Ancaman Akut Ketimpangan Sosial
A
A
A
Ahmad Iskandar
Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
KALAU dicermati kebijakan pembangunan di Indonesia selama hampir lima puluh tahun ini khususnya sejak Orde Baru sampai sekarang (1967-2016), sebenarnya relatif tidak berubah. Yaitu pro utang luar negeri, pro investor asing, pro Lembaga Internasional, pro pemodal, pro orang kaya dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme yang dikembangkan cenderung capitalisme crony.
Sementara urusan nasib orang miskin diserahkan ke mekanisme trickle down effect (efek menetes ke bawah). Kenyataan yang terjadi bukan menetes kebawah tapi manfaat pertumbuhan justru mengalir keatas terus dan membuat orang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin.
Tidak heran muncul istilah anggur lama botol baru: meski pemerintahannya baru tipologi kebijakannya tetap lama. Presidennya boleh jadi ganti dan berubah tapi kebijakan ekonominya tetap pro pasar. Kalau ada perubahan sifatnya partial aja. Misalnya pada jaman pemerintahan Habibie ada Adi Sasono yang jadi Menteri Koperasi dan sangat pro rakyat, atau Rizal Ramli jaman pemerintahan Gus Dur jadi Menteri Keuangan dan Menko Maritim jaman Jokowi, aliran kebijakan ekonomi keduanya cenderung antitesa dari mazhab mainstream.
Lantaran masih menggunakan rumus-rumus lama maka pencapaian tiga indikator pembangunan Indonesia (kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan) masih jauh dari prestasi menggembirakan. Bahkan mengutip dari situs pribadi Faisal Basri, tren ketimpangan jangka panjang Indonesia terus memburuk meskipun tanggal 19 Agustus 2016 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru tentang ketimpangan, dengan menggunakan indeks gini ratio.
Menurut BPS Indeks Gini Ratio pada Maret 2016 turun menjadi 0,397. Ini sebagai pertanda tingkat ketimpangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah (<0,4). Kategori sedang ada pada angka 0,4-0.5 dan ketegori ketimpangan tinggi atau parah bila >0,5. Bandingkan dengan angka pada September 2014, angka tertinggi, ada pada 0,414.
Namun demikian, tren jangka panjang yang merupakan ukuran yang lebih bisa diterima ternyata memburuk dan menunjukkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10% terkaya yang menguasai 77% kekayaan nasional. Jadi 90% penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional,” tulis Faisal Basri.
Di industri keuangan sesuai data OJK, 50 konglomerasi keuangan menguasai 70% aset industri keuangan Indonesia atau Rp6.300 triliun dari total aset Rp9.000 triliun. Bila melihat publikasi 10 orang terkaya di Indonesia atau 50 orang terkaya di Indonesia aset orang-orang tersebut meningkat terus jumlahnya tiap tahun. Sementara kelompok masyarakat yang nyaris miskin gampang sekali terhempas ke kelompok miskin hanya gara-gara kebijakan pemerintah yang inflatoir. Nyata sekali gap antara kelompok kaya dan kelompok miskin itu.
Kebijakan Timpang
Kita bisa bagi perkembangan Indonesia dalam tiga tahap yaitu periode sebelum krisis 1997/1998, periode krisis dan periode sesudah krisis. Meski dalam siklus ekonomi ada beberapa kali krisis ekonomi, namun penulis sengaja mengambil krisis 1997/1998 sebagai patokan karena krisis tersebut menjadi krisis terhebat dalam sejarah ekonomi Indonesia di masa Orde Baru. Krisis moneter, krisis ekonomi yang berkembang jadi krisis politik telah meruntuhkan kekuasaan Soeharto saja selaku penguasa Orde Baru.
Salah satu kebijakan Orde Baru sebelum krisis adalah kebijakan yang sangat pro konglomerat di pelbagai bidang baik kebijakan di bidang perbankan, moneter, perdagangan, pasar modal dan lain-lain. Sebuah sindiran terhadap prilaku diskriminatif pemerintah yang lebih pro konglomerat ketimbang Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah: “ketika usaha konglomerat masih kecil disusui oleh bank-bank BUMN, mulai besar dapat fasilitas memiliki bank lewat kebijakan BI mempermudah kepemilikan bank dalam Pakto’88 sehingga bisa membiayai usahanya dari dana perbankan milik sendiri, serta ketika usahanya makin membesar lagi lewat pasar modal pemerintah memberi kesempatan para konglomerat meraup dana murah melalui penawaran saham mereka ke masyarakat.”
