Duka Kita di Udara

Senin, 19 Desember 2016 - 14:48 WIB
Duka Kita di Udara
Duka Kita di Udara
A A A
SUNGGUH menyesakkan jika di saat terbangun di pagi hari mendapatkan kabar duka, terlebih terkait anak-anak terbaik bangsa ini. Kabar duka jatuhnya pesawat TNI Angkatan Udara Hercules C-130H A-1334 di Wamena pada sekitar pukul 06.00 WIT saat dengan 13 korban tewas sangat menyesakkan hati kita semua.

13 prajurit kita harus meregang nyawa di pesawat tua yang sudah 34 tahun (1978-2012) dioperasikan oleh Royal Australia Air Force (RAAF) hingga akhirnya dipensiunkan dan dihibahkan ke Indonesia.

Banyak sekali pesawat milik TNI dan juga Polri yang jatuh belakangan ini. Tentunya menjadi hal yang sangat miris. Sebelum tragedi jatuhnya pesawat Hercules di Papua ini, ingatan kita tentu masih segar akan jatuhnya peswat Hercules di Medan pada 30 Juni 2015 dengan total korban 141 orang.

Setiap prajurit adalah anak-anak bangsa yang mendedikasikan dirinya untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setiap-setiap prajurit adalah set bangsa ini yang harus dijaga kesejahteraan dan keselamatannya. Dengan seringnya pesawat jatuh, maka tentu kita akan terus kehilangan para penerbang dan kru teknik penerbangan yang merupakan prajurit-prajurit terbaik di TNI.

Para penerbang dan kru teknik penerbangan ini adalah prajurit terpilih. Selama ini kondisi kita tidak sedang berkelimpahan penerbang. Sistem pendidikan kita di TNI yang serba terbatas sangat membatasi jumlah penerbang yang dihasilkan.

Sungguh sangat disayangkan jika para penerbang yang jumlahnya sangat terbatas ini terus berguguran dalam misinya mengoperasikan pesawat-pesawat tua yang sebagian sudah tidak dipakai oleh negara pengguna pertamanya karena dianggap sudah terlalu uzur.

Akankah kita selalu harus dalam kondisi siap-siapa berduka menunggu kabar dari udara terkait nasib para penerbang dan penumpangnya yang harus rela menaiki pesawat uzur? Sebegitu teganyakah pemerintah dan bangsa ini untuk senantiasa mempertaruhkan nasib putra-putri terbaiknya menaiki pesawat yang sudah diafkir oleh pemilik awalnya?

Yang namanya barang afkir, mau dipoles, diperbaiki atau di-retrofit seperti apapun tetap tidak akan seaman barang yang dibeli baru dan umurnya masih muda.

Selama ini Indonesia selalu berupaya mengejar minimum essential forces dengan kondisi anggaran pertahanan yang hanya di kisaran 1% dari PDB. Padahal setidaknya agar kita punya angkatan perang yang standar, maka dibutuhkan anggaran pertahanan 2% dari PDB.

Kondisi serba terbatas ini membuat kita cukup sering menerima hibah alutsista—termasuk pesawat terbang—dari luar negeri yang sudah dipensiunkan oleh militernya. Kita lalu berapologi dengan mengatakan alutsista tersebut sudah di-retrofit sehingga layaknya barang baru.

Padahal kita semua mafhum tidak akan bisa seperti itu. Dengan kejadian naas yang terus berulang ini, maka sudah seharusnya beberapa langkah diambil.

Pertama, inspeksi ulang semua alutsista udara kita yang ada. Langkah untuk menyetop sementara penggunaan Hercules dari seri yang sama adalah langkah yang tepat. Pemerintah harus mengambil langkah tersebut agar tidak terjadi masalah yang sama.

Kedua, tambahkan anggaran untuk pembelian alutsista udara adalah hal yang mutlak. Dalam konsep Poros Maritim Dunia, tumpuan utama adalah laut dan udara, namun nampaknya sekalipun ada konsep PMD, pola penganggaran tidak berubah. Kita belum melihat perubahan signifikan untuk penganggaran pembelian alutsista udara.

Ketiga, sudah selayaknya pemerintah meninjau ulang penerimaan pesawat hibah. Seperti disebutkan sebelumnya, negara-negara asing menghibahkan pesawatnya karena dianggap sudah tidak efisien lagi. Sekalipun suatu pesawat ada yang umurnya bisa mencapai 40-50 tahun, namun umumnya Negara-negara asing mulai memensiunkan pesawatnya di umur 30an tahun, sementara kita membeli pesawat yang dipensiunkan itu.

Keempat, perbaiki infrastruktur udara seperti landasan udara di berbagai daerah serta sistem navigasinya. Papua selama ini menjadi salah satu pulau yang sangat tinggi kecelakaan pesawatnya.

Selain faktor cuaca yang seringkali ekstrem serta alam yang menantang, infrastruktur yang ada seringkali tak menunjang dan kadang membahayakan. Sudah seharusnya pemerintah meratakan pembangunan infrastruktur udara di berbagai daerah di Indonesia. Semoga duka kita di udara ini tidak terus berulang.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6732 seconds (0.1#10.140)