Relaksasi Ekspor: Perampokan Secara Legal?
A
A
A
Fahmy Radhi
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
SETELAH timbul tenggelam wacana kebijakan relaksasi ekspor konsentrat kembali muncul di permukaan. Wacana kali ini kebijakan relaksasi ekspor konsentrat bahkan sudah akan diberlakukan dengan dasar peraturan pemerintah (PP), yang konon draf final peraturan tersebut sudah berada di meja Presiden Joko Widodo.
Wacana kebijakan relaksasi ekspor pertama kali dimunculkan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu bertindak sebagai Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, sejak Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM, wacana kebijakan relaksasi ekspor konsentrat mulai tenggelam, namun tiba-tiba kini muncul kembali di permukaan.
Pelarangan Ekspor Konsentrat
Pada saat kali pertama memunculkan wacana relaksasi ekspor konsentrat, Luhut berdalih bahwa tujuan pelonggaran ekspor konsentrat untuk kepentingan semua perusahaan pertambangan, termasuk Freeport dan Newmount. Menurut Luhut, rencana relaksasi itu akan dilakukan dengan mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Kalau kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dilakukan dengan perubahan UU Minerba Nomor 4/2009, barangkali masih bisa dipertanggungjawabkan secara legal. Namun, kalau menggunakan peraturan pemerintah sebagai dasar kebijakan relaksasi ekspor, penerapan kebijakan itu berpotensi melanggar undang-undang .
UU Minerba Nomor 4/2009 telah mewajibkan perusahaan tambang membangun tempat pemurnian (smelter) untuk mengolah minerba mentah di dalam negeri. Undang-undang itu juga melarang ekspor minerba mentah dalam bentuk konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar tertentu (smelterisasi).
Kendati UU Minerba Nomor 4/2009 telah memberikan tenggat waktu selama lima tahun, sebagian besar perusahaan tambang tidak mampu memenuhi kewajiban smelterisasi, pada saat larangan ekspor konsentrat efektif diberlakukan pada 12 Januari 2014. Sejak diberlakukan larangan ekspor konsentrat berdasarkan undang-undang, banyak perusahaan tambang yang menolak.
Freeport dan Newmont menolak keras pemberlakuan larangan ekspor itu sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK puluhan ribu karyawannya. Beberapa perusahaan asing bahkan mengancam untuk menggugat ke Arbitrase Internasional atas larangan ekspor konsentrat, yang diatur secara sah dalam UU Minerba Nomor 4/2009.
Penolakan itu sesungguhnya bukan karena perusahaan tambang tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun smelter, namun lebih untuk menghindari kontrol pemerintah atas hasil tambang yang ditambang dari ladang penambangan di Indonesia. Dengan diekspor dalam bentuk minerba mentah, sangat sulit bagi pemerintah untuk mengontrol berapa sesungguhnya nilai tambang yang telah dikeruk dari bumi Indonesia untuk diekspor.
Perampokan Legal
Kalau ekspor minerba mentah dibiarkan secara terus-menerus, tidak berlebihan dikatakan bahwa ekspor hasil pengerukan minerba mentah sesungguhnya bak perampokan kekayaan alam Indonesia secara legal. Alasannya, perundangan sebelumnya mengizinkan bagi perusahaan tambang untuk mengeruk dan mengekspor minerba mentah.
Pengerukan dan pengeksporan minerba mentah sudah berlangsung lebih 70 tahun, tanpa memberikan nilai tambah yang berarti bagi bangsa ini. Ironisnya, ekspor hasil tambang minerba mentah itu lebih menguntungkan bagi perusahaan tambang ketimbang memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Selain itu, kebijakan relaksasi ekspor konsentrat berpotensi merugikan bagi investor yang sudah telanjur membangun smelter di Indonesia. Menurut Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), sejak 2012 sudah ada 27 smelter yang telah selesai dibangun dengan total nilai investasi sebesar USD12 miliar.