Ciri lain pembangunan di era sebelum krisis adalah Indonesia menerapkan prinsip washington Consensus yang berwatak neo liberal dan berupaya mengedepankan peranan mekanisme pasar serta menghilangkan peran pemerintah.
Awal tahun 1970 dan 1980 gabungan utang luar negeri, investasi asing,liberalisasi perbankan dan booming minyak bumi berhasil membuat ekonomi tumbuh rata-rata 7% tiap tahun. Memasuki tahun 1990-an seiring berkurangnya kontribusi ekonomi minyak terhadap APBN, gabungan utang luar negeri, investasi asing dan liberalisasi perekonomian membawa pertumbuhan tetap tinggi. Sayang liberalisasi perekonomian tanpa penguatan struktur ekonomi domestik ini menciptakan bolong luar biasa dalam perekonomian Indonesia.
Lalu lintas devisa bebas, cadangan devisa rendah, defisit transaksi berjalan yang tinggi dan melepas pergerakan rupiah sesuai mekanisme pasar membuat nilai tukar rupiah sangat rapuh ketika dihantam gelombang penularan krisis Bath Thailand. Krisis rupiah tersebut menciptakan krisis perbankan, krisis ekonomi dan krisis politik.
Liberalisasi Total
Apa sebenarnya yang terjadi saat Indonesia dilanda krisis ekonomi 1997-1999? Sebagai lembaga konsultan dan donor Dana Moneter Internasional (IMF) justru merekomendasikan sejumlah program Washington Consensus yang bercirikan liberalisasi dari seluruh perekonomian indonesia. Kalau tadinya liberalisasi saat sebelum krisis masih samar-samar dan terkesan malu-malu, maka di saat krisis semuanya diliberalisasi total.
Semua sektor perekonomian dibuka 100% sehingga siapapun bisa masuk ke perekonomian domestik, sehingga ekonomi Indonesia termasuk ekonomiyang paling liberal di dunia. Kebijakan yang terjadi dimasa krisis ini memiliki implikasi jangka panjang dalam perekonomian nasional.
Di masa sesudah krisis, seorang ekonom dari IPB pernah menulis, ratusan kebijakan Indonesia di tahun-tahun awal 2000 bercirikan kebijakan neo liberal. Liberalisasi total dimasa krisis dan sesudah krisis menjadi bukti penjelas tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia di tahun-tahun 2010-2015.
Tidak heran, ekonomi Indonesia sulit sembuh dari krisis. Bahkan anehnya, para konglomerat yang bangkrut akibat krisis 1997/1998 secara bergerilya mencoba bangkit sejak jaman Habibie, Gus Dur,Megawati, SBY dan era Jokowi bahkan kini sudah lebih kaya dari pada jaman sebelum krisis.
Problem utama Indonesia makanya urusan kemiskinan, penganguran dan ketimpangan belum memuaskan karena Indonesia mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan yang salah sejak Orde Baru dan dilanjutkan di era Reformasi (meliputi enam presiden). Lantaran ini pula pembangunan Indonesia jadi tidak care, tidak share dan tidak fair. Ketidak adilan dimana-mana.
Konglomerat yang hadir dalam program reklamasi pantai Jakarta misalnya akan membawa pelbagai problema di kawasan DKI Jakarta antara lain ancaman ketimpangan di masa kini dan masa mendatang. Ancaman ketimpangan tersebut sudah sedemikian akutnya tinggal menunggu ledakan kerusuhan sosial dan rasial.
Saya jadi ingat sebuah buku yang ditulis David Ramson yang menyimpulkan Indonesia adalah berkah luar biasa buat Amerika di abad 20 karena menunjukkan benefit sangat besar yang diperoleh Amerika dari perekonomian Indonesia.
Dengan fenomena pemerintahan Jokowi yang berat sekali ke China saya melihat bukan tidak mungkin ada sebuah buku lagi yang mengulas Indonesia berkah luar biasa buat China di abad 21. Karena sepertinya setelah mengadopsi Washington Consensus Indonesia akan mengadopsi Beijing atau China Konsensus. Padahal Indonesia seharusnya berkah buat rakyat Indonesia sendiri. Apalagi Indonesia sudah memiliki prinsip-prinsip kebijakan pembangunan yang benar yaitu ekonomi kontitusi sesuai UUD 45. Dan kebijakan yang salah kita buang dan tinggalkan.
Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
KALAU dicermati kebijakan pembangunan di Indonesia selama hampir lima puluh tahun ini khususnya sejak Orde Baru sampai sekarang (1967-2016), sebenarnya relatif tidak berubah. Yaitu pro utang luar negeri, pro investor asing, pro Lembaga Internasional, pro pemodal, pro orang kaya dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme yang dikembangkan cenderung capitalisme crony.
Sementara urusan nasib orang miskin diserahkan ke mekanisme trickle down effect (efek menetes ke bawah). Kenyataan yang terjadi bukan menetes kebawah tapi manfaat pertumbuhan justru mengalir keatas terus dan membuat orang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin.
Tidak heran muncul istilah anggur lama botol baru: meski pemerintahannya baru tipologi kebijakannya tetap lama. Presidennya boleh jadi ganti dan berubah tapi kebijakan ekonominya tetap pro pasar. Kalau ada perubahan sifatnya partial aja. Misalnya pada jaman pemerintahan Habibie ada Adi Sasono yang jadi Menteri Koperasi dan sangat pro rakyat, atau Rizal Ramli jaman pemerintahan Gus Dur jadi Menteri Keuangan dan Menko Maritim jaman Jokowi, aliran kebijakan ekonomi keduanya cenderung antitesa dari mazhab mainstream.
Lantaran masih menggunakan rumus-rumus lama maka pencapaian tiga indikator pembangunan Indonesia (kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan) masih jauh dari prestasi menggembirakan. Bahkan mengutip dari situs pribadi Faisal Basri, tren ketimpangan jangka panjang Indonesia terus memburuk meskipun tanggal 19 Agustus 2016 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru tentang ketimpangan, dengan menggunakan indeks gini ratio.
Menurut BPS Indeks Gini Ratio pada Maret 2016 turun menjadi 0,397. Ini sebagai pertanda tingkat ketimpangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah (<0,4). Kategori sedang ada pada angka 0,4-0.5 dan ketegori ketimpangan tinggi atau parah bila >0,5. Bandingkan dengan angka pada September 2014, angka tertinggi, ada pada 0,414.
Namun demikian, tren jangka panjang yang merupakan ukuran yang lebih bisa diterima ternyata memburuk dan menunjukkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10% terkaya yang menguasai 77% kekayaan nasional. Jadi 90% penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional,” tulis Faisal Basri.
Di industri keuangan sesuai data OJK, 50 konglomerasi keuangan menguasai 70% aset industri keuangan Indonesia atau Rp6.300 triliun dari total aset Rp9.000 triliun. Bila melihat publikasi 10 orang terkaya di Indonesia atau 50 orang terkaya di Indonesia aset orang-orang tersebut meningkat terus jumlahnya tiap tahun. Sementara kelompok masyarakat yang nyaris miskin gampang sekali terhempas ke kelompok miskin hanya gara-gara kebijakan pemerintah yang inflatoir. Nyata sekali gap antara kelompok kaya dan kelompok miskin itu.
Kebijakan Timpang
Kita bisa bagi perkembangan Indonesia dalam tiga tahap yaitu periode sebelum krisis 1997/1998, periode krisis dan periode sesudah krisis. Meski dalam siklus ekonomi ada beberapa kali krisis ekonomi, namun penulis sengaja mengambil krisis 1997/1998 sebagai patokan karena krisis tersebut menjadi krisis terhebat dalam sejarah ekonomi Indonesia di masa Orde Baru. Krisis moneter, krisis ekonomi yang berkembang jadi krisis politik telah meruntuhkan kekuasaan Soeharto saja selaku penguasa Orde Baru.
Salah satu kebijakan Orde Baru sebelum krisis adalah kebijakan yang sangat pro konglomerat di pelbagai bidang baik kebijakan di bidang perbankan, moneter, perdagangan, pasar modal dan lain-lain. Sebuah sindiran terhadap prilaku diskriminatif pemerintah yang lebih pro konglomerat ketimbang Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah: “ketika usaha konglomerat masih kecil disusui oleh bank-bank BUMN, mulai besar dapat fasilitas memiliki bank lewat kebijakan BI mempermudah kepemilikan bank dalam Pakto’88 sehingga bisa membiayai usahanya dari dana perbankan milik sendiri, serta ketika usahanya makin membesar lagi lewat pasar modal pemerintah memberi kesempatan para konglomerat meraup dana murah melalui penawaran saham mereka ke masyarakat.”
