formalitas protokoler. Kalau memberi arahan tidak mendikte bawahan melainkan mengajak berdiskusi, atau, Beliau bercerita tentang pengalamannya, atau, melalui cerita-cerita humor yang kemudian bisa dipetik maksud tentang arah kebijakannya.
Meski begitu Gus Dur juga bisa berlaku tegas. Gus Dur bisa memberhentikan orang-orang dekatnya dari jabatan penting dengan enteng tanpa bermusuhan. Kehebohan pemberhentian Wiranto dan Hamzah Haz bisa dicatat sebagai contoh.
Saat melakukan kunjungan ke luar negeri, berbarengan dengan isu pelanggaran HAM, Gus Dur mengatakan akan memberhentikan Menko Polkam Wiranto. Masyarakat pun heboh, apalagi informasi pemberhentian tersebut disampaikan dari dalam pesawat kepresidenan. Masyarakat ribut bertanya, apa masalah persisnya. Wiranto pun tampak tidak tahu persis, apa persoalannya.
Sepulang Presiden dari luar negeri, Menko Polkam Wiranto menemui Presiden dan bertanya, apa betul dirinya akan diberhentikan dan kalau betul apa alasannya. Dirinya akan loyal dan patuh pada Presiden.
Pengacara kondang Adnan Buyung Nasution juga ikut menanyakan, apa alasan persisnya Wiranto akan diberhentikan. Siang itu Gus Dur menjawab, wartawan kurang tepat mengutip sebab sebenarnya tidak ada rencana memecat Wiranto.
Wiranto dan Adnan Buyung merasa masalahnya jelas, tak ada penggantian Menko Polkam. Tetapi tiba-tiba, pada malam harinya, Istana mengumumkan Wiranto diberhentikan dan Presiden mengangkat Soerjadi Soedirja sebagai penggantinya. Tentu banyak yang kaget, Menko Polkam diganti padahal siang harinya baru dinyatakan oleh Presiden sendiri, tidak akan ada penggantian menko.
Marahkah Wiranto? Wiranto pernah berkata kepada saya sambil tertawa, dirinya sama sekali tidak marah atau dendam. Bahkan Wiranto mengaku pemberhentiannya itu tidak merusak hubungan baiknya dengan Gus Dur.
Presiden Gus Dur malah beberapa kali menelepon Wiranto dan mengajak makan di rumah Wiranto. Katanya, Gus Dur sudah kangen pada masakan Bu Wiranto
Pemberhentian Menko Kesra Hamzah Haz lain lagi. Suatu hari Gus Dur mengatakan ada laporan, Hamzah Has terindikasi korupsi dan jabatannya sebagai Menko akan dievaluasi.
Hamzah Haz kaget karena merasa tak pernah melakukan korupsi. Ia pun bertanya dan meminta klarifikasi kepada Gus Dur, dirinya dilaporkan oleh siapa dan korupsi apa. Sesudah didiskusikan, disepakati untuk menunjuk beberapa orang guna menyelidiki kebenaran laporan itu.
Ternyata, setelah diselidiki, laporan itu salah. Tidak ada bukti sama sekali Hamzah Haz menyeleweng. Gus Dur pun bilang, keputusannya akan disampaikan setelah dirinya pulang dari luar negeri.
Sesudah Presiden pulang dari luar negeri, saat menjemput di bandara, Hamzah Haz langsung meminta agar Presiden segera mengumumkan hasil penyelidikan itu. Kata Hamzah, pengumuman Presiden itu perlu untuk membersihkan namanya.
“Tolong, Bapak Presiden segera diumumkan agar masalahnya jadi jelas,” kata Hamzah. Gus Dur menyanggupi untuk segera mengumumkan.
Eh tak lama setelah itu Gus Dur mengumumkan bahwa atas permintaan Pak Hamzah agar segera diumumkan maka ”dengan ini diumumkan bahwa Menko Kesra Hamzah Haz diberhentikan dari jabatannya dan digantikan oleh Basri Hasanuddin”. Lho, yang diminta adalah pengumuman Presiden bahwa Hamzah tak terlibat korupsi, kok, keluarnya pengumuman tentang penggantian Hamzah? Duh, wis kadhung (sudah terlanjur).
Apakah Hamzah Haz marah dan dendam atas pemberhentiannya yang seperti itu? Tidak juga. Seperti Wiranto, Hamzah bercerita kepada saya dan Khofifah tentang pengalamannya itu sambil tertawa terbahak-bahak. Dia sama sekali tidak marah atau dendam. Kok, begitu? Ya, karena, ”Gus Dur tuh, memang begitu orangnya.”
(poe)