Skema Bagi Hasil Minyak
A
A
A
INDONESIA salah satu negara penghasil minyak dan gas terbesar di dunia. Pernyataan yang benar sekali, tetapi itu dulu pada 1970-an. Kini, cadangan terbukti (proven reserve) minyak tinggal 3,8 miliar barel.
Kalau berpatokan pada tingkat produksi minyak sekitar 800.000 barel per hari saat ini dengan situasi produksi yang konstan, cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan hingga 12 tahun ke depan. Sejak 12 tahun lalu, negeri ini telah mencatatkan diri sebagai net impor minyak.
Selanjutnya, pada 2024 Indonesia diprediksi menjadi negara net impor gas. Celakanya, kegiatan eksplorasi minyak dan gas semakin menurun.
Data menunjukkan, pada 2012 terdapat 72 aktivitas eksplorasi minyak kemudian anjlok menjadi 12 pada periode 2013 hingga 2015, padahal antara 2012 sampai 2014 harga minyak sedang bagus. Hal itu harus dibaca bahwa ada persoalan besar yang membuat investor menahan diri mengeksplorasi minyak di Indonesia.
Memang, pemerintah tidak berpangku tangan untuk merangsang investor senantiasa menanamkan modal dalam eksplorasi minyak. Sejumlah aktivitas birokrasi dipangkas melalui sejumlah penyederhanaan perizinan hingga rencana perubahan skema bagi hasil yang lebih praktis.
Selama ini, pola bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) berada pada kisaran 85% untuk negara dan 15% buat kontraktor. Selain itu, kontraktor masih dapat kompensasi lewat cost recovery yang diambilkan dari bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang digantikan negara atas pengeluaran kontraktor untuk memproduksi minyak.
Belakangan ini, terkait dengan cost recovery, banyak sekali mendapat sorotan karena dinilai selain tidak efisien juga merepotkan KKKS sehingga perlu dirumuskan ulang agar kedua pihak bisa diuntungkan.
Tengok saja, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 pos untuk cost recovery mencapai sebesar USD11,6 miliar, sedangkan tahun depan sedikit diturunkan dengan pengalokasian anggaran sebesar USD 10,4 miliar. Meski angka cost recovery tersebut sudah dipangkas USD1,2 miliar oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, masih dinilai terlalu mahal yang berdampak pada penurunan pendapatan negara.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Maritim Luhut B Pandjaitan sudah menitipi pekerjaan rumah kepada petinggi Kementerian ESDM untuk meninjau atau menghitung ulang biaya operasi perusahaan minyak yang dikembalikan oleh negara atau cost recovery.
Pemerintah menargetkan revisi cost recovery bisa dituntaskan sebelum akhir tahun ini. Selain dinilai mahal, cost recovery juga ditengarai sebagai sumber kebocoran anggaran negara yang luput dari perhatian selama ini.
Dalam laporan keuangan pemerintah pusat 2015 yang diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), salah satu temuan yang mengemuka adalah cost recovery membengkak sebesar Rp2,56 triliun.
Presiden Jokowi berjanji segera menuntaskan temuan BPK itu. Pembahasan penghapusan cost recovery sudah bergulir di DPR. Dalam rapat kerja antara Kementerian ESDM, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan Komisi VII di DPR, kemarin diwarnai insiden ringan.
Pertemuan yang baru bergulir sekitar 10 menit, pimpinan sidang menskors rapat kerja karena tulisan data cost recovery 2015-2016 sulit terbaca oleh anggota Komisi VII DPR. Secara terbuka, pihak DPR menyatakan persoalan cost recovery selama ini kurang transparan, padahal alokasi anggaran sangat besar.
Rencananya, skema bagi hasil minyak akan diganti dengan pola gross split. Seperti apa mekanisme gross split itu. Gambaran sederhananya adalah bagi hasil antara negara dan KKKS masing-masing 50% dari hasil produksi minus cost recovery.
Jadi, negara terbebas dari penggantian biaya operasi produksi minyak yang dikeluarkan KKKS sehingga bagian yang diterima negara bersih sebanyak 50%. Di sisi lain berpotensi besar mendongkrak pendapatan KKKS seandainya aktivitasnya lebih efisien.
Penghapusan cost recovery bukan berarti tanpa risiko. Kalangan pelaku industri penunjang hulu migas di dalam negeri kini menjadi panas dingin. Pasalnya, dalam skema cost recovery pemerintah bisa mewajibkan KKKS memakai produk dalam negeri, mengatur tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) karena pengeluaran operasional KKKS ditanggung oleh negara.
