Kerap Kalah di Pengadilan, Kinerja Jaksa Agung Kental Nuansa Politis
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menganggap gagalnya proses penuntutan yang dialamatkan kepada La Nyala Mataliti memungkinkan adanya nuansa politis terhadap mantan Ketua PSSI tersebut. Potensi nuansa politik menjadi lumrah tatkala Kejaksaan Agung (Kejagung) dipimpin oleh orang yang berlatar belakang politik.
“Saya kira keputusan atau gagalnya jaksa agung melakukan penuntutan terhadap perkara hukum itu, memungkinkan memang bisa ditafsirkan bahwa ada persoalan politik,” ujar Ubedilah ketika dihubungi SINDO, Rabu (28/12/2016).
Menurutnya, latar belakang Jaksa Agung HM Prasetyo yang merupakan orang politik menuai kecurigaan publik bahwa Kejagung bekerja dalam menagani perkara kental nuasa politis. Sehingga, lanjutnya, muncul anggapan Kejagung melenceng dalam tugasnya sebagai penegak hukum.
"Karena jaksa agung itu memiliki latar belakang politik, maka publik memiliki hak pembenaran bahwa Kejaksaan Agung masih memiliki nuansa politik di dalam kerja-kerja sebagai penegak hukum. Termasuk di dalam kasus La Nyalla," jelasnya.
Seperti diketahui, La Nyalla divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dana hibah pengembangan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Hakim menilai dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa dibuktikan secara hukum sehingga terdakwa harus dibebaskan.
Namun, putusan ini tidak secara bulat keluar dari musyawarah lima hakim. Dua dari lima hakim berbeda pendapat, yakni Hakim Sigit Herman Binaji dan Anwar.
Menurut Hakim Anwar, terdakwa patut bertanggung jawab secara formal dan material atas dana hibah yang diterima Kadin Jatim. Dana hibah, kata dia, tidak dibenarkan untuk digunakan di luar kegunaan yang disusun dalam proposal.
La Nyalla dinilai abai dengan tidak pernah mengecek ulang kepada anak buahnya terkait asal uang untuk pembelian saham initial public offering (IPO) Bank Jatim. Keuntungan Rp1,1 miliar yang didapat dari hasil penjualan IPO Bank Jatim harus dikembalikan kepada negara karena diperoleh dari dana yang berasal dari negara.
Sementara sebelumnya, JPU menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan kepada La Nyalla. Jaksa juga menuntut agar La Nyalla diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,115 miliar.
“Saya kira keputusan atau gagalnya jaksa agung melakukan penuntutan terhadap perkara hukum itu, memungkinkan memang bisa ditafsirkan bahwa ada persoalan politik,” ujar Ubedilah ketika dihubungi SINDO, Rabu (28/12/2016).
Menurutnya, latar belakang Jaksa Agung HM Prasetyo yang merupakan orang politik menuai kecurigaan publik bahwa Kejagung bekerja dalam menagani perkara kental nuasa politis. Sehingga, lanjutnya, muncul anggapan Kejagung melenceng dalam tugasnya sebagai penegak hukum.
"Karena jaksa agung itu memiliki latar belakang politik, maka publik memiliki hak pembenaran bahwa Kejaksaan Agung masih memiliki nuansa politik di dalam kerja-kerja sebagai penegak hukum. Termasuk di dalam kasus La Nyalla," jelasnya.
Seperti diketahui, La Nyalla divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan korupsi dana hibah pengembangan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Hakim menilai dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) tidak bisa dibuktikan secara hukum sehingga terdakwa harus dibebaskan.
Namun, putusan ini tidak secara bulat keluar dari musyawarah lima hakim. Dua dari lima hakim berbeda pendapat, yakni Hakim Sigit Herman Binaji dan Anwar.
Menurut Hakim Anwar, terdakwa patut bertanggung jawab secara formal dan material atas dana hibah yang diterima Kadin Jatim. Dana hibah, kata dia, tidak dibenarkan untuk digunakan di luar kegunaan yang disusun dalam proposal.
La Nyalla dinilai abai dengan tidak pernah mengecek ulang kepada anak buahnya terkait asal uang untuk pembelian saham initial public offering (IPO) Bank Jatim. Keuntungan Rp1,1 miliar yang didapat dari hasil penjualan IPO Bank Jatim harus dikembalikan kepada negara karena diperoleh dari dana yang berasal dari negara.
Sementara sebelumnya, JPU menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan kepada La Nyalla. Jaksa juga menuntut agar La Nyalla diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,115 miliar.
(kri)