Menutup Pintu Gerakan Radikal

Senin, 14 November 2016 - 10:03 WIB
Menutup Pintu Gerakan Radikal
Menutup Pintu Gerakan Radikal
A A A
BOM molotov yang dilemparkan ke rumah ibadah di Samarinda oleh Juhanda alias Joh alias Jo, Minggu 13 November 2016, tentunya mengagetkan kita.

Belum jelas benar bagaimana duduk masalahnya, berbagai pesan yang tak jelas posisinya dan cenderung mengompori langsung beredar di masyarakat, terutama melalui media sosial. Pelakunya Juhanda alias Joh alias Jo adalah residivis aksi teror kelompok radikal. Dia terlibat bom Puspiptek Serpong pada 18 Maret 2011 dan divonis 3,5 hingga mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014.

Jo yang merupakan anggota kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) merupakan anggota kelompok Pepi Fernando yang divonis 12 tahun penjara setelah melakukan aksinya pada bom Puspitek Serpong. Dalam situasi ketegangan agama, tak lain yang diuntungkan adalah kelompok radikal.

Selama ini kelompok radikal mengalami situasi yang tidak menguntungkan karena relasi antarkelompok terkait SARA relatif baik. Kelompok ini kesusahan untuk mendapatkan anggota-anggota baru, karena jualannya cenderung tidak laku dalam situasi normal.

Saat ekonomi cukup baik dan relasi sosial harmonis, maka sangat sulit untuk mengajak seseorang untuk ikut dalam suatu ideologi radikal, apalagi menjadi anggota aktif suatu kelompok radikal. Situasi ekonomi saat ini yang sedang buruk ibarat tanah yang sedang gembur-gemburnya setelah terkena air hujan yang cukup. Situasi ekonomi mendatangkan kekecewaan bagi banyak orang yang membuatnya relatif keras menghadapi situasi ekonomi buruk yang dihadapinya, keluarganya, atau orang di sekelilingnya.

Situasi makin buruk ketika ketegangan politik akhirnya merembet ke ranah agama. Politisi pun bukannya berusaha mengerem ketegangan dan menurunkan tensi, justru memanasi situasi dengan berbagai komentarnya yang memperburuk situasi. Para politisi harus ingat, bahwa dalam komunikasi itu bukan melulu mengenai benar atau salah, namun juga terkait bagaimana bisa menempatkan diri dan saling menghargai lawan bicara.

Dalam kasus dugaan penistaan agama misalnya. Tentunya sudah tidak pada tempatnya untuk terus menerus memperdebatkan apakah Ahok bersalah dalam kasus ini. Situasi sudah terlampau buruk, bahkan jurang perbedaan mulai merekah di tengah masyarakat. Yang dibutuhkan saat ini usaha untuk memahami situasi dari para politisi. Para politisi harus sadar untuk memenangkan hati itu bukan dengan kemampuan membenarkan diri ketika dituding salah.

Hati itu dimenangkan oleh keinginan untuk merangkul, meminggirkan perbedaan dan menghargai bahwa perbedaan pola pikir adalah fitrah. Keributan politik akan dengan sangat mudah memberikan ruang bagi para kaum radikal untuk memanfaatkan kemarahan publik.

Situasi saling curiga yang ditimbulkan karena perseteruan politik memungkinkan kaum radikal untuk mengail di air keruh. Untuk menghindari kondisi yang bisa merusak semangat kebangsaan kita tersebut dan menutup pintu untuk kelompok radikal, maka ada beberapa hal yang patut dilakukan.

Pertama, minimalisasi perdebatan politik yang mengarah ke suku, ras dan antar agama (SARA). Hal ini selalu menjadi sektor yang menarik untuk dipolitisasi. Namun, kita jangan sampai berpikir jangka pendek hingga membahayakan semangat kebangsaan.

Kedua, biasakan untuk cek dan ricek atas semua informasi yang masuk. Sangat banyak informasi yang ditujukan untuk meningkatkan tensi di masyarakat yang disebarkan oleh kelompok tak bertanggung jawab. Ketiga, jaga lingkungan sekitar agar para promotor gerakan radikal tidak mendapat tempat.

Kadang kala kita bisa melihat potensi gerakan radikal ini, namun dibiarkan begitu saja. Keempat, turunkan tensi pada masing-masing diri kita, agar ketika terjadi sesuatu yang kita pandang tidak pada tempatnya dalam bangsa ini, kita bisa pada posisi memperbaiki bukan ikut memperparah situasi. Jangan sampai kemarahan sesaat kita merusak kebangsaan yang sudah dibina selama ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4588 seconds (0.1#10.140)