Banjir dan Keserakahan Manusia
A
A
A
AHMAD RIZA PATRIA
Wakil Ketua Komisi II DPR
MUSIM hujan adalah musim banjir. Itulah fenomena di Indonesia yang ekologi alamnya terdegradasi. Di mana-mana terjadi banjir. Setiap jam berita di radio, televisi, dan media online nyaris selalu menayangkan bencana banjir, sedemikian rupa sehingga bencana ekologis itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tanpa nada keprihatinan.
Jika keprihatinan kita terhadap bencana banjir tumpul, upaya untuk mengatasinya juga tumpul. Walhasil, bencana banjir pun akan menjadi rutin dan ritual tahunan tanpa ada upaya serius untuk mengatasinya.
Tangerang misalnya mulai dua pekan lalu (13/11/2016) nyaris tenggelam. Selama beberapa hari sejumlah wilayah di Kota Tangerang dilanda banjir besar. Banjir yang menenggelamkan ribuan rumah itu merupakan dampak dari hujan deras yang turun hampir seharian.
Akibat itu, beberapa sungai yang ada di Kota Tangerang meluap. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh tersumbatnya drainase di sejumlah lokasi. Tak ayal, banjir pun mengempas pusat kota dan sejumlah perumahan.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang, kedalaman banjir yang mencapai 1,5 meter menjadi 2 meter.
Menurut Kepala BPBD Kota Tangerang Irman, terdapat empat kecamatan yang kena banjir yakni di Kecamatan Larangan, Benda, Cipondoh, dan Periuk. Di Periuk ada beberapa titik lokasi, tapi yang paling parah di (perumahan) Total Persada. Di perumahan ini banjirnya mencapai hampir 2 meter.
Irman menjelaskan, sebanyak 800 keluarga yang ada di perumahan Total Persada telah diungsikan ke tempat penampungan sementara karena banjir sudah hampir menyentuh atap rumah.
Ratusan kepala keluarga itu ditempatkan di tempat penampungan seperti masjid setempat yang telah dilengkapi dengan sejumlah bentuk bantuan dari Pemerintah Kota Tangerang.
Di tempat lain, pada hari yang sama, Kota Bandung juga dilanda banjir. Padahal Kota Kembang ini memiliki kemiringan 10-15 derajat ke arah selatan. Secara alami, jika penataan lingkungan benar, Kota Bandung tidak akan dilanda banjir.
Itulah sebabnya, kenapa gagasan Wali kota Ridwan Kamil membuat tol air untuk mengamankan Bandung dari banjir menuai kritik karena solusi tersebut tidak akan menyelesaikan masalah banjir yang akut di Kota Kembang tersebut.
Ridwan Kamil membantah infrastruktur baru, tol air, yang akan dibangun tidak bermanfaat. Menurut Kang Emil– panggilan akrab Ridwan Kamil–tol air berfungsi untuk meredam banjir besar akibat cuaca ekstrem di bulan-bulan mendatang.
Namun, Kang Emil mengakui tol air hanyalah satu di antara tiga solusi mengatasi banjir di Bandung. Yang lainnya: penyodetan sungai dan pembangunan kolam retensi.
Kang Emil rupanya yakin bahwa penyodetan sungai dan kolam retensi itu bakal mampu mengatasi banjir yang tiap tahun cenderung membesar itu. Persoalannya, seberapa jauh penyodetan sungai dan kolam retensi itu mampu ”meredam” kedatangan banjir yang terus membesar akibat salah kelola lingkungan itu?
Kita tahu, hujan yang mengguyur Bandung pekan terakhir Oktober lalu menyebabkan banjir besar di beberapa wilayah perkotaan. Bayangkan, Jalan Pasteur yang menjadi land mark Kota Bandung sejak zaman baheula tergenang banjir. Padahal, selama ini jalan legendaris tersebut tak pernah banjir.
Sementara itu, banjir yang menerjang Jalan Pagarsih di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, mengakibatkan satu mobil Nissan Grand Livina, Daihatsu Charade, dan satu motor hilang ditelan Sungai Citepus (24/10). Dua mobil dan satu motor itu terseret arus banjir dan masuk ke dalam sungai, kata Ketua RW 02, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Ceppy Setiawan.
Seorang warga tewas terseret arus di selokan kota. Banjir di kota Bandung kali ini rupanya mengejutkan Wali Kota Ridwan Kamil sehingga dia perlu minta maaf.
***
Setelah Kota Bandung dilanda banjir pekan lalu, Kabupaten Bandung Selatan juga dilanda banjir. Minggu (30/10/2016) kemarin Kecamatan Bale Endah dan Bojongsoang kembali tenggelam. Ketinggian air mencapai 3 meter. Ini banjir kedua pada 2016 yang menghantam Bandung Selatan.