Relaksasi ekspor konsentrat tidak hanya memukul investor smelter, tetapi juga berpotensi menghambat investasi pembangunan smelter, lantaran investasi di bidang smelter semakin tidak kondusif dengan kebijakan relaksasi ekspor. Dampaknya, hasil tambang Indonesia selamanya akan diekspor dalam bentuk minerba mentah, dengan nilai tambah sangat rendah.
Karena itu, pemerintah harus menghentikan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat, kembali ke jalan yang benar sesuai UU Minerba Nomor 4/2009, yang secara tegas sudah melarang ekspor minerba mentah sejak 12 Januari 2014. Dalam jangka pendek, pelarangan ekspor konsentrat, memang berpotensi menurunkan nilai ekspor minerba Indonesia.
Namun, dalam jangka panjang ekspor minerba, yang sudah diolah di smelter Indonesia, akan kembali meningkat dengan nilai tambah jauh lebih besar daripada nilai tambah ekspor minerba mentah. Pelarangan ekspor minerba mentah ini sesungguhnya sesuai dengan komitmen Presiden Joko Widodo.
Pada saat peresmian pabrik nikel di Morowali tahun lalu, Presiden Joko Widodo dengan sangat tegas berkata, “Indonesia jangan lagi mengekspor mineral mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai tambah.” Demikian pula dengan Wakil Presiden dalam beberapa kesempatan mengatakan,“Pemerintah jangan lagi mengizinkan ekspor mineral mentah.”
Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di smelter dalam negeri sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kalau kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah tetap dipaksakan berdasarkan peraturan pemerintah, kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Minerba Nomor 4/2009, serta amanat Mahkamah Konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap perintah Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Kebijakan relaksasi ekspor bahkan merupakan bentuk pembiaran berkelanjutan terhadap perampokan minerba secara legal di negeri ini.
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
SETELAH timbul tenggelam wacana kebijakan relaksasi ekspor konsentrat kembali muncul di permukaan. Wacana kali ini kebijakan relaksasi ekspor konsentrat bahkan sudah akan diberlakukan dengan dasar peraturan pemerintah (PP), yang konon draf final peraturan tersebut sudah berada di meja Presiden Joko Widodo.
Wacana kebijakan relaksasi ekspor pertama kali dimunculkan oleh Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu bertindak sebagai Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, sejak Ignasius Jonan dilantik sebagai Menteri ESDM, wacana kebijakan relaksasi ekspor konsentrat mulai tenggelam, namun tiba-tiba kini muncul kembali di permukaan.
Pelarangan Ekspor Konsentrat
Pada saat kali pertama memunculkan wacana relaksasi ekspor konsentrat, Luhut berdalih bahwa tujuan pelonggaran ekspor konsentrat untuk kepentingan semua perusahaan pertambangan, termasuk Freeport dan Newmount. Menurut Luhut, rencana relaksasi itu akan dilakukan dengan mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Kalau kebijakan relaksasi ekspor konsentrat dilakukan dengan perubahan UU Minerba Nomor 4/2009, barangkali masih bisa dipertanggungjawabkan secara legal. Namun, kalau menggunakan peraturan pemerintah sebagai dasar kebijakan relaksasi ekspor, penerapan kebijakan itu berpotensi melanggar undang-undang .
UU Minerba Nomor 4/2009 telah mewajibkan perusahaan tambang membangun tempat pemurnian (smelter) untuk mengolah minerba mentah di dalam negeri. Undang-undang itu juga melarang ekspor minerba mentah dalam bentuk konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar tertentu (smelterisasi).
Kendati UU Minerba Nomor 4/2009 telah memberikan tenggat waktu selama lima tahun, sebagian besar perusahaan tambang tidak mampu memenuhi kewajiban smelterisasi, pada saat larangan ekspor konsentrat efektif diberlakukan pada 12 Januari 2014. Sejak diberlakukan larangan ekspor konsentrat berdasarkan undang-undang, banyak perusahaan tambang yang menolak.
