Sepak Bola dan Nasionalisme

Jum'at, 16 Desember 2016 - 10:41 WIB
Sepak Bola dan Nasionalisme
Sepak Bola dan Nasionalisme
A A A
ADA yang berbeda dengan headline dan foto utama media cetak nasional yang terbit pada Kamis 15 Desember 2016. Konten dan arah pemberitaannya sama: mengapresiasi kemenangan timnas Indonesia atas Thailand dalam laga pertama final AFF 2016 yang digelar di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, sehari sebelumnya.

Mereka pun kompak memberikan dorongan moral kepada Boaz Solossa dkk agar tidak lengah hingga dalam pertandingan leg kedua yang digelar di Stadion Rajamangala, Thailand, Sabtu 17 Desember 2016, bisa meraih hasil maksimal dan memberikan kebanggaan kepada bangsa, yakni sebagai juara. Harapan ini begitu mengemuka karena meskipun Indonesia empat kali menapak partai final, tak pernah sekali pun pasukan Merah Putih membawa pulang trofi ajang paling bergengsi di wilayah ASEAN tersebut.

Kekompakan media cetak nasional tersebut harus diakui sangat langka. Sejak Pemilu 2014 lalu, harus diakui hampir semua media secara umum terfragmentasi ke dalam dua kutub yang berseberangan karena ideologi, kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Hingga detik ini, tabrakan itu masih terjadi, bahkan semakin kencang.

Mau tidak mau, fragmentasi politik redaksional media massa Tanah Air merupakan cerminan fragmentasi masyarakat saat ini. Belakangan ini, misalnya, realitas demikian kental terasa dalam menyikapi kontroversi gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama yang kemudian melebar ke berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Mau tidak mau, kondisi tersebut meretakkan sendi soliditas kebangsaan.

Namun tampilnya timnas Indonesia di pertarungan final Piala AFF 2016 kembali merekatkan retakan-retakan kebangsaan itu. Terlebih pasukan Alfred Riedl tampil trengginas. Penggawa timnas yang berasal dari berbagai daerah dan berlatar keyakinan berbeda menunjukkan heroisme dan nasionalismenya demi mempersembahkan kebanggaan kepada bangsa.

Sepak bola dan nasionalisme selama ini memang seperti dua sisi mata uang, selalu beriringan. Jan Michael Kotoewski, pengajar departemen ilmu politik di Universitas New Hampshire (2014), dalam artikel bertajuk Reflection on Football, Nasionalism, and National Identity mencatat ada tiga aspek keterkaitan sepak bola dan nasionalisme, yakni (1) sebagai ekspresi atau refleksi dari identitas nasional; (2) sebagai bagian dari praktik nasionalisme dan politik, (3) pembawa gagasan kebangsaan.

Pada titik paling ekstrem, sepak bola menjadi identitas, praktik, sekaligus sebagai gagasan nasionalisme yang barangkali ditunjukkan Brasil. Hal ini secara apik digambarkan mantan Presiden Dilma Roussef, "We are the Land of Football because of our glorious history of five world championships and for the passion that every Brazilian dedicates to their team, to their heroes and to the Selecao, our National Team. The love of our people for football has become part of our national identity. For us, football is a celebration of life."

Membandingkan sepak bola Brasil dengan Indonesia ibarat membandingkan bumi dengan langit. Negeri Samba tersebut merupakan negara tersukses dalam sejarah Piala Dunia dengan 5 kali tampil sebagai juara. Adapun Indonesia di level Piala AFF pun sejauh ini masih seperti mimpi tanpa ujung.

Tapi fakta yang tidak bisa dibantah, walaupun timnas belum banyak memberikan kebanggaan kepada bangsa ini seperti ditunjukkan Brasil dan negara-negara utama sepak bola seperti Jerman, Italia, Spanyol, Inggris dan lainnya, kecintaan masyarakat terhadap sepak bola Indonesia, termasuk timnas Indonesia, tak pernah luntur. Pun ketika PSSI sebagai induk organisasi sepak bola mengalami karut-marut. Masyarakat--dengan berbagai dinamika politik yang terjadi--tetap menganggap sepak bola adalah kita dan kita adalah sepak bola.

Berdasar fakta demikian, sumbangsih sepak bola sebagai sarana perekat nasionalisme tidak terbantahkan. Timnas Indonesia serta-merta menjadi magnet yang sangat kuat yang mampu merekatkan masyarakat yang terfragmentasi. Sepak bola menyatukan identitas, praktik, maupun gagasan nasionalisme masyarakat dalam satu nusa, bangsa, dan bahasa seperti dirajut dalam Sumpah Pemuda.

Memahami kontribusi penting sepak bola sebagai sarana membangun nasionalisme tersebut, sudah seharusnya pemerintah lebih serius membina dan mengembangkan sepak bola Tanah Air hingga sepak bola Indonesia bisa tampil pada level lebih tinggi. Dalam konteks pembangunan nasionalisme, langkah ini jauh lebih strategis ketimbang aksi simbolis seperti ditunjukkan "Parade Bhinneka Tunggal Ika" atau "Kita Indonesia".
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0889 seconds (0.1#10.140)