Maret 2016 banjir yang melindas Bandung Selatan menewaskan dua orang dan merendam 35.000 rumah. Sepuluh ribu orang lebih mengungsi karena rumahnya tenggelam.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang sudah memprediksi bahwa La Nina–yakni curah hujan dahsyat yang bisa mendatangkan banjir, longsor, dan puting beliung–akan terjadi pada 2016 dan berlangsung sampai 2017.
”Berdasarkan prediksi BMKG, kemungkinan fenomena La Nina menguat di pertengahan 2016. Namun, dampaknya terasa di musim penghujan 2017 sehingga potensi banjir, longsor, dan puting-beliung akan makin meningkat,” ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Bandung adalah kota yang terletak di cekungan gunung Sunda Purba. Waktu Herman Willem Daendels membangun Kota Bandung, peruntukannya hanya menampung 200.000 penduduk. Tapi, sekarang penduduk di cekungan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung) sudah mencapai 8,3 juta jiwa. Artinya, lebih dari 41 kali lipat dari kapasitasnya.
Akibat itu, penataan wilayah pun compang-camping. Jangan tanya bagaimana rusaknya penataan kota di Kota Bandung di mana Ridwan Kamil yang sohor itu menjadi wali kotanya. Di pusat kota ini sudah nyaris tak ada tempat-tempat penampungan air seperti situ atau rancak. Kawasan hijau pun nyaris habis. Jalan-jalan beraspal dan bersemen kini mendominasi kota.
Jika hujan lebat, ke mana larinya air di Kota Bandung ini? Jawabnya, ke selatan, ke Kabupaten Bandung. Di pihak lain, Bandung bagian utara, yang merupakan wilayah tangkapan air, kini sudah berubah jadi perumahan dan pusat wisata. Wilayahnya yang sejuk memang cocok untuk tempat peristirahatan.
Sekarang wilayah Bandung Utara ini sudah sesak dengan perumahan, hotel, dan tempat-tempat wisata. Ke mana larinya air jika hujan? Lagi-lagi ke Bandung bagian selatan. Yang jadi masalah serius, di kawasan ini terdapat beberapa subdaerah aliran sungai (DAS) atau anak Sungai Citarum seperti Sungai Cikapundung, Cinambo, Cidurian, Cicadas, dan Cibeureum.
Parahnya, sempadan anak sungai-sungai tersebut kondisinya juga kritis sehingga tidak bisa menampung limpahan air hujan. Dalam kondisi seperti itulah, Sungai Induk Citarum mudah sekali meluap. Hujan besar sebentar saja sudah cukup untuk menimbulkan banjir karena sempadan sungai tersebut rusak parah.
Akibat itu, banjir pun menyerbu sejumlah kecamatan di Bandung bagian selatan seperti Rancaekek, Baleendah, Cicalengka, Bojongsoang, Majalaya, Dayeuhkolot, Cileunyi, dan Banjaran. Tiga kecamatan menderita paling parah–yaitu Bale Endah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang–karena wilayahnya berdekatan dengan Sungai Citarum.
Sebetulnya solusi untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan ini pernah dikemukakan Prof Dr Otto Soemarwoto (1926-2008), guru besar ilmu lingkungan hidup Universitas Pajajaran, dengan sangat baik.
Pada 2003 Otto menyatakan banjir di Bandung bagian selatan hanya bisa diatasi dengan penataan ekologis di wilayah sekitarnya. Otto mengusulkan daerah resapan air diperbanyak dan pemda membuat embung atau waduk-waduk kecil sebanyak mungkin untuk menampung limpahan air dari Bandung ”atas”.
Waduk-waduk kecil ini di samping berguna untuk menampung limpahan air dari Bandung ”atas” juga berfungsi untuk memperbaiki ekosistem yang rusak di wilayah bersangkutan sekaligus menjadi kawasan hutan mini yang memperbaiki kondisi iklim di Bandung yang makin panas.
Menurut Otto, penanggulangan banjir secara instan tidak mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan. Penataan ekologis di sekitar Bandung dan sempadan Sungai Citarum merupakan solusi strategis untuk mengatasi banjir tersebut. Dengan demikian, pembuatan tol air tidak cukup untuk mencegah banjir tersebut (Santoso, 2016).
Setelah Bandung dan Tangerang banjir, pada hari yang sama juga terjadi banjir besar di Karawang. Ribuan rumah di kota ini tenggelam dan puluhan ribu orang mengungsi ke tempat yang aman. Apa penyebabnya: nyaris sama dengan Bandung dan Tangerang. Kerusakan lingkungan, mampatnya drainase, dan pendangkalan sungai.
Akhirnya, banjir yang melanda tiga kota–juga kota-kota lain di musim hujan 2016–ini sebenarnya akibat ulah manusia sendiri. Pinjam Prof Emil Salim, alam marah karena keserakahan manusia!
