Mencerna Informasi
A
A
A
ABAD ini adalah abad informasi. Segala macam informasi bisa didapatkan dengan sangat mudah, langsung sesuai dengan yang kita cari dan inginkan.
Bahkan saat ini informasi yang tidak kita inginkan pun langsung terpapar di hadapan kita melalui gadget yang terhubung dengan berbagai media sosial. Informasi yang tak ingin kita ketahui atau lihat pun bisa langsung masuk ke layar telepon selular (ponsel) melalui berbagai grup WhatsApp, BBM, Line, dan lain-lain.
Kita ada di dalam situasi banjir informasi. Tak sedikit yang merasakan informasi tersebut masuk seperti banjir bandang, yang saking besarnya tak menyisakan waktu untuk menyesapi dan mencerna dengan holistik informasi-informasi tersebut. Bahkan banjir informasi ini seperti memberikan perasaan urgensi untuk segera merespons atau menyebarkannya ke orang lain.
Belakangan ini isu mengenai politik, ekonomi, agama dan berbagai macam isu lainnya tanpa kita sadari mewarnai bacaan kita sehari-hari melalui gadget. Padahal bisa saja kita yang membacanya tidak secara khusus memperhatikan isu tersebut, namun karena terus menerus mendapatkan informasi akhirnya mengikuti juga. Maka terjadi situasi banjir informasi yang sulit kita cerna.
Dengan informasi yang banyak dan tidak sepenuhnya bisa dipastikan kebenarannya, justru banyak orang yang berdebat dan berakhir dengan pertengkaran. Sungguh miris, persahabatan atau hubungan baik bisa rusak karena perdebatan berdasarkan informasi yang sumir.
Cukup memprihatinkan juga bila melihat individu-individu yang memiliki berbagai macam gelar akademik berdebat dengan menggunakan informasi yang masih sumir. Kadangkala informasi yang digunakan itu sedemikian tidak masuk akal atau bisa dikatakan hoax. Namun tetap saja informasi itu digunakan.
Padahal kalangan terpelajar dengan segala titelnya yang merupakan penghormatan dari segi akademik sudah seharusnya lebih sensitif terkait keabsahan informasi. Misalnya bisa saja sebelum menyebarkan informasi yang berpotensi hoax atau bahkan berdebat menjadikannya sebagai dasar, kalangan ini berpikir bisakah sumbernya dijadikan referensi kutipan dalam karya ilmiahnya.
Kalau tidak rela mengutip sumber yang disebarkan dalam skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dll, itu bisa menjadi pengingat bahwa sumber yang digunakan masih belum kuat fondasinya. Bahkan bisa ditenggarai masih sumir atau bahkan hoax.
Tentunya situasi ini bisa merugikan kita sebagai individu dan bahkan dalam skala lebih besar, merugikan kepentingan kebangsaan kita. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi efek negatifnya.
Pertama, melakukan cek dan ricek untuk semua informasi yang kita dapatkan. Informasi yang beredar di internet dan media percakapan instan tidak semuanya benar. Di sini dibutuhkan kearifan kta untuk bisa memilah mana sumber yang dipercaya dan mana sumber yang tidak bisa dipercaya.
Kedua, perbanyak sumber informasi terpercaya yang kita akses. Dalam situasi seperti ini, perlu membuat sendiri daftar penyedia informasi baik situs berita online, blog, koran, majalah, televisi, radio, dan berbagai sumber lain yang bisa dipercaya.
Sangat disarankan tidak hanya mengakses sumber informasi tunggal atau yang seragam. Makin banyak sumber informasi yang kita kases, makin mudah untuk memetakan situasi riil yang terjadi.
Ketiga, kurangi dorongan dari diri sendiri untuk membagikan informasi yang belum tentu benar dan kurangi konsumsi media sosial dan juga grup percakapan yang memberikan efek buruk. Kadangkala dalam suatu grup percakapan kita merasakan bahwa situasi sudah sedemikian tidak menyenangkan lagi, padahal kalau kita mau sedikit menengok ke kehidupan riil di sekeliling, situasinya tidaklah seburuk yang muncul di media sosial.
Keempat, mari sadari bahwa sangat banyak pihak yang memiliki kepentingan buruk untuk keuntungan diri atau kelompoknya dalam situasi banjir informasi. Mereka ini sangat senang memanfaatkan situasi saat masyarakat dengan mudah menelan informasi-informasi bohong yang disebarkan.
