Dan Romeo pun Tersenyum Bahagia

Minggu, 20 November 2016 - 14:00 WIB
Dan Romeo pun Tersenyum Bahagia
Dan Romeo pun Tersenyum Bahagia
A A A
Salah satu penerima bantuan dari Asabri dan BTPN adalah Kopda TNI (Purn) Romeo Beremali, 59.

Pria kelahiran 2 Februari 1957 ini ketika masih aktif berdinas pernah bertugas sebagai personel intelijen Kodim 1636/Bobonaro antara 1991-1999. Karena kecakapannya, Romeo direkrut sebagai salah satu dari 25 anggota Tim Panther, tim intel elite yang cukup disegani saat itu. Wilayah operasional tim ini di Distrik Ermera dan sekitarnya. Romeo dan timnya antara lain pernah berhasil menemukan sejumlah mortir dan senjata yang disembunyikan gerilyawan di kawasan pegunungan.

Romeo pun pernah ditugaskan sebagai personel pengamanan pimpinan DPRD Kabupaten Bobonaro, Provinsi Timor Timur. Sepanjang penugasan tersebut, tidak sekali pun dia turun ke lapangan dengan pakaian dinas. “Sehari-hari saya mendampingi pimpinan dewan sosialisasi keliling tentang pentingnya integrasi,” kisahnya. Pascajajak pendapat, Romeo memilih Indonesia sebagai Tanah Air dan pindah ke Atambua.

Dia meminta istrinya lebih dulu berangkat membawa enam anak mereka dari Maliana, ibu kota Kabupaten Bobonaro di Timor Timur, ke Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, NTT. Romeo menyusul belakangan bersama para personel intelijen lain. Mereka termasuk pasukan yang paling terakhir masuk ke Atambua dari Timor Timur yakni pertengahan September 1999. Saat itu pasukan International Force for East Timor (Interfet) sudah tiba di Timor Timur.

“Saya bilang ke istri saya, tanah kita sudah merdeka sendiri. Dan, kita memilih bersama Indonesia. PergilahduluankeAtambua. Kitamulai hidup baru di sana,” ucap Romeo mengenang. Bobonaro langsung berbatasan dengan Belu. Dari tempat tinggal Romeo di Maliana dulu ke Atambua tidak sampai sehari berjalan kaki. Kini antara Bobonaro dan Belu sudah berdiri pos perbatasan terpadu RI-Timor Leste, tepatnya di Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT.

Atambua terletak sekitar 25 kilometer dari pos perbatasan tersebut. Apakah Romeo tidak mengajak serta orang tuanya untuk ikut tinggal di Indonesia? “Ibu saya tidak mau meninggalkan kampungnya. Lagi pula saat itu usia ibu sudah mendekati 100 tahun, jadi tidak memungkinkan untuk berjalan jauh. Sedangkan ayah saya sudah meninggal pada Januari 1999,” jawab Romeo. Setelah hidup di kamp pengungsian selama sekitar lima tahun, pada 2004 Romeo membeli sepetak tanah di Dusun Manubaun, Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Atambua.

Tanah tersebut dibelinya Rp4 juta dari seorang tuan tanah di sana. Modalnya dari tabungan uang hasil kerja sebagai buruh bangunan dan menjadi tukang kayu. Romeo pada dasarnya memang memiliki keahlian membuat mebel hingga mendirikan rumah. Di atas lahan yang dibelinya, Romeo membangun rumah permanen dua kamar ukuran 5 x 6 meter secara bertahap hingga 2006. Dia sendiri yang membangun dibantu beberapa teman sesama anggota TNI. Bahan-bahan bangunan dibeli sesuai kondisi keuangan.

“Modalnya minim, jadi bangunnya sedikit-sedikit. Bahan-bahan pun seadanya. Lantai rumah cukup dari semen. Untuk dinding, batako kuat, tapi pasirnya jelek dan campuran semennya kurang, jadi tembok-tembok cepat rusak,” ungkapnya. Bertahun-tahun Romeo dan keluarganya tinggal di rumah dengan dinding retak di sanasini, bahkan beberapa bagian rubuh dan ambrol. Uang tunjangan pensiun serta usaha istrinya membuat dan menjual sendiri kain tenun adat (tais ) di pasar tidak cukup untuk membiayai perbaikan rumah karena habis untuk keperluan sehari-hari.

“Karena itu, saya sangat bersyukur menerima bantuan rehabilitasi rumah. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya ada yang memperhatikan kami di perbatasan yang terpencil ini. Sekarang kami bisa hidup lebih layak di rumah ini,” tuturnya seraya tersenyum memandang langitlangit rumahnya yang baru diperbaiki. Rumah Romeo dan 29 rumah lain yang masuk dalam program bedah rumah Asabri-BTPN dikerjakan hanya dalam waktu satu bulan oleh personel TNI dari Kodim 1605/Belu dan sejumlah warga yang menjadi buruh bangunan.

Romeo juga terlibat dalam pengerjaannya. Selama 16 tahun tinggal di Atambua, tidak sekali pun Romeo menengok lagi tanah kelahirannya di Timor Leste meski masih banyak saudaranya di sana. Namanya masuk daftar hitam di Imigrasi Timor Leste sehingga tidak memungkinkan baginya masuk ke wilayah hukum negara tersebut. “Ada ratusan orang yang masuk dalam daftar itu, termasuk saya. Nama kami mungkin tidak akan pernah dicoret dari daftar hitam itu,” kata pria yang pensiun pada 2011 ini.

Karena itu pula, Romeo tidak bisa menghadiri pemakaman ibundanya yang meninggal pada pengujung 2012. Hanya istri dan anak-anaknya yang pulang ke tanah kelahiran untuk mengikuti upacara adat kematian. Hingga kini Romeo hanya bisa berkomunikasi dengansaudara-saudaranya diTimorLestemelalui teleponataupesanseluler(SMS). DiAtambuasama sekali tidak ada saudara kandungnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6883 seconds (0.1#10.140)