Danpuspom TNI Sambangi KPK, Koordinasi Soal Kasus Suap di Bakamla
A
A
A
JAKARTA - Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) menggelar koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelidikan kasus dugaan suap proyek satelit monitor di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang ditangani KPK.
Koordinasi tersebut ditandai dengan kehadiran Komandan Puspom (Danpuspom) TNI Mayjen TNI Dodik Wijanarko ke Gedung KPK untuk bertukar infomasi dengan pimpinan KPK.
"Kami sedang mencarikan jalan paling baik untuk kasus ini," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (20/1/2016).
Diduga terdapat perwira TNI yang terlibat kasus ini. Sejauh ini, KPK belum memeriksa perwira tersebut. Syarif menyatakan, pihaknya perlu berkoordinasi dengan Puspom TNI terkait pemeriksaan dan penanganan perwira tersebut.
Diakui Syarif, dirinya belum mengetahui secara pasti kelanjutan penanganan keterlibatan perwira TNI dalam kasus ini. Tak menutup kemungkinan kasus yang menjerat perwira tersebut nantinya ditangani Puspom TNI.
"Ini yang sedang kami bicarakan. Setelah dibicarakan dan gelar perkara nanti Danpom yang umumkan kalau itu betul ada tersangka," beber Syarif.
Komunikasi intensif antara KPK dengan Puspom TNI ini terjadi lantaran ada dugaan keterlibatan anggota TNI dalam suap proyek pengadaan di Bakamla. Kewenangan KPK dalam menangani oknum militer yang terlibat kasus korupsi dibatasi dengan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dalam aturan itu disebutkan peradilan umum tidak dapat mengadili pelanggaran hukum kemiliteran, termasuk tindak pidana korupsi. Sementara itu, empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka usai operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu 14 Desember lalu, tidak ada seorang pun yang berlatarbelakang TNI.
Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Sestama Bakamla), Eko Susilo Hadi yang menjadi tersangka penerima suap berasal dari unsur kejaksaan, sementara Dirut PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Dharmawansyah serta dua pegawainya yakni Hardy Stefanus, dan M Adami Okta yang diduga memberikan suap berasal dari unsur swasta. Dari tangan Eko, KPK menyita uang Rp2 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
Sebagai tersangka penyuap, Hardy, M Adami, dan Fahmi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Eko dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Koordinasi tersebut ditandai dengan kehadiran Komandan Puspom (Danpuspom) TNI Mayjen TNI Dodik Wijanarko ke Gedung KPK untuk bertukar infomasi dengan pimpinan KPK.
"Kami sedang mencarikan jalan paling baik untuk kasus ini," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (20/1/2016).
Diduga terdapat perwira TNI yang terlibat kasus ini. Sejauh ini, KPK belum memeriksa perwira tersebut. Syarif menyatakan, pihaknya perlu berkoordinasi dengan Puspom TNI terkait pemeriksaan dan penanganan perwira tersebut.
Diakui Syarif, dirinya belum mengetahui secara pasti kelanjutan penanganan keterlibatan perwira TNI dalam kasus ini. Tak menutup kemungkinan kasus yang menjerat perwira tersebut nantinya ditangani Puspom TNI.
"Ini yang sedang kami bicarakan. Setelah dibicarakan dan gelar perkara nanti Danpom yang umumkan kalau itu betul ada tersangka," beber Syarif.
Komunikasi intensif antara KPK dengan Puspom TNI ini terjadi lantaran ada dugaan keterlibatan anggota TNI dalam suap proyek pengadaan di Bakamla. Kewenangan KPK dalam menangani oknum militer yang terlibat kasus korupsi dibatasi dengan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Dalam aturan itu disebutkan peradilan umum tidak dapat mengadili pelanggaran hukum kemiliteran, termasuk tindak pidana korupsi. Sementara itu, empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka usai operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu 14 Desember lalu, tidak ada seorang pun yang berlatarbelakang TNI.
Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Sestama Bakamla), Eko Susilo Hadi yang menjadi tersangka penerima suap berasal dari unsur kejaksaan, sementara Dirut PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Dharmawansyah serta dua pegawainya yakni Hardy Stefanus, dan M Adami Okta yang diduga memberikan suap berasal dari unsur swasta. Dari tangan Eko, KPK menyita uang Rp2 miliar dalam pecahan dolar Amerika Serikat dan dolar Singapura.
Sebagai tersangka penyuap, Hardy, M Adami, dan Fahmi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Eko dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(kri)