World Assembly for Women 2016, Redam Konflik dengan Partisipasi Wanita

Selasa, 13 Desember 2016 - 16:00 WIB
World Assembly for Women 2016, Redam Konflik dengan Partisipasi Wanita
World Assembly for Women 2016, Redam Konflik dengan Partisipasi Wanita
A A A
Laporan Wartawan SINDOnews dari Tokyo, Hanna Farhana

TOKYO - Konflik yang terjadi di sejumlah negara di berbagai belahan dunia membuat angka pengungsi menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah. Salah satu negara yang terus-menerus digempur konflik adalah Suriah.

Berdasarkan analis pengungsi global, Pew Research Center, sekitar 12,5 juta warga Suriah meninggalkan rumah mereka. Jumlah ini terus meningkat, pada 2011, kurang dari satu juta warga Suriah yang mengungsi.

Sebelum Suriah, saat Irak bergolak pada 2007-2008 seperlima warganya meninggalkan negara mereka demi menemukan tempat yang jauh lebih aman. Sedangkan pada 1980an, saat perang Afghanistan-Uni Soviet, separuh warga Afghanistan pergi menuju negara tetangga dan perbatasan agar selamat dari konflik.

Special Representative bidang Perempuan NATO Marriet Schuurman mengungkapkan, dalam situasi konflik atau perang yang paling menderita adalah kaum hawa dan juga anak-anak. Oleh karena itu, diperlukan banyak edukasi agar perempuan di daerah perang lebih berperan sehingga mengurangi dampak konflik.

“Wanita seperti serpihan salju. Jika satu saja tidak begitu berpengaruh tapi bersama sama bisa menjadi kekuatan luar biasa,” ujar Schuurman dalam diskusi Building Peace in Society by Women pada World Assembly for Women 2016 di Grand Prince New Takanawa Hotel, Tokyo, Selasa (13/12/2016).

Salah satu negara yang saat ini masih dilanda perang saudara adalah Sudan Selatan. Diperkirakan 300.000 orang tewas akibat konflik ini. Meskipun kedua belah pihak yang menyebabkan perang saudara didukung oleh orang-orang yang berasal dari kelompok etnis yang berbeda, perang pada akhirnya terkait dengan perpecahan etnis.

Kelompok etnis Dinka dimana Presiden Kiir Mayardit yang berdarah Dinka, dituduh melakukan serangan terhadap kelompok etnis mantan Wakil Presiden Riek Machar, Nuer. Akibat perang bersaudara ini, lebih dari 1.000.000 orang mengungsi ke kawasan bebas konflik di negara tersebut. Sementara, 400.000 lainnya pergi meninggalkan Sudan Selatan ke negara-negara tetangga, terutama Kenya, Sudan dan Uganda.

Menteri Keseteraan Gender, Anak, dan Kesejahteraan Masyarakat Sudan Selatan Awut Acuil mengungkapkan, jika kesetaraan gender dilakukan secara dini di Sudan Selatan konflik tidak akan sebesar ini. “Wanita adalah penjaga perdamaian secara naluriah. Wanita adalah guru dan mampu meredam konflik,” paparnya.

“Kita harus mengubah perspektif serta terus mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender. Di negara saya, anak laki-laki mendapat segala hal. Sedari kecil mereka ditanya apa cita-citanya, tapi itu tidak dilakukan kepada anak perempuan,” imbuhnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3813 seconds (0.1#10.140)