Kekuatan Hati (Pelajaran dari Santri Ciamis)
A
A
A
SEPEKAN lebih telah berlalu, cerita-cerita tentang heroisme santri Ciamis masih juga menjadi buah bibir. Cerita yang tercecer di balik long march dari daerah ujung timur Jawa Barat bagian selatan yang berjarak sekitar 300 km dari Ibu Kota Jakarta itu masih terus bermunculan.
Cerita itu antara lain tentang semangat tak mengenal lelah, tak putus asa diguyur hujan, tak surut dipanggang panas, tak frustrasi disepelekan, dan tak ciut nyali menghadapi intimidasi atau tekanan. Sebaliknya mereka tetap menunjukkan semangat membara dan tetap keukeuh meneruskan perjalanan dan bergabung dengan Aksi Bela Islam III pada 2 Desember atau yang dikenal dengan Aksi 212.
Apa yang ditunjukkan santri Ciamis itu memang patut diperbincangkan, diapresiasi, dan dijadikan pelajaran. Mereka membuktikan bahwa kekuatan hati, yang dilatari dengan semangat memperjuangkan nilai atau ideologi, akan menjadi energi yang luar biasa. Kekuatan metafisik tersebut terbukti mampu menghancurkan kekuatan penghalang dan sebaliknya mampu menyerap kekuatan pendukung.
Siapa sangka aksi yang awalnya dilakukan sekitar 1.000 santri Ponpes Miftahul Huda pimpinan KH Nonop Hanafi ini akan menjadi pemicu terjadinya Aksi 212 yang melibatkan supermassa dan berlangsung superdamai? Siapa sangka long march yang mereka lakukan memberikan inspirasi semakin banyak orang dari berbagai daerah maupun dari berbagai kelompok Islam bergabung dalam aksi damai yang digelar di Monumen Nasional (Monas) Jakarta tersebut?
Sebaliknya, siapa sangka pelarangan penggunaan armada bus untuk mengusung peserta Aksi 212 tidak bisa menjadi penghalang untuk berangkat ke Jakarta? Siapa sangka penggembosan lain yang coba dilakukan aparat ternyata tidak mengurangi sedikit pun nyali mereka? Siapa sangka, teror opini yang dilakukan media massa ternyata tidak melemahkan semangat mereka? Pun aksi makar atau isu makar tak mampu membelokkan tujuan mereka.
Fakta yang terjadi, semangat mereka ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar. Mereka malah berhasil menarik simpati dan dukungan di sepanjang perjalanan. Mereka banyak mendapat makanan, minuman, pakaian, dan semua kebutuhan yang diperlukan. Mereka mendapat suntikan moral dari berbagai kalangan.
Long march yang dilakukan santri lebih jauh justru menciptakan bandwagon effect. Cerita tentang semangat perjuangan mereka malah menarik simpati masyarakat lebih luas untuk bergabung dengan Aksi 212.
Khalayak yang sebelumnya tidak ikut turun dalam Aksi Bela Islam I maupun II terinspirasi santri Ciamis untuk juga membuktikan kekuatan hati mereka. Walhasil, peserta Aksi 212 membeludak dan mencatatkan sejarah baru dalam dinamika kehidupan bangsa ini.
Long march santri Ciamis dan dampak yang ditimbulkan harus menjadi pelajaran, terutama bagi pemerintah, agar tidak lagi salah melakukan terapi terhadap persoalan yang dihadapi. Pemerintah harus belajar bahwa kekuatan hati untuk menegakkan keadilan tidak bisa digembosi atau dihalangi. Semakin ditekan, kekuatan hati itu justru malah membesar dan menggelora.
Pemerintah harus belajar, menghadapi tekanan keadilan bukanlah dengan melarang penggunaan bus, melakukan intimidasi di lapangan, memunculkan isu makar, apalagi menggelar berbagai aksi tandingan. Tingkah polah demikian justru hanya memunculkan kekonyolan dan menegaskan adanya ketidakadilan yang dirasakan, dalam hal ini terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Cerita itu antara lain tentang semangat tak mengenal lelah, tak putus asa diguyur hujan, tak surut dipanggang panas, tak frustrasi disepelekan, dan tak ciut nyali menghadapi intimidasi atau tekanan. Sebaliknya mereka tetap menunjukkan semangat membara dan tetap keukeuh meneruskan perjalanan dan bergabung dengan Aksi Bela Islam III pada 2 Desember atau yang dikenal dengan Aksi 212.
Apa yang ditunjukkan santri Ciamis itu memang patut diperbincangkan, diapresiasi, dan dijadikan pelajaran. Mereka membuktikan bahwa kekuatan hati, yang dilatari dengan semangat memperjuangkan nilai atau ideologi, akan menjadi energi yang luar biasa. Kekuatan metafisik tersebut terbukti mampu menghancurkan kekuatan penghalang dan sebaliknya mampu menyerap kekuatan pendukung.
Siapa sangka aksi yang awalnya dilakukan sekitar 1.000 santri Ponpes Miftahul Huda pimpinan KH Nonop Hanafi ini akan menjadi pemicu terjadinya Aksi 212 yang melibatkan supermassa dan berlangsung superdamai? Siapa sangka long march yang mereka lakukan memberikan inspirasi semakin banyak orang dari berbagai daerah maupun dari berbagai kelompok Islam bergabung dalam aksi damai yang digelar di Monumen Nasional (Monas) Jakarta tersebut?
Sebaliknya, siapa sangka pelarangan penggunaan armada bus untuk mengusung peserta Aksi 212 tidak bisa menjadi penghalang untuk berangkat ke Jakarta? Siapa sangka penggembosan lain yang coba dilakukan aparat ternyata tidak mengurangi sedikit pun nyali mereka? Siapa sangka, teror opini yang dilakukan media massa ternyata tidak melemahkan semangat mereka? Pun aksi makar atau isu makar tak mampu membelokkan tujuan mereka.
Fakta yang terjadi, semangat mereka ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar. Mereka malah berhasil menarik simpati dan dukungan di sepanjang perjalanan. Mereka banyak mendapat makanan, minuman, pakaian, dan semua kebutuhan yang diperlukan. Mereka mendapat suntikan moral dari berbagai kalangan.
Long march yang dilakukan santri lebih jauh justru menciptakan bandwagon effect. Cerita tentang semangat perjuangan mereka malah menarik simpati masyarakat lebih luas untuk bergabung dengan Aksi 212.
Khalayak yang sebelumnya tidak ikut turun dalam Aksi Bela Islam I maupun II terinspirasi santri Ciamis untuk juga membuktikan kekuatan hati mereka. Walhasil, peserta Aksi 212 membeludak dan mencatatkan sejarah baru dalam dinamika kehidupan bangsa ini.
Long march santri Ciamis dan dampak yang ditimbulkan harus menjadi pelajaran, terutama bagi pemerintah, agar tidak lagi salah melakukan terapi terhadap persoalan yang dihadapi. Pemerintah harus belajar bahwa kekuatan hati untuk menegakkan keadilan tidak bisa digembosi atau dihalangi. Semakin ditekan, kekuatan hati itu justru malah membesar dan menggelora.
Pemerintah harus belajar, menghadapi tekanan keadilan bukanlah dengan melarang penggunaan bus, melakukan intimidasi di lapangan, memunculkan isu makar, apalagi menggelar berbagai aksi tandingan. Tingkah polah demikian justru hanya memunculkan kekonyolan dan menegaskan adanya ketidakadilan yang dirasakan, dalam hal ini terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
(poe)