Banding Putusan WTO
A
A
A
PEMERINTAH memastikan menempuh banding atas keputusan World Trade Organization (WTO) yang memenangkan gugatan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru (SB) terkait hambatan impor yang diterapkan Indonesia untuk sejumlah produk pertanian termasuk daging sapi dan unggas. Akibat kebijakan perdagangan tersebut, produk pertanian dan dari AS dan SB dinilai sulit tembus pasar domestik.
Saat ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang menyusun materi pembelaan untuk segera disampaikan ke WTO. Meski keputusan WTO sudah dinyatakan final, hubungan ekspor Indonesia terhadap dua negara tersebut masih berlangsung aman.
Pemerintah optimistis pembelaan yang diajukan bisa meyakinkan pihak WTO untuk mencabut keputusan memenangkan gugatan AS dan SB. Pasalnya, materi gugatan yang diajukan sejak 2011 itu dinilai sudah kurang relevan dengan kebijakan pemerintah saat ini.
Sejumlah materi yang disoalkan sebagaimana diklaim Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sudah tidak menjadi isu lagi sebab sudah diperbaharui melalui sejumlah paket deregulasi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Berdasarkan data Kemendag total nilai perdagangan Indonesia dengan AS sebesar USD19,26 miliar dan Indonesia dengan SB sebesar USD 832,4 juta sepanjang periode Januari-Oktober 2016.
Keberatan pihak AS dan SB berawal ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan 18 aturan yang menghambat produk hortikultura di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, serta daging sapi dan unggas. Kebijakan pemerintah tersebut diprotes karena tidak sejalan dengan aturan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan yang disahkan WTO.
Protes dua negara tersebut memang sangat beralasan sebab Indonesia yang berpenduduk terbesar keempat di dunia adalah pasar yang empuk. Di sisi lain, pemerintah sudah bertekad untuk mengurangi importasi di sektor pertanian untuk mewujudkan Indonesia berdaulat dalam penyediaan pangan untuk warganya.
Persoalan kemandirian pangan di negeri ini memang sungguh memprihatinkan. Bayangkan, hampir semua kebutuhan bahan pokok masyarakat harus dipenuhi melalui impor dari berbagai negara.
Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan angka-angka sejumlah bahan pangan impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di antaranya gandum yang diimpor dari Australia, Kanada, dan AS dengan nilai rata-rata sebesar USD2,26 miliar per tahun.
Kebutuhan gandum meroket seiring peningkatan kebutuhan industri makanan berbahan gandum. Disusul gula dengan nilai impor rata-rata sekitar USD1,9 miliar per tahun yang dipasok dari Thailand hingga Brasil. Impor gula sudah menjadi persoalan rutin selama ini menyangkut penetapan kuota impor yang menjadi buruan para importir.
Selanjutnya, impor kedelai dengan nilai rata-rata mencapai USD1 miliar per tahun. Bahan baku utama untuk tempe dan tahu tersebut justru dipasok dari AS, Argentina, Paraguay, dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya.
Adapun impor susu dipenuhi dari Selandia Baru, AS, Australia, dan Belanda dengan nilai rata-rata sekitar USD800 juta setiap tahun. Sedangkan kebutuhan jagung didatangkan dari sejumlah negara di antaranya China dengan nilai impor rata-rata sebesar USD822,35 juta.
Masih banyak kebutuhan bahan pangan lain yang harus diimpor. Artinya, pemerintah memang harus kerja keras bagaimana mengatasi persoalan tersebut.
Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan daging sapi untuk masyarakat? Kementerian Pertanian (Kementan) kembali memprogramkan swasembada sapi melalui program upaya khusus sapi indukan wajib bunting mulai tahun depan.
Pemerintah optimistis melalui program sapi bunting itu akan memacu produksi sapi hingga 200% dalam lima tahun ke depan. Data Kementan menunjukkan populasi sapi dan kerbau tercatat sebanyak 15.196.154 ekor, terdiri atas sapi potong sebanyak 13.597.154 ekor, sapi perah sekitar 472.000 ekor, dan kerbau mencapai 1.127.000 ekor. Dari total populasi sapi tersebut tercatat sebanyak 5.918.921 ekor berupa sapi betina yang berumur dua hingga delapan tahun.
Kembali pada persoalan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS dan SB, pemerintah harus menyiapkan materi banding yang komprehensif. Pemerintah harus melibatkan para pemangku kepentingan untuk memperkuat argumen pembelaan.