Karena itu, adalah hal wajar kalau Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menitip kepada pemerintah agar perubahan skema bagi hasil minyak tidak merugikan industri nasional.
Kalau berpatokan pada tingkat produksi minyak sekitar 800.000 barel per hari saat ini dengan situasi produksi yang konstan, cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan hingga 12 tahun ke depan. Sejak 12 tahun lalu, negeri ini telah mencatatkan diri sebagai net impor minyak.
Selanjutnya, pada 2024 Indonesia diprediksi menjadi negara net impor gas. Celakanya, kegiatan eksplorasi minyak dan gas semakin menurun.
Data menunjukkan, pada 2012 terdapat 72 aktivitas eksplorasi minyak kemudian anjlok menjadi 12 pada periode 2013 hingga 2015, padahal antara 2012 sampai 2014 harga minyak sedang bagus. Hal itu harus dibaca bahwa ada persoalan besar yang membuat investor menahan diri mengeksplorasi minyak di Indonesia.
Memang, pemerintah tidak berpangku tangan untuk merangsang investor senantiasa menanamkan modal dalam eksplorasi minyak. Sejumlah aktivitas birokrasi dipangkas melalui sejumlah penyederhanaan perizinan hingga rencana perubahan skema bagi hasil yang lebih praktis.
Selama ini, pola bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) berada pada kisaran 85% untuk negara dan 15% buat kontraktor. Selain itu, kontraktor masih dapat kompensasi lewat cost recovery yang diambilkan dari bagian negara. Cost recovery adalah biaya yang digantikan negara atas pengeluaran kontraktor untuk memproduksi minyak.
Belakangan ini, terkait dengan cost recovery, banyak sekali mendapat sorotan karena dinilai selain tidak efisien juga merepotkan KKKS sehingga perlu dirumuskan ulang agar kedua pihak bisa diuntungkan.
Tengok saja, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 pos untuk cost recovery mencapai sebesar USD11,6 miliar, sedangkan tahun depan sedikit diturunkan dengan pengalokasian anggaran sebesar USD 10,4 miliar. Meski angka cost recovery tersebut sudah dipangkas USD1,2 miliar oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, masih dinilai terlalu mahal yang berdampak pada penurunan pendapatan negara.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Maritim Luhut B Pandjaitan sudah menitipi pekerjaan rumah kepada petinggi Kementerian ESDM untuk meninjau atau menghitung ulang biaya operasi perusahaan minyak yang dikembalikan oleh negara atau cost recovery.
Pemerintah menargetkan revisi cost recovery bisa dituntaskan sebelum akhir tahun ini. Selain dinilai mahal, cost recovery juga ditengarai sebagai sumber kebocoran anggaran negara yang luput dari perhatian selama ini.
Dalam laporan keuangan pemerintah pusat 2015 yang diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), salah satu temuan yang mengemuka adalah cost recovery membengkak sebesar Rp2,56 triliun.
Presiden Jokowi berjanji segera menuntaskan temuan BPK itu. Pembahasan penghapusan cost recovery sudah bergulir di DPR. Dalam rapat kerja antara Kementerian ESDM, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan Komisi VII di DPR, kemarin diwarnai insiden ringan.
Pertemuan yang baru bergulir sekitar 10 menit, pimpinan sidang menskors rapat kerja karena tulisan data cost recovery 2015-2016 sulit terbaca oleh anggota Komisi VII DPR. Secara terbuka, pihak DPR menyatakan persoalan cost recovery selama ini kurang transparan, padahal alokasi anggaran sangat besar.
Rencananya, skema bagi hasil minyak akan diganti dengan pola gross split. Seperti apa mekanisme gross split itu. Gambaran sederhananya adalah bagi hasil antara negara dan KKKS masing-masing 50% dari hasil produksi minus cost recovery.
Jadi, negara terbebas dari penggantian biaya operasi produksi minyak yang dikeluarkan KKKS sehingga bagian yang diterima negara bersih sebanyak 50%. Di sisi lain berpotensi besar mendongkrak pendapatan KKKS seandainya aktivitasnya lebih efisien.
Penghapusan cost recovery bukan berarti tanpa risiko. Kalangan pelaku industri penunjang hulu migas di dalam negeri kini menjadi panas dingin. Pasalnya, dalam skema cost recovery pemerintah bisa mewajibkan KKKS memakai produk dalam negeri, mengatur tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) karena pengeluaran operasional KKKS ditanggung oleh negara.
Karena itu, adalah hal wajar kalau Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menitip kepada pemerintah agar perubahan skema bagi hasil minyak tidak merugikan industri nasional.
(poe)