Ciri lain pembangunan di era sebelum krisis adalah Indonesia menerapkan prinsip washington Consensus yang berwatak neo liberal dan berupaya mengedepankan peranan mekanisme pasar serta menghilangkan peran pemerintah.
Awal tahun 1970 dan 1980 gabungan utang luar negeri, investasi asing,liberalisasi perbankan dan booming minyak bumi berhasil membuat ekonomi tumbuh rata-rata 7% tiap tahun. Memasuki tahun 1990-an seiring berkurangnya kontribusi ekonomi minyak terhadap APBN, gabungan utang luar negeri, investasi asing dan liberalisasi perekonomian membawa pertumbuhan tetap tinggi. Sayang liberalisasi perekonomian tanpa penguatan struktur ekonomi domestik ini menciptakan bolong luar biasa dalam perekonomian Indonesia.
Lalu lintas devisa bebas, cadangan devisa rendah, defisit transaksi berjalan yang tinggi dan melepas pergerakan rupiah sesuai mekanisme pasar membuat nilai tukar rupiah sangat rapuh ketika dihantam gelombang penularan krisis Bath Thailand. Krisis rupiah tersebut menciptakan krisis perbankan, krisis ekonomi dan krisis politik.
Liberalisasi Total
Apa sebenarnya yang terjadi saat Indonesia dilanda krisis ekonomi 1997-1999? Sebagai lembaga konsultan dan donor Dana Moneter Internasional (IMF) justru merekomendasikan sejumlah program Washington Consensus yang bercirikan liberalisasi dari seluruh perekonomian indonesia. Kalau tadinya liberalisasi saat sebelum krisis masih samar-samar dan terkesan malu-malu, maka di saat krisis semuanya diliberalisasi total.
Semua sektor perekonomian dibuka 100% sehingga siapapun bisa masuk ke perekonomian domestik, sehingga ekonomi Indonesia termasuk ekonomiyang paling liberal di dunia. Kebijakan yang terjadi dimasa krisis ini memiliki implikasi jangka panjang dalam perekonomian nasional.
Di masa sesudah krisis, seorang ekonom dari IPB pernah menulis, ratusan kebijakan Indonesia di tahun-tahun awal 2000 bercirikan kebijakan neo liberal. Liberalisasi total dimasa krisis dan sesudah krisis menjadi bukti penjelas tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia di tahun-tahun 2010-2015.
Tidak heran, ekonomi Indonesia sulit sembuh dari krisis. Bahkan anehnya, para konglomerat yang bangkrut akibat krisis 1997/1998 secara bergerilya mencoba bangkit sejak jaman Habibie, Gus Dur,Megawati, SBY dan era Jokowi bahkan kini sudah lebih kaya dari pada jaman sebelum krisis.
Problem utama Indonesia makanya urusan kemiskinan, penganguran dan ketimpangan belum memuaskan karena Indonesia mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan yang salah sejak Orde Baru dan dilanjutkan di era Reformasi (meliputi enam presiden). Lantaran ini pula pembangunan Indonesia jadi tidak care, tidak share dan tidak fair. Ketidak adilan dimana-mana.
Konglomerat yang hadir dalam program reklamasi pantai Jakarta misalnya akan membawa pelbagai problema di kawasan DKI Jakarta antara lain ancaman ketimpangan di masa kini dan masa mendatang. Ancaman ketimpangan tersebut sudah sedemikian akutnya tinggal menunggu ledakan kerusuhan sosial dan rasial.
Saya jadi ingat sebuah buku yang ditulis David Ramson yang menyimpulkan Indonesia adalah berkah luar biasa buat Amerika di abad 20 karena menunjukkan benefit sangat besar yang diperoleh Amerika dari perekonomian Indonesia.
Dengan fenomena pemerintahan Jokowi yang berat sekali ke China saya melihat bukan tidak mungkin ada sebuah buku lagi yang mengulas Indonesia berkah luar biasa buat China di abad 21. Karena sepertinya setelah mengadopsi Washington Consensus Indonesia akan mengadopsi Beijing atau China Konsensus. Padahal Indonesia seharusnya berkah buat rakyat Indonesia sendiri. Apalagi Indonesia sudah memiliki prinsip-prinsip kebijakan pembangunan yang benar yaitu ekonomi kontitusi sesuai UUD 45. Dan kebijakan yang salah kita buang dan tinggalkan.
(kri)