Wakil Ketua Komisi II DPR
MUSIM hujan adalah musim banjir. Itulah fenomena di Indonesia yang ekologi alamnya terdegradasi. Di mana-mana terjadi banjir. Setiap jam berita di radio, televisi, dan media online nyaris selalu menayangkan bencana banjir, sedemikian rupa sehingga bencana ekologis itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tanpa nada keprihatinan.
Jika keprihatinan kita terhadap bencana banjir tumpul, upaya untuk mengatasinya juga tumpul. Walhasil, bencana banjir pun akan menjadi rutin dan ritual tahunan tanpa ada upaya serius untuk mengatasinya.
Tangerang misalnya mulai dua pekan lalu (13/11/2016) nyaris tenggelam. Selama beberapa hari sejumlah wilayah di Kota Tangerang dilanda banjir besar. Banjir yang menenggelamkan ribuan rumah itu merupakan dampak dari hujan deras yang turun hampir seharian.
Akibat itu, beberapa sungai yang ada di Kota Tangerang meluap. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh tersumbatnya drainase di sejumlah lokasi. Tak ayal, banjir pun mengempas pusat kota dan sejumlah perumahan.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang, kedalaman banjir yang mencapai 1,5 meter menjadi 2 meter.
Menurut Kepala BPBD Kota Tangerang Irman, terdapat empat kecamatan yang kena banjir yakni di Kecamatan Larangan, Benda, Cipondoh, dan Periuk. Di Periuk ada beberapa titik lokasi, tapi yang paling parah di (perumahan) Total Persada. Di perumahan ini banjirnya mencapai hampir 2 meter.
Irman menjelaskan, sebanyak 800 keluarga yang ada di perumahan Total Persada telah diungsikan ke tempat penampungan sementara karena banjir sudah hampir menyentuh atap rumah.
Ratusan kepala keluarga itu ditempatkan di tempat penampungan seperti masjid setempat yang telah dilengkapi dengan sejumlah bentuk bantuan dari Pemerintah Kota Tangerang.
Di tempat lain, pada hari yang sama, Kota Bandung juga dilanda banjir. Padahal Kota Kembang ini memiliki kemiringan 10-15 derajat ke arah selatan. Secara alami, jika penataan lingkungan benar, Kota Bandung tidak akan dilanda banjir.
Itulah sebabnya, kenapa gagasan Wali kota Ridwan Kamil membuat tol air untuk mengamankan Bandung dari banjir menuai kritik karena solusi tersebut tidak akan menyelesaikan masalah banjir yang akut di Kota Kembang tersebut.
Ridwan Kamil membantah infrastruktur baru, tol air, yang akan dibangun tidak bermanfaat. Menurut Kang Emil– panggilan akrab Ridwan Kamil–tol air berfungsi untuk meredam banjir besar akibat cuaca ekstrem di bulan-bulan mendatang.
Namun, Kang Emil mengakui tol air hanyalah satu di antara tiga solusi mengatasi banjir di Bandung. Yang lainnya: penyodetan sungai dan pembangunan kolam retensi.
Kang Emil rupanya yakin bahwa penyodetan sungai dan kolam retensi itu bakal mampu mengatasi banjir yang tiap tahun cenderung membesar itu. Persoalannya, seberapa jauh penyodetan sungai dan kolam retensi itu mampu ”meredam” kedatangan banjir yang terus membesar akibat salah kelola lingkungan itu?
Kita tahu, hujan yang mengguyur Bandung pekan terakhir Oktober lalu menyebabkan banjir besar di beberapa wilayah perkotaan. Bayangkan, Jalan Pasteur yang menjadi land mark Kota Bandung sejak zaman baheula tergenang banjir. Padahal, selama ini jalan legendaris tersebut tak pernah banjir.
Sementara itu, banjir yang menerjang Jalan Pagarsih di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, mengakibatkan satu mobil Nissan Grand Livina, Daihatsu Charade, dan satu motor hilang ditelan Sungai Citepus (24/10). Dua mobil dan satu motor itu terseret arus banjir dan masuk ke dalam sungai, kata Ketua RW 02, Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Ceppy Setiawan.
Seorang warga tewas terseret arus di selokan kota. Banjir di kota Bandung kali ini rupanya mengejutkan Wali Kota Ridwan Kamil sehingga dia perlu minta maaf.
***
Setelah Kota Bandung dilanda banjir pekan lalu, Kabupaten Bandung Selatan juga dilanda banjir. Minggu (30/10/2016) kemarin Kecamatan Bale Endah dan Bojongsoang kembali tenggelam. Ketinggian air mencapai 3 meter. Ini banjir kedua pada 2016 yang menghantam Bandung Selatan.
