Mencari Pemimpin Sejati

Sabtu, 24 Desember 2016 - 07:15 WIB
Mencari Pemimpin Sejati
Mencari Pemimpin Sejati
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]

KITA hidup di zaman yang mungkin tak kita pahami dengan baik justru karena ulah kita sendiri. Kita, umat manusia, telah menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mengubah dunia dalam sekejap.

Teknologi informasi, media, dengan mudah mengubah manusia yang kemarin sore bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, pagi ini telah membuatnya menjadi orang ternama. Media—tentu saja termasuk media sosial—berhasil menciptakan ustad, filsuf, jago motivasi, dan pemimpin masyarakat.

Ustad bikinan televisi kita berkhotbah untuk meyakinkan umat bahwa agama itu mudah. Filsuf mengajari pemirsa program televisinya tentang rahasia hidup bahagia, dengan cara begitu mudah dan sederhana. Dan, para pemirsa tergila-gila.

Jago motivasi berbicara dengan fasih mengenai rahasia sukses dalam hidup, dalam politik dan dalam bisnis. Dan pemimpin masyarakat? Ini lebih mudah.

Media cukup mengatakan bahwa dia jenis manusia istimewa, termasuk dalam ‘one hundred most influential young leaders’ . Ini bisa dicetak di dalam koran atau majalah, dan dibagi secara gratis ke sebanyak mungkin pembaca yang tak tahu apa-apa mengenai kebenaran orang yang ditokohkan tersebut.

Cukup wajahnya dipotret, disuruh nyengir, dan agak miring ke kanan tetapi di bagian lain, wajah nyengir itu disuruh miring ke kiri. Dan jadilah sudah.

Dia telah menjadi seperti yang ditulis. Tidak diperlukan proses apapun. Ini hanya sejenis ‘kun fa yakun’ masa kini. Dan para pembaca pun tersihir oleh pesona mengerikan itu.

Ustad, filsuf, jago motivasi dan pemimpin masyarakat diciptakan oleh media kita dengan proses yang mungkin serupa. Mereka hanya muncul, omong sedikit–termasuk menguraikan hal yang tak diketahuinya dengan baik—dan beres.

Dia telah terkenal di muka bumi. Media, pendeknya, membuat orang untuk cukup diam tak mengerjakan apa-apa, tak memiliki komitmen apa pun, tapi bisa dibikin terkenal tanpa tandingan.

Di dalam abad teknologi informasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologilah yang harus maju. Dan manusia, ironisnya, tak begitu harus. Manusia cukup ‘plonga-plongo’ apa adanya, agak idiot sedikit juga boleh, dan ilmu pengetahuan serta teknologi bakal menutupi dengan sempurna segenap kekurangannya.

Ilmu pengetahuan dan teknologilah yang maju menjadi joki, menggantikan peran kemanusiaan, atau peran orang yang disebut pemimpin tadi, untuk tampil meyakinkan. Di dalam situasi seperti ini, masih mungkinkah kita mencari kebenaran mengenai sosok pemimpin yang tak terkontaminasi media? Masih mungkinkah sekarang kita menemukan contoh seorang calon pemimpin yang tak dipoles-poles secara manipulatif oleh kepentingan politik-ekonomi media?

Dengan kata lain, masih mungkinkah kita mencari pemimpin sejati di dalam masyarakat yang secara kebangetan memuliakan duit, popularitas, dan kemuliaan citra, tanpa memedulikan kenyataan bahwa semuanya itu hanya kecanggihan menata kebohongan?

Kata pemimpin sejati di sini jangan diartikan seperti makna guru ‘sejati’ di dalam dunia ilmu makrifat, ilmu batin, yang niscaya terlalu tinggi dan mungkin sudah tidak ada lagi. Pemimpin sejati di sini, di zaman penuh kesintingan, ambisi dan keserakahan, kira-kira hanya manusia yang tak tergoda untuk turut menjadi serakah, tak terlalu ambisius dan tidak sinting memandang jabatan sebagai segalanya.