Semoga abad informasi ini bisa kita ambil sisi positifnya untuk kemajuan bangsa, bukan sisi negatifnya yang merusak tatanan kebangsaan.
Bahkan saat ini informasi yang tidak kita inginkan pun langsung terpapar di hadapan kita melalui gadget yang terhubung dengan berbagai media sosial. Informasi yang tak ingin kita ketahui atau lihat pun bisa langsung masuk ke layar telepon selular (ponsel) melalui berbagai grup WhatsApp, BBM, Line, dan lain-lain.
Kita ada di dalam situasi banjir informasi. Tak sedikit yang merasakan informasi tersebut masuk seperti banjir bandang, yang saking besarnya tak menyisakan waktu untuk menyesapi dan mencerna dengan holistik informasi-informasi tersebut. Bahkan banjir informasi ini seperti memberikan perasaan urgensi untuk segera merespons atau menyebarkannya ke orang lain.
Belakangan ini isu mengenai politik, ekonomi, agama dan berbagai macam isu lainnya tanpa kita sadari mewarnai bacaan kita sehari-hari melalui gadget. Padahal bisa saja kita yang membacanya tidak secara khusus memperhatikan isu tersebut, namun karena terus menerus mendapatkan informasi akhirnya mengikuti juga. Maka terjadi situasi banjir informasi yang sulit kita cerna.
Dengan informasi yang banyak dan tidak sepenuhnya bisa dipastikan kebenarannya, justru banyak orang yang berdebat dan berakhir dengan pertengkaran. Sungguh miris, persahabatan atau hubungan baik bisa rusak karena perdebatan berdasarkan informasi yang sumir.
Cukup memprihatinkan juga bila melihat individu-individu yang memiliki berbagai macam gelar akademik berdebat dengan menggunakan informasi yang masih sumir. Kadangkala informasi yang digunakan itu sedemikian tidak masuk akal atau bisa dikatakan hoax. Namun tetap saja informasi itu digunakan.
Padahal kalangan terpelajar dengan segala titelnya yang merupakan penghormatan dari segi akademik sudah seharusnya lebih sensitif terkait keabsahan informasi. Misalnya bisa saja sebelum menyebarkan informasi yang berpotensi hoax atau bahkan berdebat menjadikannya sebagai dasar, kalangan ini berpikir bisakah sumbernya dijadikan referensi kutipan dalam karya ilmiahnya.
Kalau tidak rela mengutip sumber yang disebarkan dalam skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dll, itu bisa menjadi pengingat bahwa sumber yang digunakan masih belum kuat fondasinya. Bahkan bisa ditenggarai masih sumir atau bahkan hoax.
Tentunya situasi ini bisa merugikan kita sebagai individu dan bahkan dalam skala lebih besar, merugikan kepentingan kebangsaan kita. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi efek negatifnya.
Pertama, melakukan cek dan ricek untuk semua informasi yang kita dapatkan. Informasi yang beredar di internet dan media percakapan instan tidak semuanya benar. Di sini dibutuhkan kearifan kta untuk bisa memilah mana sumber yang dipercaya dan mana sumber yang tidak bisa dipercaya.
Kedua, perbanyak sumber informasi terpercaya yang kita akses. Dalam situasi seperti ini, perlu membuat sendiri daftar penyedia informasi baik situs berita online, blog, koran, majalah, televisi, radio, dan berbagai sumber lain yang bisa dipercaya.
Sangat disarankan tidak hanya mengakses sumber informasi tunggal atau yang seragam. Makin banyak sumber informasi yang kita kases, makin mudah untuk memetakan situasi riil yang terjadi.
Ketiga, kurangi dorongan dari diri sendiri untuk membagikan informasi yang belum tentu benar dan kurangi konsumsi media sosial dan juga grup percakapan yang memberikan efek buruk. Kadangkala dalam suatu grup percakapan kita merasakan bahwa situasi sudah sedemikian tidak menyenangkan lagi, padahal kalau kita mau sedikit menengok ke kehidupan riil di sekeliling, situasinya tidaklah seburuk yang muncul di media sosial.
Keempat, mari sadari bahwa sangat banyak pihak yang memiliki kepentingan buruk untuk keuntungan diri atau kelompoknya dalam situasi banjir informasi. Mereka ini sangat senang memanfaatkan situasi saat masyarakat dengan mudah menelan informasi-informasi bohong yang disebarkan.
Semoga abad informasi ini bisa kita ambil sisi positifnya untuk kemajuan bangsa, bukan sisi negatifnya yang merusak tatanan kebangsaan.
(poe)