Maret 2016 banjir yang melindas Bandung Selatan menewaskan dua orang dan merendam 35.000 rumah. Sepuluh ribu orang lebih mengungsi karena rumahnya tenggelam.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang sudah memprediksi bahwa La Nina–yakni curah hujan dahsyat yang bisa mendatangkan banjir, longsor, dan puting beliung–akan terjadi pada 2016 dan berlangsung sampai 2017.
”Berdasarkan prediksi BMKG, kemungkinan fenomena La Nina menguat di pertengahan 2016. Namun, dampaknya terasa di musim penghujan 2017 sehingga potensi banjir, longsor, dan puting-beliung akan makin meningkat,” ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Bandung adalah kota yang terletak di cekungan gunung Sunda Purba. Waktu Herman Willem Daendels membangun Kota Bandung, peruntukannya hanya menampung 200.000 penduduk. Tapi, sekarang penduduk di cekungan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung) sudah mencapai 8,3 juta jiwa. Artinya, lebih dari 41 kali lipat dari kapasitasnya.
Akibat itu, penataan wilayah pun compang-camping. Jangan tanya bagaimana rusaknya penataan kota di Kota Bandung di mana Ridwan Kamil yang sohor itu menjadi wali kotanya. Di pusat kota ini sudah nyaris tak ada tempat-tempat penampungan air seperti situ atau rancak. Kawasan hijau pun nyaris habis. Jalan-jalan beraspal dan bersemen kini mendominasi kota.
Jika hujan lebat, ke mana larinya air di Kota Bandung ini? Jawabnya, ke selatan, ke Kabupaten Bandung. Di pihak lain, Bandung bagian utara, yang merupakan wilayah tangkapan air, kini sudah berubah jadi perumahan dan pusat wisata. Wilayahnya yang sejuk memang cocok untuk tempat peristirahatan.
Sekarang wilayah Bandung Utara ini sudah sesak dengan perumahan, hotel, dan tempat-tempat wisata. Ke mana larinya air jika hujan? Lagi-lagi ke Bandung bagian selatan. Yang jadi masalah serius, di kawasan ini terdapat beberapa subdaerah aliran sungai (DAS) atau anak Sungai Citarum seperti Sungai Cikapundung, Cinambo, Cidurian, Cicadas, dan Cibeureum.
Parahnya, sempadan anak sungai-sungai tersebut kondisinya juga kritis sehingga tidak bisa menampung limpahan air hujan. Dalam kondisi seperti itulah, Sungai Induk Citarum mudah sekali meluap. Hujan besar sebentar saja sudah cukup untuk menimbulkan banjir karena sempadan sungai tersebut rusak parah.
Akibat itu, banjir pun menyerbu sejumlah kecamatan di Bandung bagian selatan seperti Rancaekek, Baleendah, Cicalengka, Bojongsoang, Majalaya, Dayeuhkolot, Cileunyi, dan Banjaran. Tiga kecamatan menderita paling parah–yaitu Bale Endah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang–karena wilayahnya berdekatan dengan Sungai Citarum.
Sebetulnya solusi untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan ini pernah dikemukakan Prof Dr Otto Soemarwoto (1926-2008), guru besar ilmu lingkungan hidup Universitas Pajajaran, dengan sangat baik.
Pada 2003 Otto menyatakan banjir di Bandung bagian selatan hanya bisa diatasi dengan penataan ekologis di wilayah sekitarnya. Otto mengusulkan daerah resapan air diperbanyak dan pemda membuat embung atau waduk-waduk kecil sebanyak mungkin untuk menampung limpahan air dari Bandung ”atas”.
Waduk-waduk kecil ini di samping berguna untuk menampung limpahan air dari Bandung ”atas” juga berfungsi untuk memperbaiki ekosistem yang rusak di wilayah bersangkutan sekaligus menjadi kawasan hutan mini yang memperbaiki kondisi iklim di Bandung yang makin panas.
Menurut Otto, penanggulangan banjir secara instan tidak mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan. Penataan ekologis di sekitar Bandung dan sempadan Sungai Citarum merupakan solusi strategis untuk mengatasi banjir tersebut. Dengan demikian, pembuatan tol air tidak cukup untuk mencegah banjir tersebut (Santoso, 2016).
Setelah Bandung dan Tangerang banjir, pada hari yang sama juga terjadi banjir besar di Karawang. Ribuan rumah di kota ini tenggelam dan puluhan ribu orang mengungsi ke tempat yang aman. Apa penyebabnya: nyaris sama dengan Bandung dan Tangerang. Kerusakan lingkungan, mampatnya drainase, dan pendangkalan sungai.
Akhirnya, banjir yang melanda tiga kota–juga kota-kota lain di musim hujan 2016–ini sebenarnya akibat ulah manusia sendiri. Pinjam Prof Emil Salim, alam marah karena keserakahan manusia!
(dam)