Hari (Anti)-Korupsi
A
A
A
JUMAT, 9 Desember 2016 kemarin, kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Ada nuansa kepedihan yang mendalam bila kita mencermati perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Penegakan hukum yang dilakukan selama ini ternyata tidak banyak menimbulkan efek jera sehingga tingkat korupsi masih tinggi.
Salah satu indikasi maraknya korupsi adalah masih banyaknya penangkapan kasus korupsi baik di Jakarta maupun di berbagai daerah di Indonesia. Kita masih sering mendengar aparat hukum kita menangkap tersangka korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT). Tidak sedikit juga kasus korupsi yang berhasil diungkap dari penyelidikan yang dilakukan aparat hukum kita, baik yang berasal dari laporan masyarakat maupun inisiatif para penyelidik/penyidik.
Salah satu kasus teranyar yang diungkap KPK adalah dugaan korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) yang melibatkan Wali Kota Madiun Bambang Irianto. Selain itu yang tak kalah monumental, KPK juga telah menetapkan tersangka Wali Kota Cimahi Atty Suharti dan suaminya M Itoc Tochija dalam kasus korupsi. Mereka diduga menerima hadiah atau janji atas rencana proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II tahun 2017.
Fakta-fakta di atas akhirnya telah menimbulkan pesimisme terhadap pemberantasan korupsi itu sendiri. Kita sejak 2002 telah memiliki lembaga khusus yang menangani korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hingga saat ini hampir setiap minggu kita masih mendengar ada pelaku korupsi yang ditangkap KPK. Ironis bukan?
Apakah kita gagal? Ada banyak variabel maupun faktor yang melingkupinya mengapa kasus korupsi masih marak di Tanah Air. Di antaranya, pertama, vonis hukuman yang rendah. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan dalam enam bulan pertama tahun 12016, kasus korupsi rata-rata hanya divonis 2,1 tahun.
Kedua, tidak berjalannya reformasi birokrasi secara baik yang menimbulkan implikasi negatif seperti maraknya pungutan liar (pungli) dan korupsi yang dilakukan para pejabat. Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) oleh pemerintah patut kita dukung untuk bisa membersihkan korupsi.
Ketiga, penegakan hukum masih pandang bulu bahwa ada indikasi kuat menjadi alat politik penguasa. Keempat, kurang berfungsinya kejaksaan dan Polri dalam ikut mendukung upaya pemberantasan korupsi. Sejauh ini hanya KPK yang bekerja serius dalam mengusut kasus korupsi.
Karena itu, sinergi dan saling dukung antarlembaga hukum, yaitu kejaksaan, Polri, dan KPK, sangat diperlukan agar korupsi di Tanah Air bisa cepat dilenyapkan. Selain itu para hakim perlu memberikan hukuman berat, termasuk perlunya dipertimbangkan wacana hukuman mati bagi koruptor.
Alternatif lain yang perlu dicoba adalah pemiskinan koruptor karena mereka sangat ketakutan jatuh miskin. Karena selama banyak pelaku korupsi yang keluar penjara masih bisa hidup mewah dengan harta jarahannya, akan sulit bagi kita untuk menumpas korupsi. Yang jelas, untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dibutuhkan niat baik, konsistensi, ketegasan, dan dukungan dari seluruh elemen bangsa.
Salah satu indikasi maraknya korupsi adalah masih banyaknya penangkapan kasus korupsi baik di Jakarta maupun di berbagai daerah di Indonesia. Kita masih sering mendengar aparat hukum kita menangkap tersangka korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT). Tidak sedikit juga kasus korupsi yang berhasil diungkap dari penyelidikan yang dilakukan aparat hukum kita, baik yang berasal dari laporan masyarakat maupun inisiatif para penyelidik/penyidik.
Salah satu kasus teranyar yang diungkap KPK adalah dugaan korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) yang melibatkan Wali Kota Madiun Bambang Irianto. Selain itu yang tak kalah monumental, KPK juga telah menetapkan tersangka Wali Kota Cimahi Atty Suharti dan suaminya M Itoc Tochija dalam kasus korupsi. Mereka diduga menerima hadiah atau janji atas rencana proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II tahun 2017.
Fakta-fakta di atas akhirnya telah menimbulkan pesimisme terhadap pemberantasan korupsi itu sendiri. Kita sejak 2002 telah memiliki lembaga khusus yang menangani korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hingga saat ini hampir setiap minggu kita masih mendengar ada pelaku korupsi yang ditangkap KPK. Ironis bukan?
Apakah kita gagal? Ada banyak variabel maupun faktor yang melingkupinya mengapa kasus korupsi masih marak di Tanah Air. Di antaranya, pertama, vonis hukuman yang rendah. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan dalam enam bulan pertama tahun 12016, kasus korupsi rata-rata hanya divonis 2,1 tahun.
Kedua, tidak berjalannya reformasi birokrasi secara baik yang menimbulkan implikasi negatif seperti maraknya pungutan liar (pungli) dan korupsi yang dilakukan para pejabat. Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) oleh pemerintah patut kita dukung untuk bisa membersihkan korupsi.
Ketiga, penegakan hukum masih pandang bulu bahwa ada indikasi kuat menjadi alat politik penguasa. Keempat, kurang berfungsinya kejaksaan dan Polri dalam ikut mendukung upaya pemberantasan korupsi. Sejauh ini hanya KPK yang bekerja serius dalam mengusut kasus korupsi.
Karena itu, sinergi dan saling dukung antarlembaga hukum, yaitu kejaksaan, Polri, dan KPK, sangat diperlukan agar korupsi di Tanah Air bisa cepat dilenyapkan. Selain itu para hakim perlu memberikan hukuman berat, termasuk perlunya dipertimbangkan wacana hukuman mati bagi koruptor.
Alternatif lain yang perlu dicoba adalah pemiskinan koruptor karena mereka sangat ketakutan jatuh miskin. Karena selama banyak pelaku korupsi yang keluar penjara masih bisa hidup mewah dengan harta jarahannya, akan sulit bagi kita untuk menumpas korupsi. Yang jelas, untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dibutuhkan niat baik, konsistensi, ketegasan, dan dukungan dari seluruh elemen bangsa.
(poe)