Pemimpin sejati di sini orang yang tampil apa adanya, dengan segenap komitmen sosial politik yang jernih, untuk memimpin orang banyak demi panggilan hati nurani yang dilengkapi kemampuan teknis yang lebih dari sekadar memadai, dan kekuasaannya tak bakal dipakai buat kekuasaan itu sendiri melainkan buat menata kehidupan yang adil, manusiawi dan tentu saja demokratis.

Tidak ada ambisi pribadi yang berlebihan. Tidak muncul pamrih untuk terlalu memuliakan diri sendiri. Dia memimpin untuk membuat dunia yang penuh ketidakadilan ini menjadi lebih adil. Di tangannyalah hidup yang terlalu manipulatif ini ditata kembali menjadi corak kehidupan yang meluhurkan kebenaran.

Memang, di zaman kemajuan ini orang harus maju. Orientasi keilmuan menjadi sangat penting. Teknologi informasi harus dinikmati untuk memfasilitasi secara adil dan manusiawi langkah-langkah kita menjelaskan kepada publik komitmen sosial-politik kita. Teknologi itu fasilitas zaman yang harus disyukuri.

Tapi kita tak bisa dijajah oleh teknologi. Ciptaan kita bisa kita kendalikan. Sebaliknya, kita tak bisa menggunakannya menurut nafsu kita. Di sini mungkin kita berbicara mengenai etika. Mungkin etika keilmuan dan teknologi.

Siapakah di zaman seperti ini yang masih ingat akan etika, untuk mengendalikan ambisinya yang bergejolak seperti gelombang samudra yang diterpa badai? Ambisi manusia sering jauh lebih besar dari gelombang samudra. Orang tahu, teknologi bisa digunakan untuk memenuhi ambisinya. Di sini tidak ada yang salah. Manipulasi dianggap tidak salah. Berbohong dengan teknologi itu bagian dari kemajuan zaman? Bagaimana seharusnya kita memahami kemajuan?

Ini zaman yang sukar. Kiblat kehidupan kita ditentukan oleh teknologi. Mungkin karena kita terlalu memuja teknologi. Dan terlalu yakin bahwa teknologi telah memenuhi janjinya untuk membuat hidup kita lebih mudah, lebih enak.

Nilai-nilai hidup berubah. Etika jauh dikesampingkan. Apa yang berbau kemarin, masa lalu, dianggap tak lagi penting. Manipulasi dianggap wajar selama hal itu dilakukan untuk meraih kemajuan masa depan. Apa yang lebih penting dari kemajuan masa depan?

Hidup bergelimang dengan manipulasi sudah dianggap kewajaran. Kemajuan dan demokrasi dipahami dengan cara kaum muda sekarang memandang hidup. Kaum muda yang tak memiliki apa-apa, yang tak pernah memimpin apa-apa, dengan nyaman menyatakan dirinya sebagai kaum muda yang paling berpengaruh.

Kepada siapa pengaruh itu berkembang? Siapa yang memperoleh manfaat dari pengaruh yang sebenarnya tidak ada?

Dalam ketiadaan macam ini juga wajar kaum muda "nyalon’ ini ‘nyalon’ itu. Maju dalam pemilihan ini dan pemilihan itu.

Kita tidak bisa lagi menerapkan prinsip etis: mengapa tidak malu? Mengapa hidup dibangun hanya di atas ambisi demi ambisi, dan bukan di atas kebenaran yang menerangi kegelapan jagat raya?

Masih adakah kesempatan bagi kita sekarang memikirkan kemungkinan mencari atau menemukan pemimpin sejati? Ada problem serius di dalam dunia kepemimpinan kita zaman ini.

Kita wajib memilih. Ada dua pilihan yang tersedia. Satu, pemimpin ambisius yang manipulatif dan menjual diri kepada basis pemilih dengan penuh kebohongan. Dua, pemimpin yang berjuang dengan gigih melawan segenap manipulasi tadi. Dengan kata lain, ini tawaran tentang pemimpin sejati, yang tak menipu kita.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1006 seconds (0.1#10.140)