Sebab, kalau Indonesia kalah dengan keputusan WTO, konsekuensinya impor produk hortikultura berpotensi meningkat. Indonesia harus berani melakukan proteksi untuk produk dalam negeri sebagaimana dilakukan sejumlah negara maju belakangan ini. Indonesia jangan hanya jadi pasar empuk bagi produk impor.
Saat ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) sedang menyusun materi pembelaan untuk segera disampaikan ke WTO. Meski keputusan WTO sudah dinyatakan final, hubungan ekspor Indonesia terhadap dua negara tersebut masih berlangsung aman.
Pemerintah optimistis pembelaan yang diajukan bisa meyakinkan pihak WTO untuk mencabut keputusan memenangkan gugatan AS dan SB. Pasalnya, materi gugatan yang diajukan sejak 2011 itu dinilai sudah kurang relevan dengan kebijakan pemerintah saat ini.
Sejumlah materi yang disoalkan sebagaimana diklaim Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sudah tidak menjadi isu lagi sebab sudah diperbaharui melalui sejumlah paket deregulasi yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi. Berdasarkan data Kemendag total nilai perdagangan Indonesia dengan AS sebesar USD19,26 miliar dan Indonesia dengan SB sebesar USD 832,4 juta sepanjang periode Januari-Oktober 2016.
Keberatan pihak AS dan SB berawal ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan 18 aturan yang menghambat produk hortikultura di antaranya apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, serta daging sapi dan unggas. Kebijakan pemerintah tersebut diprotes karena tidak sejalan dengan aturan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan yang disahkan WTO.
Protes dua negara tersebut memang sangat beralasan sebab Indonesia yang berpenduduk terbesar keempat di dunia adalah pasar yang empuk. Di sisi lain, pemerintah sudah bertekad untuk mengurangi importasi di sektor pertanian untuk mewujudkan Indonesia berdaulat dalam penyediaan pangan untuk warganya.
Persoalan kemandirian pangan di negeri ini memang sungguh memprihatinkan. Bayangkan, hampir semua kebutuhan bahan pokok masyarakat harus dipenuhi melalui impor dari berbagai negara.
Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan angka-angka sejumlah bahan pangan impor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Di antaranya gandum yang diimpor dari Australia, Kanada, dan AS dengan nilai rata-rata sebesar USD2,26 miliar per tahun.
Kebutuhan gandum meroket seiring peningkatan kebutuhan industri makanan berbahan gandum. Disusul gula dengan nilai impor rata-rata sekitar USD1,9 miliar per tahun yang dipasok dari Thailand hingga Brasil. Impor gula sudah menjadi persoalan rutin selama ini menyangkut penetapan kuota impor yang menjadi buruan para importir.
Selanjutnya, impor kedelai dengan nilai rata-rata mencapai USD1 miliar per tahun. Bahan baku utama untuk tempe dan tahu tersebut justru dipasok dari AS, Argentina, Paraguay, dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya.
Adapun impor susu dipenuhi dari Selandia Baru, AS, Australia, dan Belanda dengan nilai rata-rata sekitar USD800 juta setiap tahun. Sedangkan kebutuhan jagung didatangkan dari sejumlah negara di antaranya China dengan nilai impor rata-rata sebesar USD822,35 juta.
Masih banyak kebutuhan bahan pangan lain yang harus diimpor. Artinya, pemerintah memang harus kerja keras bagaimana mengatasi persoalan tersebut.
Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan daging sapi untuk masyarakat? Kementerian Pertanian (Kementan) kembali memprogramkan swasembada sapi melalui program upaya khusus sapi indukan wajib bunting mulai tahun depan.
Pemerintah optimistis melalui program sapi bunting itu akan memacu produksi sapi hingga 200% dalam lima tahun ke depan. Data Kementan menunjukkan populasi sapi dan kerbau tercatat sebanyak 15.196.154 ekor, terdiri atas sapi potong sebanyak 13.597.154 ekor, sapi perah sekitar 472.000 ekor, dan kerbau mencapai 1.127.000 ekor. Dari total populasi sapi tersebut tercatat sebanyak 5.918.921 ekor berupa sapi betina yang berumur dua hingga delapan tahun.
Kembali pada persoalan keputusan WTO yang memenangkan gugatan AS dan SB, pemerintah harus menyiapkan materi banding yang komprehensif. Pemerintah harus melibatkan para pemangku kepentingan untuk memperkuat argumen pembelaan.
Sebab, kalau Indonesia kalah dengan keputusan WTO, konsekuensinya impor produk hortikultura berpotensi meningkat. Indonesia harus berani melakukan proteksi untuk produk dalam negeri sebagaimana dilakukan sejumlah negara maju belakangan ini. Indonesia jangan hanya jadi pasar empuk bagi produk impor.
(poe)