Pragmatisme Suporter
A
A
A
TIM nasional (timnas) sepak bola Indonesia atau tim Garuda gagal menggenggam Piala AFF 2016 setelah dikalahkan Thailand dengan agregat 2-3. Pada final dengan format home and away ini, timnas kita sempat memberikan harapan dengan mengalahkan Thailand pada leg pertama (home) dengan 2-1.
Kemenangan ini memberikan harapan yang besar kepada para pendukung (suporter) Indonesia bahwa Boaz Solossa dkk akan berhasil menggenggam Piala Aff 2016. Namun, pada final leg kedua yang berlangsung di kandang Thailand, Indonesia kalah 0-2. Harapan yang begitu besar ketika menang pada leg pertama seolah jadi pupus.
Harapan besar pendukung kita membuncah ketika pada babak penyisihan, Garuda berhasil lolos di grup neraka yang dihuni Filipina (tuan rumah), Thailand, dan Singapura. Menilik kekuatan tiga lawan di penyisihan grup dan persiapan yang mepet, banyak pihak yang pesimistis timnas Indonesia lolos ke babak semi final.
Namun, Boaz dkk mampu menjawab prediksi semua pihak dengan grafik permainan yang terus naik. Kalah dari Thailand di laga pertama penyisihan 2-4, lalu bermain imbang dengan Filipina 2-2, dan akhirnya mengalahkan Singapura 2-1 menunjukkan sepak bola Indonesia masih ada meski vakum sekitar 18 bulan.
Lolos ke babak semifinal dan harus berhadapan dengan Vietnam membuat suporter memberikan penilaian permainan timnas Garuda sangat bagus. Apalagi, ketika menyingkirkan Vietnam di babak semifinal dengan agregat 4-3, suporter pun mengelu-elukan timnas Indonesia dan pelatih Alfred Riedl. Banyak suporter yang menyebut, sepak bola Indonesia cukup bagus dalam hal teknik dan kolektivitas.
Penilaian positif kepada performa timnas Indonesia semakin baik oleh suporter ketika memenangi leg pertama final melawan Thailand. Namun, penilaian sebagian suporter berubah 180 derajat ketika gagal merengkuh juara.
Kalah dari Thailand, performa Indonesia dianggap tidak bagus. Penilaian positif berubah menjadi negatif bagi sebagian suporter.
Inilah pragmatisme suporter. Bila tim kesayangannya menang, langsung menilai bahwa tim bermain bagus. Namun, jika kalah, akan dinilai permainannya jelek.
Sikap pragmatis ini karena masih banyak suporter menganggap pertandingan sepak bola, ya hanya kalah dan menang. Mereka yang pragmatis biasanya tidak melihat pertandingan sepak bola menyeluruh 90 menit atau bahkan bagaimana persiapan sebuah tim dalam menghadapi kompetisi.
Padahal, bisa jadi selama 90 menit sebuah tim bermain tidak bagus, tapi menang. Pun ada tim yang bermain bagus, namun justru kalah. Banyak faktor yang memengaruhi hal ini salah satunya faktor keberuntungan.
Sikap pragmatis suporter adalah sikap emosi karena kecintaan mereka terhadap sebuah tim. Dalam kondisi tertentu adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar jika pada sikap mencaci-maki atau bahkan mem-bully. Bahkan ada yang sampai bersikap anarkistis hingga berbuntut kerusuhan.
Rusuh antarsuporter atau bahkan para pemain dan pelatih yang akan menjadi sasarannya. Padahal, dalam sebuah timnas, mereka hanya dipilih oleh pelatih dan federasi sepak bola.
Pragmatisme suporter akan terus muncul seiring kedewasaan dalam menikmati sebuah pertandingan. Pun demikian, sebuah tim harus juga bisa menjawab dengan hasil yang bagus dalam sebuah kompetisi. Caranya tentu membangun sebuah timnas yang kompetitif.
Timnas yang kompetitif dihasilkan dari sebuah kompetisi reguler yang bagus. Semua aspek dari klub, pemain, suporter, jalannya kompetisi, penyiaran media massa, bahkan hingga sponsorship pun harus benar-benar dikelola dengan baik. Dengan cara ini, tentu akan melahirkan pemain-pemain yang mempunyai kualifikasi kompetitif dan tentu tim yang kompetitif.
Pasca-Piala AFF 2016, Indonesia harus bisa mengelola liga dengan baik karena dengan kompetisi yang baik akan melahirkan timnas yang baik pula. Liga yang dikelola baik tentu membutuhkan waktu begitu juga dengan timnas yang baik.