Freeport dan Newmont menolak keras pemberlakuan larangan ekspor itu sembari mengancam akan menghentikan produksi dan melakukan PHK puluhan ribu karyawannya. Beberapa perusahaan asing bahkan mengancam untuk menggugat ke Arbitrase Internasional atas larangan ekspor konsentrat, yang diatur secara sah dalam UU Minerba Nomor 4/2009.
Penolakan itu sesungguhnya bukan karena perusahaan tambang tidak memiliki kecukupan dana untuk membangun smelter, namun lebih untuk menghindari kontrol pemerintah atas hasil tambang yang ditambang dari ladang penambangan di Indonesia. Dengan diekspor dalam bentuk minerba mentah, sangat sulit bagi pemerintah untuk mengontrol berapa sesungguhnya nilai tambang yang telah dikeruk dari bumi Indonesia untuk diekspor.
Perampokan Legal
Kalau ekspor minerba mentah dibiarkan secara terus-menerus, tidak berlebihan dikatakan bahwa ekspor hasil pengerukan minerba mentah sesungguhnya bak perampokan kekayaan alam Indonesia secara legal. Alasannya, perundangan sebelumnya mengizinkan bagi perusahaan tambang untuk mengeruk dan mengekspor minerba mentah.
Pengerukan dan pengeksporan minerba mentah sudah berlangsung lebih 70 tahun, tanpa memberikan nilai tambah yang berarti bagi bangsa ini. Ironisnya, ekspor hasil tambang minerba mentah itu lebih menguntungkan bagi perusahaan tambang ketimbang memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Selain itu, kebijakan relaksasi ekspor konsentrat berpotensi merugikan bagi investor yang sudah telanjur membangun smelter di Indonesia. Menurut Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), sejak 2012 sudah ada 27 smelter yang telah selesai dibangun dengan total nilai investasi sebesar USD12 miliar.
Relaksasi ekspor konsentrat tidak hanya memukul investor smelter, tetapi juga berpotensi menghambat investasi pembangunan smelter, lantaran investasi di bidang smelter semakin tidak kondusif dengan kebijakan relaksasi ekspor. Dampaknya, hasil tambang Indonesia selamanya akan diekspor dalam bentuk minerba mentah, dengan nilai tambah sangat rendah.
Karena itu, pemerintah harus menghentikan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat, kembali ke jalan yang benar sesuai UU Minerba Nomor 4/2009, yang secara tegas sudah melarang ekspor minerba mentah sejak 12 Januari 2014. Dalam jangka pendek, pelarangan ekspor konsentrat, memang berpotensi menurunkan nilai ekspor minerba Indonesia.
Namun, dalam jangka panjang ekspor minerba, yang sudah diolah di smelter Indonesia, akan kembali meningkat dengan nilai tambah jauh lebih besar daripada nilai tambah ekspor minerba mentah. Pelarangan ekspor minerba mentah ini sesungguhnya sesuai dengan komitmen Presiden Joko Widodo.
Pada saat peresmian pabrik nikel di Morowali tahun lalu, Presiden Joko Widodo dengan sangat tegas berkata, “Indonesia jangan lagi mengekspor mineral mentah, tapi mari kita olah untuk menciptakan nilai tambah.” Demikian pula dengan Wakil Presiden dalam beberapa kesempatan mengatakan,“Pemerintah jangan lagi mengizinkan ekspor mineral mentah.”
Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di smelter dalam negeri sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kalau kebijakan relaksasi ekspor minerba mentah tetap dipaksakan berdasarkan peraturan pemerintah, kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Minerba Nomor 4/2009, serta amanat Mahkamah Konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap perintah Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Kebijakan relaksasi ekspor bahkan merupakan bentuk pembiaran berkelanjutan terhadap perampokan minerba secara legal di negeri ini.
(poe)