Dan, jika liga sudah berjalan dengan baik, kata-kata ”kami rindu juara” akan perlahan menghilang dan akan bisa berubah menjadi ”kami sang juara”. Dari itu, sikap pragmatisme suporter akan terjawab dengan baik.
Kemenangan ini memberikan harapan yang besar kepada para pendukung (suporter) Indonesia bahwa Boaz Solossa dkk akan berhasil menggenggam Piala Aff 2016. Namun, pada final leg kedua yang berlangsung di kandang Thailand, Indonesia kalah 0-2. Harapan yang begitu besar ketika menang pada leg pertama seolah jadi pupus.
Harapan besar pendukung kita membuncah ketika pada babak penyisihan, Garuda berhasil lolos di grup neraka yang dihuni Filipina (tuan rumah), Thailand, dan Singapura. Menilik kekuatan tiga lawan di penyisihan grup dan persiapan yang mepet, banyak pihak yang pesimistis timnas Indonesia lolos ke babak semi final.
Namun, Boaz dkk mampu menjawab prediksi semua pihak dengan grafik permainan yang terus naik. Kalah dari Thailand di laga pertama penyisihan 2-4, lalu bermain imbang dengan Filipina 2-2, dan akhirnya mengalahkan Singapura 2-1 menunjukkan sepak bola Indonesia masih ada meski vakum sekitar 18 bulan.
Lolos ke babak semifinal dan harus berhadapan dengan Vietnam membuat suporter memberikan penilaian permainan timnas Garuda sangat bagus. Apalagi, ketika menyingkirkan Vietnam di babak semifinal dengan agregat 4-3, suporter pun mengelu-elukan timnas Indonesia dan pelatih Alfred Riedl. Banyak suporter yang menyebut, sepak bola Indonesia cukup bagus dalam hal teknik dan kolektivitas.
Penilaian positif kepada performa timnas Indonesia semakin baik oleh suporter ketika memenangi leg pertama final melawan Thailand. Namun, penilaian sebagian suporter berubah 180 derajat ketika gagal merengkuh juara.
Kalah dari Thailand, performa Indonesia dianggap tidak bagus. Penilaian positif berubah menjadi negatif bagi sebagian suporter.
Inilah pragmatisme suporter. Bila tim kesayangannya menang, langsung menilai bahwa tim bermain bagus. Namun, jika kalah, akan dinilai permainannya jelek.
Sikap pragmatis ini karena masih banyak suporter menganggap pertandingan sepak bola, ya hanya kalah dan menang. Mereka yang pragmatis biasanya tidak melihat pertandingan sepak bola menyeluruh 90 menit atau bahkan bagaimana persiapan sebuah tim dalam menghadapi kompetisi.
Padahal, bisa jadi selama 90 menit sebuah tim bermain tidak bagus, tapi menang. Pun ada tim yang bermain bagus, namun justru kalah. Banyak faktor yang memengaruhi hal ini salah satunya faktor keberuntungan.
Sikap pragmatis suporter adalah sikap emosi karena kecintaan mereka terhadap sebuah tim. Dalam kondisi tertentu adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar jika pada sikap mencaci-maki atau bahkan mem-bully. Bahkan ada yang sampai bersikap anarkistis hingga berbuntut kerusuhan.
Rusuh antarsuporter atau bahkan para pemain dan pelatih yang akan menjadi sasarannya. Padahal, dalam sebuah timnas, mereka hanya dipilih oleh pelatih dan federasi sepak bola.
Pragmatisme suporter akan terus muncul seiring kedewasaan dalam menikmati sebuah pertandingan. Pun demikian, sebuah tim harus juga bisa menjawab dengan hasil yang bagus dalam sebuah kompetisi. Caranya tentu membangun sebuah timnas yang kompetitif.
Timnas yang kompetitif dihasilkan dari sebuah kompetisi reguler yang bagus. Semua aspek dari klub, pemain, suporter, jalannya kompetisi, penyiaran media massa, bahkan hingga sponsorship pun harus benar-benar dikelola dengan baik. Dengan cara ini, tentu akan melahirkan pemain-pemain yang mempunyai kualifikasi kompetitif dan tentu tim yang kompetitif.
Pasca-Piala AFF 2016, Indonesia harus bisa mengelola liga dengan baik karena dengan kompetisi yang baik akan melahirkan timnas yang baik pula. Liga yang dikelola baik tentu membutuhkan waktu begitu juga dengan timnas yang baik.
Dan, jika liga sudah berjalan dengan baik, kata-kata ”kami rindu juara” akan perlahan menghilang dan akan bisa berubah menjadi ”kami sang juara”. Dari itu, sikap pragmatisme suporter akan terjawab dengan baik.
(poe)